Jakarta (ANTARA) - Sekitar dua pekan mendatang kita akan merayakan sebuah pesta demokrasi terbesar di kawasan Asia Tenggara. Perhelatan akbar yang diselenggarakan oleh sebuah bangsa besar, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), untuk memilih pimpinan puncak pemerintahannya dan juga anggota legislatif di tingkat nasional dan daerah.
Pemilihan Presiden kali ini menghadirkan kembali dua calon yang empat tahun lalu berkompetisi, walaupun kali ini dengan pasangan calon wakil presiden yang berbeda.
Sejak beberapa bulan terakhir suhu politik di Indonesia semakin menghangat dan cenderung memanas. Kondisi ini tentu jangan sampai menimbulkan situasi yang tidak kondusif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Musuh paling utama sebuah negara kesatuan adalah perpecahan.
Enam puluh sembilan tahun lalu, tepatnya tanggal 3 April 1950, M. Natsir, seorang negarawan yang dijuluki oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, sebagai "hij is de man" menyampaikan gagasannya pada sidang parlemen Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia Serikat (DPRS RIS) agar Indonesia kembali ke dalam bentuk negara kesatuan.
Pidato Natsir ini sangat beralasan karena pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, yang diselenggarakan pada 3 Agustus hingga 2 November 1949, kedaulatan Indonesia semakin tidak menentu. KMB memutuskan bahwa bentuk negara Indonesia bukan negara kesatuan, melainkan negara federal.
Saat itu Negara Republik Indonesia berpusat di Yogyakarta dengan lima belas negara lain, kecuali Irian Barat, berada dalam satu negara yang bernama Republik Indonesia Serikat (RIS). Rakyat Indonesia cukup memahami bahwa kecuali negara Republik Indonesia, semua negara bagian RIS adalah bentukan Belanda. Negara Republik Indonesia saat itu hanya meliputi pulau Sumatera, selain Sumatera Timur dan Sumatera Selatan, serta wilayah Yogyakarta.
Kondisi kenegaraan seperti ini tidak hanya ditentang oleh para elite partai politik saja, namun juga dilawan oleh seluruh rakyat Indonesia yang menganggap ini adalah cara Belanda untuk suatu saat menguasai Indonesia kembali. Terbukti setelah perundingan KMB, jalannya pemerintah RIS sangat tidak menentu dan sering muncul peristiwa politik yang seharusnya tidak terjadi.
Di beberapa tempat di wilayah RIS terjadi unjuk rasa besar-besaran menuntut pembubaran RIS. Beberapa negara bagian menghadapi pemberontakan dan perebutan kekuasaan, antara lain pemberontakan Andi Aziz di Makassar, Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku, dan peristiwa percobaan perebutan kekuasaan oleh Westerling di Bandung dan Jakarta.
DPR Negara Sumatera Selatan membubarkan negaranya pada 10 Februari 1950 dengan keputusan agar pemerintah negara bagian menyerahkan kekuasaan kepada RIS. Negara Pasundan membubarkan diri dan memutuskan bergabung dengan negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta. Gerakan ini disusul oleh negara-negara Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura.
Gerakan-gerakan ini begitu cepat terjadi, hingga sampai akhir Maret 1950, RIS hanya menyisakan empat negara bagian yaitu Republik Indonesia, Sumatera Timur, Kalimantan Barat dan Indonesia Timur.
Dalam situasi yang tidak menentu ini lahirlah gagasan gemilang dari M. Natsir yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) di DPRS RIS. Natsir menyatakan bahwa penyelesaian dari gejolak yang terjadi di beberapa negara bagian adalah dengan membentuk negara kesatuan dan bukan negara federasi.
Seluruh negara bagian harus dilibatkan dalam penyelesaian masalah ini. Tidak ada negara bagian yang lebih tinggi dari negara bagian yang lain. Semua berkedudukan sama dalam sebuah negara kesatuan. Negara Republik Indonesia Yogyakarta juga harus dilikuidasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tidak mudah bagi Natsir untuk mewujudkan gagasan tersebut. Kala itu, dia harus meyakinkan seluruh perwakilan dari negara bagian dan parlemen di DPRS RIS. Tokoh-tokoh dari berbagai kalangan harus dia lobby agar dapat menyetujui gagasannya, antara lain : Sirajuddin Abbas dari Persatuan Tarbiyah Indonesia, Amelz dari Partai Syarikat Indonesia, I.J. Kasimo dari Partai Katholik, A.M. Tambunan dari Partai Kristen Indonesia, dan Sukirman dari Partai Komunis Indonesia.
Pidato Natsir ini kemudian dikenal luas dengan sebutan Mosi Integral Natsir. Parlemen menerima mosi ini dan meminta pemerintah segera melakukan langkah-langkah untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Forum-forum kenegaraan yang dihadiri oleh para perwakilan negara-negara bagian dan Republik Indonesia pada tanggal 19 Mei 1950 menghasilkan piagam persetujuan yang menyepakati pembentukan sebuah negara kesatuan dalam waktu yang segera.
Akhirnya Presiden Soekarno membubarkan RIS dan pada tanggal 17 Agustus 1950 secara resmi negara ini kembali diproklamirkan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai kelanjutan dari Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Mosi Integral telah mengembalikan Indonesia ke dalam bentuk Negara Kesatuan dan terhindar dari ancaman perpecahan. Natsir mengikhtiarkan dengan cara yang demokratis, konstitusional, dan terhormat.
Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Apalagi bangsa ini akan merayakan pesta besar demokrasi yang sudah di depan mata dengan suguhan pilihan yang sudah tersedia. Tentu sangat rugi jika bangsa ini tidak menikmatinya dengan suka cita.
Pemilihan umum telah memanggil kita semua, wajib kita sambut dengan gembira. Semoga persatuan dan kesatuan bangsa senantiasa terpelihara.
*) Penulis adalah pengamat masalah kebangsaan.
Baca juga: MUI usulkan 3 April diperingati sebagai Hari NKRI
Telaah
69 tahun Mosi Integral M Natsir
Oleh Naufal Mahfudz Ismail*)
3 April 2019 13:44 WIB
Naufal Mahfudz, yang juga Direktur Umum dan SDM BPJS Ketenagakerjaan. (Foto Humas BPJS TK)
Copyright © ANTARA 2019
Tags: