Jakarta (ANTARA) - Pekan lalu, sekitar 200-an orang memenuhi aula Masjid Bosmont, Kota Johannesburg, Afrika Selatan, untuk menghadiri peringatan sepuluh tahun berdirinya Persaudaraan Pencak Silat South Africa (PPSSA).

Di aula mesjid yang cukup luas tersebut, para hadirin tampak terkesima menyaksikan atraksi pencak silat yang diperagakan oleh Ammaar De La Rey di atas panggung. Diiringi musik tradisional dari Jawa Barat, Ammaar dengan lincah memperagakan jurus-jurus dan gerakan silat yang sangat indah, dinamis dan diakhiri teriakan yang mengundang decak kagum hadirin.

Dengan kostum silat tradisional berwarna hitam dan ikat kepala warna merah, pria berusia 24 tahun ini begitu menguasai dan sangat fasih dengan jurus-jurus olahraga tradisional asal Indonesia itu. Diantara para tamu tampak Duta Besar Indonesia untuk Afrika Selatan Salman Al Farisi, para duta besar negara sahabat seperti Turki, Singapura dan Malaysia.

Juga hadir mantan Duta Besar RI untuk Afrika Selatan Sugeng Raharjo serta Sariat Arifia, pendiri PPSSA yang sengaja datang dari Jakarta. Mereka didampingi oleh enam pelatih yang pernah bertugas selama beberapa tahun di Johannesburg, diantaranya Prihardjono S. Sastromartono yang lebih dikenal dengan panggilan Kak Jojo.

Ammaar sangat menguasai pencak silat karena warga Kota Johannesburg tersebut menimba ilmu silat selama empat tahun di Jakarta, tepatnya di perguruan Seni Bela Diri Al Azhar Jakarta. Saat ini ia masih tercatat sebagai mahasiswa Universitas Al Azhar semester delapan dan mendapat beasiswa sambil memperdalam ilmu pencak silat.

"Saya sejak November 2018 lalu cuti kuliah dan tahun ini akan kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan kuliah saya," kata Ammaar dalam bahasa Indonesia yang lancar ketika dihubungi melalui telpon dari Jakarta.

Ketika pencak silat untuk pertama kali diperkenalkan di Afrika Selatan pada 2009, Ammaar masih berusia 15 tahun. Ia adalah salah satu dari beberapa murid pertama pelatih Jojo Prihardjono.

Sariat Arifia, mantan ketua PPSSA yang pernah berdomisili sekitar sepuluh tahun di Johannesburg sebelum kembali ke Tanah Air pada 2011, menyatakan kegembiraannya melihat masih antusiasnya warga di kawasan Bosmont tersebut terhadap pencak silat. Pencak silat, menurutnya terbukti bisa menjadi jembatan untuk mempererat hubungan antara warga masyarakat (people to people) Indonesia dengan Afrika Selatan.

"Waktu saya pertama kali memperkenalkan silat di Afrika Selatan, untuk mengucapkan kata pencak silat pun mereka susah dan dikira pancake," kata Sariat.

Tapi setelah sepuluh tahun, Sariat mendapatkan perubahan besar dan menggembirakan karena ia mendapatkan sudah banyak warga yang tidak hanya mengenal pencak silat, tapi juga negara asalnya Indonesia.

"Sebelum berkenalan dengan pencak silat, masyarakat Johannesburg dan Afrika Selatan umumnya tidak mengenal Indonesia, mereka lebih akrab dengan negara Malaysia," katanya.

Kondisi tersebut tidak lepas dari perjalanan sejarah karena di Afrika Selatan terdapat kawasan yang disebut dengan Cape Malay, dan kalimat Malay selalu diasosiasikan dengan Malaysia, bukan Melayu. Akibatnya, nama Indonesia tidak disebut-sebut.

Seperti yang diungkapkan Ammaar, selain dari India, sebenarnya banyak juga warga Afrika Selatan yang berasal dari Indonesia dan jejak mereka dapat ditelusuri di Cape Town karena disana juga terdapat kawasan yang bernama Macassar.

"Menurut saya pencak silat sangat bagus dikembangkan disini sehingga banyak masyarakat Afrika Selatan yang berasal dari Indonesia bisa mempelajari budaya dan tradisi leluhur mereka," kata Ammaar.


Tantangan berat

Pengembangan silat di Afrika Selatan sempat mengalami pasang surut dan cobaan cukup berat, terutama setelah 2011 ketika pelatih pulang ke Indonesia dan susah untuk mendapatkan visa untuk kembali ke negara tersebut.

"Dari tahun 2011 kami banyak kehilangan anggota karena banyak orang percaya bahwa pencak silat tidak bisa bertahan setelah pelatih kami pulang ke Jakarta," katanya.

Tapi berkat hubungan yang terus terjaga dengan pelatih di Jakarta, Ammaar dan rekan-rekannya masih tetap tekun berlatih dan bahkan bisa mengikuti kejuaraan dunia di Jakarta pada 2010 dan Bali pada 2016, serta Tafisa di Jakarta beberapa tahun lalu.

Terlepas dari kesulitan dan rintangan yang harus dihadang untuk mengembangkan pencak silat di Afrika Selatan, Sariat Arifia menegaskan bahwa seni bela diri tersebut tetap bisa menjadi semacam jembatan untuk mempererat hubungan masyarakat kedua negara yang dipisahkan oleh jarak ribuan kilometer.

"Saya gembira setelah kembali lagi ke Afrika Selatan dan setelah sepuluh tahun diperkenalkan, masyarakat kawasan Bosmont ini sudah fasih mengeja pencak silat dan yang lebih penting, warga disini sudah mengenal Indonesia dengan lebih baik," katanya.

Sariat pun menegaskan bahwa perkembangan pencak silat di Afrika Selatan terlepas dari usaha dan dukungan penuh dari mantan Duta Besar RI untuk Afrika Selatan Sugeng Raharjo yang memfasilitasi seluruh keperluan rombongan dari Jakarta saat melakukan promosi pada 2009.

Pihak KBRI Pretoria menurut Sariat menanggung seluruh keperluan rombongan dari Jakarta saat berkeliling Afrika Selatan selama sebulan penuh. Namun yang disayangkan oleh Sariat adalah kesulitan bagi pelatih untuk mendapatkan visa ke Afrika Selatan, sehingga cukup mengganggu program pengiriman pelatih secara teratur.