Jakarta (ANTARA) - Salah satu hasil pengamatan atas debat calon presiden, tak satupun calon menjabarkan visinya tentang cara menangani tantangan terbesar di bidang sosial dan perekonomian di zaman kita, yakni perubahan iklim.

Hal ini mengejutkan, karena terdapat segudang alasan untuk memperjuangkan kebijakan tentang perubahan iklim dan berbagai permasalahan sekitar pertumbuhan hijau.

Pertama, untuk memperjuangkan perekonomian yang tangguh terhadap perubahan iklim adalah sebuah strategi politik yang layak diambil.

Alasannya? Strategi itu mampu menarik kelompok pemilih penting: kaum Milenial dan generasi Gen Z. Hasil penelitian global oleh World Economic Forum dan Deloitte yang juga mencakup responden dari Indonesia, menegaskan bahwa perubahan iklim menjadi lima masalah besar yang mencemaskan orang muda.

Kecemasan mereka tentu beralasan karena jelas terdapat bukti ilmiah tentang pemanasan global. Laporan terakhir dari Panel Ahli Perubahan Iklim Antar-pemerintah (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) menunjukkan bahwa bumi akan menghangat dengan suhu antara 1,5 derajat dan 2 derajat Celsius di atas suhu era pra-industri pada abad ini, dan emisi karbon dari kegiatan manusia menjadi penyebab utamanya.

Dunia harus segera bertindak untuk mengurangi emisi agar dapat mengendalikan peningkatan rata-rata suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius dan menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim.

Kedua, berpartisipasi dalam upaya global untuk melawan perubahan iklim membawa nilai strategis dan manfaat ekonomi.

Pasalnya, Indonesia sebagai bangsa maritim, dengan perekonomian yang ditopang oleh sumber daya alam yang besar, membuat negara ini menjadi sangat rentan terhadap berbagai risiko terkait perubahan iklim.

IPCC memperkirakan bahwa berbagai peristiwa alam, antara lain cuaca ekstrim, kenaikan tingkat permukaan air laut, penurunan hasil panen dari sektor pertanian, akan lebih sering terjadi.

Selain itu, jumlah kematian karena berbagai sebab yang terkait dengan iklim akan menjadi lebih besar, dan kelangkaan air bersih akan meningkat di berbagai daerah.

Berbagai risiko ini berpotensi menaikkan tingkat kemiskinan dan risiko keamanan di banyak negara, termasuk Indonesia.

Ketiga, Indonesia sudah lama menjadi pemain aktif dalam diplomasi perubahan iklim. Misalnya, Indonesia menjadi tuan rumah Pertemuan Puncak Perubahan Iklim (Climate Summit) yang diprakarsai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2007.

Pertemuan tersebut merupakan bagian dari proses menuju ke Perjanjian Perubahan Iklim Paris (Paris Climate Agreement) tahun 2015.

Dengan menandatangani perjanjian tersebut, Indonesia berkomitmen untuk mencapai sejumlah target pengurangan emisi gas rumah kaca melalui dokumen Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC).

Keempat, Indonesia telah mengadopsi pembangunan yang berkelanjutan sebagai prinsip yang mengarahkan berbagai rencana strategis. Melalui Perjanjian Paris, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29-41 persen dari skenario Business as Usual pada 2030.

Realisasi dari berbagai target tersebut tergantung pada besarnya pendanaan internasional. Namun, perlu digarisbawahi bahwa berbagai target kebijakan iklim telah menjadi arah dalam proses perencanaan kebijakan nasional.

Target-target tersebut akan masuk ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Jadi, meskipun berbagai sasaran kebijakan iklim sudah diterima sebagai bagian dari dasar pijak strategis nasional, namun pelaku utama di bidang politik tampak enggan membahas berbagai permasalahan iklim bersama masyarakat.

Mungkin saja para politisi terkemuka di negara ini masih menganggap perubahan iklim sebagai masalah ‘negara maju’, maka dari itu biaya untuk kebijakan iklim tidak boleh dibebankan pada negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, tapi pada negara-negara kaya dan paling banyak berkontribusi pada pemanasan global.

Tapi itu adalah pandangan yang terlalu dangkal. Memang, kebijakan iklim akan menimbulkan biaya dalam jangka pendek karena komitmen untuk mengurangi emisi membutuhkan adanya perubahan dalam pengelolaan perekonomian.

Dibutuhkan suatu model baru berdasarkan pada pertumbuhan hijau, yakni pertumbuhan yang menghasilkan kemajuan perekonomian, sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca.

Hal ini membutuhkan adanya perpaduan dari inovasi teknologi yang cepat, investasi infrastruktur yang berkelanjutan, dan peningkatan efisiensi dalam penggunaan sumber daya.

Bagaimanapun juga, kita perlu mengakui bahwa model pertumbuhan Indonesia bukanlah model yang berkelanjutan. Model pertumbuhan Indonesia bahkan sudah menjadi sangat mahal.

Pasalnya, model tersebut sangat tergantung pada penggunaan sumber daya alam dan pada sektor energi berkarbon tinggi. Degradasi hutan dan lahan gambut serta tingkat penggunaan bahan bakar fosil yang tinggi dalam bauran energi menjadikan Indonesia sebagai penghasil karbon dioksida terbesar keempat di dunia.

Selain itu, inisiatif Pembangunan Rendah Karbon atau Low Carbon Development Indonesia (LCDI) melaporkan bahwa bila biaya dari berkurangnya sumber daya dan polusi udara dimasukkan ke dalam perhitungan, maka basis modal kekayaan alam Indonesia sudah berkurang sebesar 791 miliar dolar AS dalam kurun waktu antara tahun 2000-2018.

Penurunan nilai ini sebesar 78 persen dari jumlah PDB 2017. Mengandalkan model pertumbuhan ekonomi konvensional ternyata menjadi lebih berbiaya tinggi di masa depan.

Karena itu, mengadopsi visi pertumbuhan hijau bagi Indonesia merupakan peluang untuk berinvestasi di masa depan serta berpotensi memberikan manfaat ekonomi yang sangat besar.

New Climate Economy memperkirakan bahwa peluang investasi yang terkait dengan tindakan untuk iklim di seluruh dunia dapat memberikan manfaat ekonomi langsung sebesar 26 triliun dolar AS serta membuka 65 juta pekerjaan ‘hijau’ pada 2030.

Di Indonesia, Laporan Pembangunan Rendah Karbon yang disusun oleh Bappenas dan baru saja diluncurkan, memproyeksikan bahwa berbagai kebijakan pertumbuhan hijau dapat diterapkan dan menghasilkan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar enam persen per tahun hingga 2045.

Pada saat yang sama, berbagai kebijakan tersebut dapat mengurangi emisi karbon sebesar 43 persen dibandingkan dengan jumlah emisi yang akan dihasilkan jika tidak ada intervensi melalui kebijakan. Sejumlah pasar keuangan sudah mengantre untuk mendanai investasi infrastruktur hijau. Pasar obligasi hijau dunia telah mencapai 155 miliar dolar AS di tahun 2017.

Indonesia juga dapat dianggap sebagai pelopor di antara negara-negara berkembang karena mengeluarkan obligasi sebesar 2 miliar dolar AS di tahun 2018. Obligasi tersebut dapat menyerap minat pasar internasional yang makin menguat untuk berinvestasi pada pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan.

Jadi, pertumbuhan hijau merupakan opsi yang sangat mungkin dilakukan karena sumber daya keuangannya sudah tersedia. Namun, di samping terdapatnya sejumlah kemajuan, tingkat investasi di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan berbagai negara berkembang seperti Tiongkok dan India.

Tiongkok sendiri sudah menjadi pemimpin dunia dalam kendaraan listrik dan penggunaan tenaga matahari, sementara India merencanakan peningkatan kapasitas energi terbarukan sebesar dua kali lipat pada periode 2018-2022.

Singkatnya, pasar dunia sudah mengarah menuju dekarbonisasi. Kita berharap agar para pemimpin kita menjabarkan rencana mereka untuk memastikan bahwa Indonesia akan benar-benar memperoleh manfaat dari perekonomian hijau global di masa depan.

*) Kurnya Roesad adalah ekonom senior Indonesia di Global Green Growth Institute (GGGI) untuk program Indonesia


Baca juga: Negara-negara ASEAN perkuat komitmen untuk pertumbuhan hijau