Pengamat: Elite Politik Harus Lebih Perhatikan Kepentingan Milenial
4 April 2019 21:15 WIB
Pengamat komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio menyampaikan pandangannya tentang penting suara kaum milenial menjelang pemungutan suara yang akan digelar pada 17 April 2019, di Jakarta, Kamis (4/4/2019). (Foto: ANTARA/Katriana)
Jakarta (ANTARA) - Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio mengingatkan elite politik harus lebih memperhatikan kepentingan milenial karena 40 persen dari total daftar pemilih tetap berasal dari generasi ini.
"Milenial seharusnya diapresiasi, diberi kesempatan lapangan pekerjaan yang lebih besar, bukan hanya dicari suaranya," kata dia, di Jakarta, Kamis.
Karena itu, kata dia lagi, sebelum menyampaikan program kerja, partai politik pengusung pasangan calon presiden-wakil presiden pada Pemilu 2019 seharusnya terlebih dahulu membangun kepercayaan milenial terhadap mereka. Selama kepercayaan itu belum terbangun, apa pun usaha yang mereka lakukan tidak akan benar-benar meraih simpati dari milenial.
Dia menganggap milenial sebenarnya cenderung dinamis, tidak apatis. Kurang kepercayaan milenial terhadap partai politik pada dasarnya disebabkan oleh banyak pejabat yang tersandung kasus korupsi, katanya.
Meski demikian, dia mengimbau milenial tetap memberikan suara mereka dalam pemungutan suara yang akan berlangsung pada 17 April 2019 karena suara mereka akan menentukan masa depan bangsa.
Ia juga belum bisa menyatakan siapa pasangan calon presiden-wakil presiden yang akan mendapatkan suara lebih banyak dari milenial pada Pemilu 2019.
"Politik ini merupakan bisnis harapan. Milenial akan bisa melihat harapan dari pasangan capres-cawapres mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka," katanya lagi.
Menurut dia, dari sisi kepentingan politik praktis, milenial selama ini cenderung hanya jadi alat.
"Memang penting berbicara tentang digital. Tetapi negara kita ini adalah negara agraris. Negara kita ini negara agraris, kenapa hanya berbicara tentang digital 4.0," katanya pula.
Salah satu elaborasi dari pernyataannya itu, pendekatan oleh salah satu pasangan calon terhadap milenial tidak benar-benar menyentuh kebutuhan milenial dari seluruh kalangan.
"Milenial itu tidak hanya di perkotaan, jadi seharusnya tidak hanya bicara digital dan industri. Bicara juga soal maritim karena banyak milenial yang berasal dari keluarga nelayan. Bicara juga tentang agraria karena banyak milenial dari keluarga petani," ujar dia lagi.
Elite politik seharusnya berbicara tentang teknologi digital yang dapat meningkatkan hasil pertanian bagi petani dan teknologi digital yang bisa membantu nelayan mendapatkan tangkapan lebih banyak.
"Milenial seharusnya diapresiasi, diberi kesempatan lapangan pekerjaan yang lebih besar, bukan hanya dicari suaranya," kata dia, di Jakarta, Kamis.
Karena itu, kata dia lagi, sebelum menyampaikan program kerja, partai politik pengusung pasangan calon presiden-wakil presiden pada Pemilu 2019 seharusnya terlebih dahulu membangun kepercayaan milenial terhadap mereka. Selama kepercayaan itu belum terbangun, apa pun usaha yang mereka lakukan tidak akan benar-benar meraih simpati dari milenial.
Dia menganggap milenial sebenarnya cenderung dinamis, tidak apatis. Kurang kepercayaan milenial terhadap partai politik pada dasarnya disebabkan oleh banyak pejabat yang tersandung kasus korupsi, katanya.
Meski demikian, dia mengimbau milenial tetap memberikan suara mereka dalam pemungutan suara yang akan berlangsung pada 17 April 2019 karena suara mereka akan menentukan masa depan bangsa.
Ia juga belum bisa menyatakan siapa pasangan calon presiden-wakil presiden yang akan mendapatkan suara lebih banyak dari milenial pada Pemilu 2019.
"Politik ini merupakan bisnis harapan. Milenial akan bisa melihat harapan dari pasangan capres-cawapres mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka," katanya lagi.
Menurut dia, dari sisi kepentingan politik praktis, milenial selama ini cenderung hanya jadi alat.
"Memang penting berbicara tentang digital. Tetapi negara kita ini adalah negara agraris. Negara kita ini negara agraris, kenapa hanya berbicara tentang digital 4.0," katanya pula.
Salah satu elaborasi dari pernyataannya itu, pendekatan oleh salah satu pasangan calon terhadap milenial tidak benar-benar menyentuh kebutuhan milenial dari seluruh kalangan.
"Milenial itu tidak hanya di perkotaan, jadi seharusnya tidak hanya bicara digital dan industri. Bicara juga soal maritim karena banyak milenial yang berasal dari keluarga nelayan. Bicara juga tentang agraria karena banyak milenial dari keluarga petani," ujar dia lagi.
Elite politik seharusnya berbicara tentang teknologi digital yang dapat meningkatkan hasil pertanian bagi petani dan teknologi digital yang bisa membantu nelayan mendapatkan tangkapan lebih banyak.
Pewarta: Ade P Marboen
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019
Tags: