Pengamat ingatkan jangan politisasi agama dalam Pemilu 2019
5 April 2019 05:46 WIB
Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kanan) saat mengikuti Debat Capres 2019 putaran kedua di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019). (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/Dok)
Jakarta (ANTARA) - Pengamat politik Ujang Komarudin mengingatkan agar peserta pemilu dan masyarakat jangan melakukan politisasi agama dengan menyebarkan kebencian, padahal agama merupakan keselamatan bagi seluruh umat manusia.
"Agama itu menjadi keselamatan untuk menjaga pemilu berjalan dengan damai. Maka, jangan gunakan agama dan simbol-simbolnya untuk menyebar kebencian, tuduhan, dan fitnah untuk tujuan politik," kata Ujang, di Jakarta, Kamis.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini pun menyayangkan masih adanya simbol agama yang digunakan untuk menyebar kebencian dan politik, seperti tidak adanya adzan, zikir, dan tahlil jika pasangan calon tertentu kalah atau menang di Pilpres 2019.
Adanya hoaks tersebut terjadi kepada kedua paslon, baik Joko Widodo-Ma'ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
"Masyarakat masih belum bisa membedakan mana fakta dan fiksi. Maka, dibutuhkan integritas peserta pemilu yang fokus dalam memaparkan visi dan misi, bukan justru ikut dalam permainan oknum tertentu yang ingin memecah persatuan masyarakat," katanya.
Ia menambahkan, ketika agama menjadi alat legitimasi maka terjadi polarisasi antara kedua kubu paslon.
"Ini pemilu tergaduh yang pernah saya lihat," ucap Ujang.
Anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Romo Benny Susetyo menambahkan, politisasi simbol agama tidak hanya di Indonesia.
Menurutnya, sekarang terjadi politik pembelahan, sehingga secara ideologis terjadi pemecahan. Bahkan, antar teman terjadi konflik gara-gara agama digunakan sebagai alat politik.
"Ini berbahaya. Yang penting sekarang, bagaimana media mencoba mengajak masyarakat untuk memiliki budaya kririts. Bagaimana media mendidik masyarakat tidak lagi menggunakan politisasi agama. Jangan diberi ruang politisasi simbol agama," katanya.
"Agama itu menjadi keselamatan untuk menjaga pemilu berjalan dengan damai. Maka, jangan gunakan agama dan simbol-simbolnya untuk menyebar kebencian, tuduhan, dan fitnah untuk tujuan politik," kata Ujang, di Jakarta, Kamis.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini pun menyayangkan masih adanya simbol agama yang digunakan untuk menyebar kebencian dan politik, seperti tidak adanya adzan, zikir, dan tahlil jika pasangan calon tertentu kalah atau menang di Pilpres 2019.
Adanya hoaks tersebut terjadi kepada kedua paslon, baik Joko Widodo-Ma'ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
"Masyarakat masih belum bisa membedakan mana fakta dan fiksi. Maka, dibutuhkan integritas peserta pemilu yang fokus dalam memaparkan visi dan misi, bukan justru ikut dalam permainan oknum tertentu yang ingin memecah persatuan masyarakat," katanya.
Ia menambahkan, ketika agama menjadi alat legitimasi maka terjadi polarisasi antara kedua kubu paslon.
"Ini pemilu tergaduh yang pernah saya lihat," ucap Ujang.
Anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Romo Benny Susetyo menambahkan, politisasi simbol agama tidak hanya di Indonesia.
Menurutnya, sekarang terjadi politik pembelahan, sehingga secara ideologis terjadi pemecahan. Bahkan, antar teman terjadi konflik gara-gara agama digunakan sebagai alat politik.
"Ini berbahaya. Yang penting sekarang, bagaimana media mencoba mengajak masyarakat untuk memiliki budaya kririts. Bagaimana media mendidik masyarakat tidak lagi menggunakan politisasi agama. Jangan diberi ruang politisasi simbol agama," katanya.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Edy Supriyadi
Copyright © ANTARA 2019
Tags: