Merak, Cilegon (ANTARA) - Pemerintah Indonesia siapa pun presidennya dalam waktu dekat harus berani membuat kebijakan membentuk National Security Council dalam upaya memperkuat untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Pengamat pertahanan dan militer Connie Rahakundini Bakrie mengatakan, kebijakan yang harus diperbuat oleh Pemerintah Indonesia dalam waktu pendek di tahun 2019 untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia adalah dengan membentuk National Security Council. Presiden tidak bisa bekerja dalam membuat kebijakan terkait keamanan dan pertahanan tanpa adanya bantuan atau advice dari National Security Council yang saat ini adalah Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas).

"National Security Council sekarang ada di Wantannas sebenarnya. Karena dengan adanya advicer dari National Security Council kepada presiden terkait defence, keamanan dan politik luar negeri, maka kebijakan negara terkait kepentingan nasional turun ke defence strategi turun ke militer strategi, itu akan mencapai target yang sesuai," kata Connie, usai seminar terkait tol laut dan poros maritim dunia yang diselenggarakan di atas kapal feri 'Portlink' dalam pelayaran dari Merak ke Bakauheni (Lampung0 dan kembali ke Pelabuhan Merak, Banten, Senin.

Menurutnya, hal inilah yang belum terwujud sampai saat ini, sehingga presiden memutuskan kebijakan apa pun tentang pertahanan dan kebijakan itu tidak ada tanpa adanya National Security Council. Karena itu, perlu ada dorongan semua pihak agar Wantannas segera menjadi National Security Council agar siapa pun presidennya nanti bisa membuat keputusan yang strategis terkait politik luar negeri dan pertahanan.

"Apalagi poros maritim dunia ini sangat erat kaitannya dengan politik luar negeri. Artinya kaitannya hal ini dengan industri dan teknologi sangat kuat," kata Connie lagi.

Kemudian, kata dia, jika Indonesia menjadi poros maritim dunia, maka juga berdampak terhadap peningkatan anggaran. Anggaran militer harus bisa ditingkatkan setidaknya sampai 7 persen dari Gross Domestic Product (GDP). Pasalnya, visi poros maritim dunia jelas berdampak mengubah ruang serta doktrin tentara untuk dioperasikan.

"Kalau anggaran sampai 7 persen GDP itu seharusnya tidak usah kaget karena di era Bung Karno kita bisa mencapai 29 dari GDP, kenapa waktu itu 29 GDP karena kita mesti mengejar ketertinggalan dulu baru kita pelihara dengan yang 2 persen atau 3 persen," katanya pula.

Dia menambahkan, untuk mengejar ketertinggalan tersebut dengan 7 persen agar dapat mengejar kemampuan dan membangun kekuatan baru dengan cyber, drone dan yang terkait keperluan untuk perang modern, kemudian bisa normal dengan 2 atau 3 persen untuk pemeliharaannya.

Ratusan pelajar dan mahasiswa dari sejumlah sekolah dan perguruan tinggi di Banten mengikuti seminar nasional membahsa tol laut dan poros maritim dunia yang diselenggarakan di atas kapal feri Portlink dari Pelabuhan Merak menuju Pelabuhan Bakauheni dan kembali ke Merak ini.

Ratusan pelajar dan mahasiswa tersebut mengikuti seminar tersebut, dan aktif menyampaikan sejumlah pertanyaan kepada para narasumber, yakni Dirut PT ASDP Indonesia Ferry Ira Puspadewi, pengamat pertahanan Connie Rahakundini Bakrie serta arkeologi Ratno Lukito.

Seminar tersebut juga dihadiri Komisaris Utama PT ASDP Lalu Sudarmaji, sejumlah guru besar perguruan tinggi, unsur pimpinan perusahaan ASDP Indonesia Ferry serta perwakilan organisasi kepemudaan di Banten.