Asosiasi Pengajar Hukum Adat: Capres belum sentuh isu masyarakat adat
1 April 2019 18:42 WIB
Capres nomor urut 01 Joko Widodo dan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto berjabat tangan saat mengikuti debat capres putaran keempat di Hotel Shangri La, Jakarta, Sabtu (30/3/2019). Debat itu mengangkat tema Ideologi, Pemerintahan, Pertahanan dan Keamanan, serta Hubungan Internasional. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia mengkritisi debat para calon presiden (Capres) 2019,Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang belum menyentuh soal isu terpinggirnya masyarakat adat yang selama ini masih terjadi, utamanya soal kepemilikan tanahnya.
Untuk itu, Ketua Umum APHA, Dr Laksanto Utomo dalam keterangan pers di Jakarta, Senin, mendesak agar capres dan cawapres menyentuh soal perlindungan masyarakat adat yang belum sepenuhnya mendapatkan perhatian.
"Soal politik dan ideologi kedua capres tidak perlu diragukan, tetapi soal keberpihakan kepada masyarakat adat yang selama ini tanahnya sering digusur belum tercermin adanya pemihakan," katanya, seraya menambahkan, belum disahkannya UU Hukum Adat yang sudah diajukan lebih dari 15 tahun itu karena dinilai akan merugikan kepentingan pemerintah dan investor.
Jika melihat Pasal 18 B ayat (2) UUD RI tahun 1945 yang menyatakan, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.
"Dari pasal itu telah ditindak lanjuti oleh para pegiat hukum adat dengan mengajukan UU Hukum Adat. Namun sampai saat ini belum dilakukan pembahasan serius baik oleh pemerintah dan DPR," kata Laksanto yang didampingi Prof Dr Jeane Neltje Saly, sebagai pembina APHA.
Laksanto juga mengatakan, belum disentuhnya isu masyarakat hukum adat dalam debat capres dan cawapres, karena akan membuat kesulitan bagi para pemimpin terpilih untuk melakukan konversi dari tanah milik masyarakat adat ke sektor industri, baik untuk lahan sawit maupun tambang.
"Jika UU Hukum Adat disahkan, pemerintah tentu tak akan mudah melakukan konversi lahan tanpa melibatkan masyarakat sekitarnya," kata Laksanto yang juga peneliti senior hukum adat.
Sementara itu Prof Jeane yang juga guru besar Universitas Taruma Negara menambahkan, ada enam poin tuntutan dari APHA untuk diperhatikan para capres kelak terpilih.
Dari enam itu antara lain, meminta Presiden terpilih untuk melakukan moratorium izin konsesi HPH dan perkebunan besar di kawasan hutan terutama yang dekat dengan komunitas masyarakat adat dan permukiman masyarakat pada umumnya.
Hal ini penting dilakukan oleh capres terpilih jika ia sungguh-sungguh memperhatikan masyarakat Indonesia yang notabene, masyarakat agraris yang tidak perlu mengimpor beras, jagung, kedele dan sebagainya.
"Saya sering kecewa kalau melakukan kunjungan atau penelitian ke daerah, karena di tempat itu langka akan makanan khas daerah setempat. Jeruk dan pisang yang ada semua dari impor lantaran lahan kita sudah habis diambil oleh para konglomerat untuk ditanam sawit, karet dan sebagainya yang diperuntukkan oleh pihak asing," katanya.
Oleh karenanya, APHA meminta komitmen para capres yang kini sedang berlaga itu untuk menyampaikan programnya terkait dengan perlindungan hukum masyarakat adat dan segala bentuk asset yang dimilikinya.
Untuk itu, Ketua Umum APHA, Dr Laksanto Utomo dalam keterangan pers di Jakarta, Senin, mendesak agar capres dan cawapres menyentuh soal perlindungan masyarakat adat yang belum sepenuhnya mendapatkan perhatian.
"Soal politik dan ideologi kedua capres tidak perlu diragukan, tetapi soal keberpihakan kepada masyarakat adat yang selama ini tanahnya sering digusur belum tercermin adanya pemihakan," katanya, seraya menambahkan, belum disahkannya UU Hukum Adat yang sudah diajukan lebih dari 15 tahun itu karena dinilai akan merugikan kepentingan pemerintah dan investor.
Jika melihat Pasal 18 B ayat (2) UUD RI tahun 1945 yang menyatakan, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.
"Dari pasal itu telah ditindak lanjuti oleh para pegiat hukum adat dengan mengajukan UU Hukum Adat. Namun sampai saat ini belum dilakukan pembahasan serius baik oleh pemerintah dan DPR," kata Laksanto yang didampingi Prof Dr Jeane Neltje Saly, sebagai pembina APHA.
Laksanto juga mengatakan, belum disentuhnya isu masyarakat hukum adat dalam debat capres dan cawapres, karena akan membuat kesulitan bagi para pemimpin terpilih untuk melakukan konversi dari tanah milik masyarakat adat ke sektor industri, baik untuk lahan sawit maupun tambang.
"Jika UU Hukum Adat disahkan, pemerintah tentu tak akan mudah melakukan konversi lahan tanpa melibatkan masyarakat sekitarnya," kata Laksanto yang juga peneliti senior hukum adat.
Sementara itu Prof Jeane yang juga guru besar Universitas Taruma Negara menambahkan, ada enam poin tuntutan dari APHA untuk diperhatikan para capres kelak terpilih.
Dari enam itu antara lain, meminta Presiden terpilih untuk melakukan moratorium izin konsesi HPH dan perkebunan besar di kawasan hutan terutama yang dekat dengan komunitas masyarakat adat dan permukiman masyarakat pada umumnya.
Hal ini penting dilakukan oleh capres terpilih jika ia sungguh-sungguh memperhatikan masyarakat Indonesia yang notabene, masyarakat agraris yang tidak perlu mengimpor beras, jagung, kedele dan sebagainya.
"Saya sering kecewa kalau melakukan kunjungan atau penelitian ke daerah, karena di tempat itu langka akan makanan khas daerah setempat. Jeruk dan pisang yang ada semua dari impor lantaran lahan kita sudah habis diambil oleh para konglomerat untuk ditanam sawit, karet dan sebagainya yang diperuntukkan oleh pihak asing," katanya.
Oleh karenanya, APHA meminta komitmen para capres yang kini sedang berlaga itu untuk menyampaikan programnya terkait dengan perlindungan hukum masyarakat adat dan segala bentuk asset yang dimilikinya.
Pewarta: M Arief Iskandar
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019
Tags: