Jakarta (ANTARA) - Penuntasan program elektrifikasi di seluruh pelosok Indonesia sebagai hal yang krusial untuk mengangkat harkat seluruh warga. Oleh karena itu, sebagai perusahaan yang bertanggung jawab, PLN terus berusaha menggenjot ketersediaan listrik hingga pedesaan.

Kendala terbesar PT Perusahaan Listrik Negara dalam upaya mewujudkan target rasio elektrifikasi 99,9 persen pada akhir 2019 adalah masalah infrastruktur dan daya beli masyarakat yang belum merata. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, PLN sebagai tangan tangan kanan pemerintah membutuhkan dukungan dari pemda-pemda di seluruh Indonesia.

Fatah Triyatna (49), seorang arsitek dan pengembang perumahan di Yogyakarta, berulang kali menjadi saksi terjadinya perubahan kehidupan masyarakat berkat adanya aliran listrik PLN.

Misalnya, seperti yang ia saksikan di beberapa daerah pelosok di Kabupaten Gunungkidul, tempatnya membuka lokasi perumahan baru. Sebutlah beberapa tempat terpencil, seperti di Kecamatan Semanu, Karang Rejo, Playen, bahkan Wonosari Kota.

Sekumpulan rumah yang dahulunya gulita begitu maghrib, menjadi lebih hidup setelah listrik masuk memberi penerangan. Anak-anak belajar tenang dalam durasi lebih panjang, warung-warung buka sampai malam, suara siaran televisi terdengar dari hampir setiap rumah. Masuknya aliran listrik telah mengubah kehidupan di di desa-desa terpencil itu.

Roda ekonomi pun bergerak lebih cepat dengan munculnya berbagai jenis usaha baru. Berawal dari euforia biasa, masyarakat kemudian menemukan nilai-nilai tambah baru dari sisi ekonomi setelah ada listrik. Peternakan burung puyuh dan ayam petelur beserta usaha penetasannya, bahkan peternakan jangkrik tiba-tiba menjadi tren bisnis yang menggairahkan kehidupan suatu dusun. Selain itu, muncul beberapa bisnis yang sebelumnya tidak dikenal dalam kehidupan desa, seperti layanan percetakan, kios token listrik, dan kios pulsa elektrik.

Fatah mengaku selalu bahagia ketika proyek pembangunan perumahan yang tengah ia bangun ikut memberi manfaat terhadap kehidupan warga yang bermukim di desa-desa sekitarnya.

Maklum saja, sebagai pengembang ia harus bisa menyediakan layanan listrik untuk konsumennya. Nah imbasnya, pemukiman di sekitar proyek yang semula belum teraliri listrik, bisa ikut “nebeng” tiang listrik dan trafo yang dibangun PLN berdasarkan izin yang diajukan Fatah untuk kompleksnya.

Begitulah, kendati PLN Distribusi Jawa Tengah dan DIY telah menargetkan rasio elektrifikasi bisa mencapai 100 persen pada tahun ini, Fatah sering kali menemukan tempat-tempat pemukiman yang luput dari jangkauan aliran listrik. Tempat itu biasanya berupa komunitas rumah yang warganya tidak terlalu banyak dan jaraknya cukup jauh dari transmisi tegangan menengah listrik.

Hanya saja, PLN pun harus mempertimbangkan efisiensi biaya untuk mengalirkan listrik ke tempat-tempat seperti itu karena selain butuh trafo tersendiri, untuk mengalirkan listrik ke pemukiman di pelosok seperti itu, sudah tentu butuh sambungan kabel transmisi dan tiang-tiang listrik baru yang biayanya tidak sedikit.

Perjalanan dalam melistriki negerinya memang sangat panjang. Hingga tujuh dekade Indonesia merdeka, masih terdapat jutaan rakyat yang belum menikmati listrik.

Kendati program elektrifikasi yang dicanangkan pemerintah sudah mencapai angka 98,3 persen, kenyataannya --seperti data yang diriilis Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana-- masih 1,8 juta Rumah Tangga (RT) yang belum teraliri listrik di seluruh Indonesia.

Yang mengejutkan, data itu memperlihatkan jumlah wilayah terbanyak yang belum mendapat aliran listrik justru ada di Provinsi Jawa Timur. Ada 238.687 rumah tangga yang disebut di sana. Angka itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan Papua (7.670 rumah tangga) dan Papua Barat (3.135 rumah tangga). (Sumber: www.dunia-energi.com, artikel Minggu, 10/03/2019)

Masuk Akal
Kendati sekilas terlihat aneh karena kejadian terbanyak justru ada di Jawa, menurut Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN I Made Suprateka, data itu masuk akal karena kenyataan yang ditemukan di lapangan memperlihatkan, masuknya jaringan listik ke suatu desa tidak otomatis menjadikan seluruh warga langsung bisa menikmati listrik.

Selalu ada anomali, terutama terkait dengan masalah daya beli konsumen listrik yang tidak merata dan masih banyak rumah tangga yang sudah berdiri sendiri namun listriknya masih levering (menyantol) dari rumah tangga induk.

Bagi Made, angka-angka tersebut sekaligus memberi gambaran bahwa PLN masih punya pekerjaan rumah besar dalam upaya mewujudkan target menuju rasio elektrifikasi 99,9 persen yang ditetapkan pemerintah akhir tahun ini.

Meski terkesan kecil, tantangan untuk melistriki sisa 1,7 persen desa yang belum dialiri listrik saat ini tak bisa dibilang mudah bagi PLN.

Dirjen Ketenagalistrikan juga mengakui dari sekitar 1,8 juta rumah tangga yang belum teraliri listrik saat ini, kemungkinkan baru 1,62 juta rumah tangga yang akan dialiri listrik dari sistem pembangkit PT PLN.

Made memaparkan untuk mencapai target elektifikasi tersebut, setidaknya PLN harus mampu menjawab dua tantangan besar yang menghadang, yakni masalah daya beli masyarakat dan infrastruktur.

Apalagi, sejak 2016, seperti diungkapkan Pandia Satria Jati dari Humas Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, program listrik pedesaan sudah sepenuhnya ditangani PLN sehingga tidak lagi menggunakan APBN yang dikelola Kementerian ESDM.

PLN, lanjut Made, sangat menyadari bahwa penuntasan masuknya listrik ke berbagai wilayah sangat krusial untuk mengangkat harkat penduduk daerah tersebut.

Hal itu, karena selain dapat mendorong peningkatan kualitas hidup masyarakat, juga sangat diperlukan untuk perkembangan berbagai usaha yang menopang kehidupan.

Perkembangan kebudayaan penduduk desa juga diyakini akan meningkat lantaran berkat listrik banyak aktivitas yang bisa dilakukan dengan lebih lama, bahkan hingga malam hari.

Akses yang terbatas adalah kendala terbesar dalam upaya PLN untuk mengalirkan listrik ke desa-desa terpencil dan daerah yang kondisi geografisnya sulit dijangkau. Kendala biasanya muncul dalam proses pengiriman peralatan listrik karena banyak akses jalan yang tidak memadai untuk dilalui kendaraan pengangkut material.

Namun, pemerintah tentu saja juga tidak lepas tangan begitu saja. Selain upaya penambahan jaringan melalui Program Listrik Perdesaan yang dilakukan PLN dan membagikan sumber Listrik Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE), tambah Pandu, pada 1 Februari lalu Menteri ESDM telah menyurati gubernur se-Indonesia, untuk mengalokasikan anggaran pasang baru listrik 450 VA bagi Rumah Tangga Miskin.

Untuk keperluan ini, pemda bisa mengalokasikan dana dari APBD atau dana program tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) perusahaan di daerah.

Selain itu, Kementerian ESDM juga meminta kepada pemerintah daerah untuk memperbaiki akses jalan, sehingga bisa mempermudah PLN dalam proses penyaluran listrik di daerah tersebut.

Bagaimanapun juga, program elektrifikasi 100 persen untuk memajukan masyarakat akan sulit terwujud tanpa dukungan pemda-pemda setempat.