Perempuan Sulteng berkumpul bahas pemenuhan hak pascabencana
30 Maret 2019 13:58 WIB
Kepala DP3A Sulteng Ihsan Basir menyampaikan materi pada pertemuan perempuan Sulteng terkait pemenuhan hak dalam kegiatan 'antara aku, perempuan dan kopi' di Palu, Sabtu. (Antaranews/Muhammad Hajiji)
Palu (ANTARA) - Perempuan korban bencana gempa, likuifaksi dan tsunami di Kota Palu, Kabupaten Donggala, Sigi dan Parigi Moutong yang di bina oleh Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST) dan Libu Perempuan, Sabtu berkumpul membahas pemenuhan hak perempuan usai peristiwa bencana tersebut.
"Motesa (bincang-bincang/berbicara) perempuan merupakan rangkaian kegiatan dari motesa perempuan di tenda ramah perempuan (TRP) lokasi pengungsian, di naikkan ke level tingkat kabupaten dan provinsi," ucap Ketua KPKP-ST, Soraya Sultan, di Palu, Sabtu.
Pembahasan strategi dan rumusan pemenuhan hak-hak dan perlindungan terhadap perempuan dan anak korban bencana Sulteng lewat kegiatan yang bertajuk 'antara aku, perempuan dan kopi, yang melibatkan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sulteng, Bappeda, di Palu, Sabtu.
Soraya mengatakan kegiatan itu sebagai wadah, menjaring aspirasi perempuan, sekaligus membuka ruang agar perempuan berani menyuarakan masalah yang di alami di lokasi pengungsian. Misalkan, masalah ekonomi, yaitu tentang pemenuhan kebutuhan dasar perempuan dan anak serta rumah tangga pascabencana.
"Banyak masalah yang di alami perempuan di lokasi pengungsian. Misalkan sarana kebutuhan, itu sangat minim dan menjadi problem besar di pengungsian," sebut Soraya.
Minimnya air bersih di lokasi pengungsian, menjadi salah satu masalah serius. Belum lagi mengenai sarana MCK yang di bangun tanpa mempertimbangkan kerawanan dan kerentanan terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Selain itu, mengenai lapangan kerja terhadap perempuan. "Seperti perempuan di Desa Wombo Kaloro, mereka adalah petani bawang. Namun tidak bisa mengolah karena lahan pertanian rusak dan kesulitan air. Akhirnya mereka datangkan bawang dari daerah lain, yang biaya produksinya jauh lebih tinggi," kata dia.
Beberapa masalah yang di hadapi oleh perempuan telah selesai di tingkat bawah atau tingkat desa dan kabupaten. Seperti adanya perdes tentang pelibatan perempuan dalam perencanaan desa.
Ia mengatakan perlunya alokasi dana desa untuk pendampingan perempuan dan anak korban kekerasan. Namun ada juga yang belum selesai, seperti di Donggala yang berkaitan dengan standar operasional penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Berbeda dengan Kabupaten Sigi yang jauh lebih maju. Misalkan ada rehabilitasi dan rekon yang responsif gender. Sehingga pada semua level, perempuan suda terlibat dalam kegiatan rehab dan rekon, tambahnya.
"Di Sigi sampai ada pos-pos pengamanan perempuan, swadaya, sampai di tingkat camp pengungsian. Termasuk dukungan modal terhadap perempuan untuk berwira usaha," ujar dia.
Karena itu, kegiatan perempuan Sulteng berkumpul akan melahirkan rumusan yang di sampaikan kepada Bappeda Sulteng lewat DP3A Sulteng. Rumusan mengenai kegiatan fisik dan non-fisik, yang bisa di intervensi lewat APBD dan APBN.
"Misalkan seperti bak penampungan air, MCK yang terpisah antara laki-laki dan perempuan, bantuan bibit pertanian, peralatan usaha dan modal usaha. Terdapat 120 perempuan binaan dari dua belas Tenda Ramah Perempuan (TRP) mengikuti rapat pemenuhan hak pascabencana.
Terkait hal itu Kepala DP3A Sulawesi Tengah Ihsan Basir menegaskan dokumen rumusan pemenuhan hak perempuan dan anak pascabencana harus menjadi acuan pemerintah dalam kegiatan rehab/rekon. "Ini akan kita sampaikan kepada Bappeda Sulawesi Tengah," kata Ihsan.
Ihsan memandang bahwa kegiatan dan program berbasis responsif gender perlu menjadi perhatian pemerintah. Bahkan, kelompok-kelompok perempuan harus terlibat dalam asistensi kegiatan anggaran pembangunan di pemerintahan.
Kegiatan itu, dibarengi data-data sehingga intervensi terhadap pemenuhan hak perempuan dapat tepat sasaran. Ia menambahkan bahwa kasus dan fenomena kekerasan terhadap perempuan harus jadi perhatian semua orang. "Pada saat dan pascabencana banyak perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan," sebut Ihsan Basir.
"Motesa (bincang-bincang/berbicara) perempuan merupakan rangkaian kegiatan dari motesa perempuan di tenda ramah perempuan (TRP) lokasi pengungsian, di naikkan ke level tingkat kabupaten dan provinsi," ucap Ketua KPKP-ST, Soraya Sultan, di Palu, Sabtu.
Pembahasan strategi dan rumusan pemenuhan hak-hak dan perlindungan terhadap perempuan dan anak korban bencana Sulteng lewat kegiatan yang bertajuk 'antara aku, perempuan dan kopi, yang melibatkan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sulteng, Bappeda, di Palu, Sabtu.
Soraya mengatakan kegiatan itu sebagai wadah, menjaring aspirasi perempuan, sekaligus membuka ruang agar perempuan berani menyuarakan masalah yang di alami di lokasi pengungsian. Misalkan, masalah ekonomi, yaitu tentang pemenuhan kebutuhan dasar perempuan dan anak serta rumah tangga pascabencana.
"Banyak masalah yang di alami perempuan di lokasi pengungsian. Misalkan sarana kebutuhan, itu sangat minim dan menjadi problem besar di pengungsian," sebut Soraya.
Minimnya air bersih di lokasi pengungsian, menjadi salah satu masalah serius. Belum lagi mengenai sarana MCK yang di bangun tanpa mempertimbangkan kerawanan dan kerentanan terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Selain itu, mengenai lapangan kerja terhadap perempuan. "Seperti perempuan di Desa Wombo Kaloro, mereka adalah petani bawang. Namun tidak bisa mengolah karena lahan pertanian rusak dan kesulitan air. Akhirnya mereka datangkan bawang dari daerah lain, yang biaya produksinya jauh lebih tinggi," kata dia.
Beberapa masalah yang di hadapi oleh perempuan telah selesai di tingkat bawah atau tingkat desa dan kabupaten. Seperti adanya perdes tentang pelibatan perempuan dalam perencanaan desa.
Ia mengatakan perlunya alokasi dana desa untuk pendampingan perempuan dan anak korban kekerasan. Namun ada juga yang belum selesai, seperti di Donggala yang berkaitan dengan standar operasional penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Berbeda dengan Kabupaten Sigi yang jauh lebih maju. Misalkan ada rehabilitasi dan rekon yang responsif gender. Sehingga pada semua level, perempuan suda terlibat dalam kegiatan rehab dan rekon, tambahnya.
"Di Sigi sampai ada pos-pos pengamanan perempuan, swadaya, sampai di tingkat camp pengungsian. Termasuk dukungan modal terhadap perempuan untuk berwira usaha," ujar dia.
Karena itu, kegiatan perempuan Sulteng berkumpul akan melahirkan rumusan yang di sampaikan kepada Bappeda Sulteng lewat DP3A Sulteng. Rumusan mengenai kegiatan fisik dan non-fisik, yang bisa di intervensi lewat APBD dan APBN.
"Misalkan seperti bak penampungan air, MCK yang terpisah antara laki-laki dan perempuan, bantuan bibit pertanian, peralatan usaha dan modal usaha. Terdapat 120 perempuan binaan dari dua belas Tenda Ramah Perempuan (TRP) mengikuti rapat pemenuhan hak pascabencana.
Terkait hal itu Kepala DP3A Sulawesi Tengah Ihsan Basir menegaskan dokumen rumusan pemenuhan hak perempuan dan anak pascabencana harus menjadi acuan pemerintah dalam kegiatan rehab/rekon. "Ini akan kita sampaikan kepada Bappeda Sulawesi Tengah," kata Ihsan.
Ihsan memandang bahwa kegiatan dan program berbasis responsif gender perlu menjadi perhatian pemerintah. Bahkan, kelompok-kelompok perempuan harus terlibat dalam asistensi kegiatan anggaran pembangunan di pemerintahan.
Kegiatan itu, dibarengi data-data sehingga intervensi terhadap pemenuhan hak perempuan dapat tepat sasaran. Ia menambahkan bahwa kasus dan fenomena kekerasan terhadap perempuan harus jadi perhatian semua orang. "Pada saat dan pascabencana banyak perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan," sebut Ihsan Basir.
Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019
Tags: