Pengamat soroti keunikan kebijakan energi nasional
1 April 2019 15:42 WIB
Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa (kiri), memberi paparan dalam seminar bertajuk "Transisi Energi Global dan Masa Depan Batubara di Indonesia" yang digelar di Jakarta, Senin (1/4/2019). (ANTARA/M Razi Rahman)
Jakarta (ANTARA) - Pengamat energi dan Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyoroti adanya keunikan di kebijakan energi nasional yang dihasilkan pemerintah Indonesia dibandingkan dengan kebijakan yang dilakukan sejumlah negara lainnya.
"Kebijakan energi nasional saat ini ada dua yang didorong, yaitu peningkatan batu bara dan peningkatan bauran energi," kata Fabby Tumiwa di Jakarta, Senin.
Menurut Fabby, ketika negara lain mengembangkan energi terbarukan, maka biasanya justru pembangkit listrik yang menggunakan batubara yang coba dikurangi.
Namun, lanjutnya, justru dalam kebijakan di Indonesia justru batu bara dan energi terbarukan jalan berbarengan sehingga merupakan fenomena yang juga menarik.
"Untuk mengantisipasi kenaikan batubara di domestik, mulai 2012 kementerian ESDM menerapkan kebijakan DMO (kewajiban pasar dalam negeri) untuk batu bara," ucapnya.
Ia mengingatkan bahwa kebijakan itu dikeluarkan karena awalnya PLN mengalami kesulitan mendapatkan batu bara karena komoditas tersebut lebih banyak diprioritaskan para penambang untuk diekspor.
Padahal, ujar dia, meski batu bara masih cukup dominan dan dipakai di 78 negara di dunia serta menghasilkan 40 persen dari seluruh listrik dunia, tetapi di sejumlah negara terdapat kebijakan dan rencana untuk mengurangi bahkan menghilangkan PLTU Batubara.
Dari 78 negara tersebut, lanjutnya, terdapat 30 negara yang telah merencanakan untuk menutup PLTU Batubara sebelum 2030 atau tidak membangun yang baru.
Di dalam negeri, ia berpendapat bahwa pada saat ini sebenarnya tidak ada satu pun pihak yang mengetahui kebutuhan batu bara misalnya selama jangka waktu 10 tahun lagi.
Selain itu, Fabby juga menuturkan bahwa sektor batu bara memiliki keterikatan yang kuat dengan lanskap politik di Indonesia karena disinyalir banyak elit baik di tingkat politik nasional maupun lokal yang berkaitan dengan industri batubara.
Terlebih sejak desentralisasi perizinan diperkenalkan di awal reformasi, lanjutnya, terjadi euforia di kalangan elit sehingga kencangnya konflik kepentingan yang ditimbulkan kerap menghambat perumusan agenda transisi energi.
Ia juga berpendapat bahwa tekanan internasional dalam hal perubahan iklim dan daya saing teknologi energi terbarukan dapat membuat kekayaan batubara nasional menjadi kutukan sumber daya pada masa depan.
"Dengan mempertimbangkan dinamika energi global, IESR mendesak pemerintah untuk melakukan kajian mengenai transisi energi dan masa depan industri batubara serta menyiapkan langkah-langkah transisi ekonomi, khususnya diversifikasi ekonomi dan pengembangan industri di daerah penghasil utama batubara, membangun industri energi terbarukan pada skala nasional, serta mempersiapkan skenario transisi energi di sektor kelistrikan, untuk menghasilakn sebuah proses transisi yang berkeadilan," pungkas Fabby Tumiwa.
Baca juga: Sektor energi nasional perlu ikut kurangi laju emisi
"Kebijakan energi nasional saat ini ada dua yang didorong, yaitu peningkatan batu bara dan peningkatan bauran energi," kata Fabby Tumiwa di Jakarta, Senin.
Menurut Fabby, ketika negara lain mengembangkan energi terbarukan, maka biasanya justru pembangkit listrik yang menggunakan batubara yang coba dikurangi.
Namun, lanjutnya, justru dalam kebijakan di Indonesia justru batu bara dan energi terbarukan jalan berbarengan sehingga merupakan fenomena yang juga menarik.
"Untuk mengantisipasi kenaikan batubara di domestik, mulai 2012 kementerian ESDM menerapkan kebijakan DMO (kewajiban pasar dalam negeri) untuk batu bara," ucapnya.
Ia mengingatkan bahwa kebijakan itu dikeluarkan karena awalnya PLN mengalami kesulitan mendapatkan batu bara karena komoditas tersebut lebih banyak diprioritaskan para penambang untuk diekspor.
Padahal, ujar dia, meski batu bara masih cukup dominan dan dipakai di 78 negara di dunia serta menghasilkan 40 persen dari seluruh listrik dunia, tetapi di sejumlah negara terdapat kebijakan dan rencana untuk mengurangi bahkan menghilangkan PLTU Batubara.
Dari 78 negara tersebut, lanjutnya, terdapat 30 negara yang telah merencanakan untuk menutup PLTU Batubara sebelum 2030 atau tidak membangun yang baru.
Di dalam negeri, ia berpendapat bahwa pada saat ini sebenarnya tidak ada satu pun pihak yang mengetahui kebutuhan batu bara misalnya selama jangka waktu 10 tahun lagi.
Selain itu, Fabby juga menuturkan bahwa sektor batu bara memiliki keterikatan yang kuat dengan lanskap politik di Indonesia karena disinyalir banyak elit baik di tingkat politik nasional maupun lokal yang berkaitan dengan industri batubara.
Terlebih sejak desentralisasi perizinan diperkenalkan di awal reformasi, lanjutnya, terjadi euforia di kalangan elit sehingga kencangnya konflik kepentingan yang ditimbulkan kerap menghambat perumusan agenda transisi energi.
Ia juga berpendapat bahwa tekanan internasional dalam hal perubahan iklim dan daya saing teknologi energi terbarukan dapat membuat kekayaan batubara nasional menjadi kutukan sumber daya pada masa depan.
"Dengan mempertimbangkan dinamika energi global, IESR mendesak pemerintah untuk melakukan kajian mengenai transisi energi dan masa depan industri batubara serta menyiapkan langkah-langkah transisi ekonomi, khususnya diversifikasi ekonomi dan pengembangan industri di daerah penghasil utama batubara, membangun industri energi terbarukan pada skala nasional, serta mempersiapkan skenario transisi energi di sektor kelistrikan, untuk menghasilakn sebuah proses transisi yang berkeadilan," pungkas Fabby Tumiwa.
Baca juga: Sektor energi nasional perlu ikut kurangi laju emisi
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019
Tags: