Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI), diwakili oleh Ketua Umum AROPI Sunarto, mengajukan permohonan uji materi ketentuan pengumuman hasil survei dan hitung cepat yang tertuang dalam UU 7/2017 (UU Pemilu) di Mahkamah Konstitusi.

Pemohon dalam perkara yang teregistrasi dengan nomor 24/PUU-XVII/2019 ini merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 449 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 509 serta Pasal 540 UU Pemilu.

"Dengan dihidupkannya kembali frasa larangan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang, maka pembentuk undang-undang telah melakukan pembangkangan terhadap perintah konstitusi dan melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf (i) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik yaitu asas ketertiban dan kepastian hukum,” kata Veri Junaidi selaku kuasa hukum para pemohon di Gedung MK Jakarta, Selasa.

Selain itu pembentuk undang-undang juga menyatakan bahwa pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat beserta ketentuan pidananya dalam UU Nomor 7 Tahun 2017.

Kedua hal ini kemudian dinilai telah melanggar hak konstitusional pemohon, karena secara kelembagaan pemohon telah mempersiapkan sumber daya manusia untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan riset atau survei dan mempublikasikannya.

Namun demikian, upaya pemohon tersebut potensial dibatasi atau bahkan dihilangkan dengan keberlakuan pasal-pasal tersebut.

Sebelumnya Mahkamah melalui tiga putusan telah menyatakan norma dari pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan konstitusi. Adapun tiga putusan tersebut adalah; putusan Nomor 9/PUU-VII/2009 bertanggal 30 Maret 2009, juncto Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009 bertanggal 3 Juli 2009, juncto Putusan Nomor 24/PUU-XII/2014 bertanggal 3 April 2014.