Pasar minyak sawit Indonesia bisa dipertahankan untuk India-Tiongkok
28 Maret 2019 23:29 WIB
Direktur Keuangan PT Austindo Nusantara Jaya (ANJ) Tbk., Lukas Kurniawan usai menghadiri Diskusi dan Peringatan Sewindu ISPO di Jakarta, Kamis. (Mentari Dwi Gayati)
Jakarta (ANTARA) - PT Austindo Nusantara Jaya (ANJ) Tbk menilai pasar produk kelapa sawit Indonesia bisa terus bertahan di negara-negara konsumen minyak sawit mentah terbesar seperti Tiongkok, India, termasuk negara tetangganya Pakistan dan Bangladesh.
"Uni Eropa secara kesatuan memang besar, tetapi secara pasar tujuan, konsumsi paling besar adalah Tiongkok, India, termasuk Pakistan dan Bangladesh, serta jangan lupakan Indonesia sebagai pasar domestik. Pangsa tiga negara ini merupakan pangsa besar untuk terus dikembangkan," kata Direktur Keuangan PT ANJ Lukas Kurniawan usai menghadiri Diskusi dan Peringatan Sewindu ISPO di Jakarta, Kamis.
Lukas mengatakan pemerintah sudah melakukan langkah besar, terutama dalam penyerapan minyak kelapa sawit sendiri sebagai bahan bakar nabati (biofuel) melalui mandatori B20, bahkan kini menuju B30.
Menurut dia, meski kelapa sawit Indonesia diterpa diskiriminasi sawit dan kampanye hitam oleh Uni Eropa, pasar di benua Asia masih tergolong potensial.
"Kalau dilihat ke belakang, memang dulu ada praktik-praktik yang kurang bertanggung jawab, tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini, Pemerintah melalui ISPO sudah banyak melakukan pembenahan," kata dia.
Ia menambahkan, pada tahun ini, dengan gencarnya pelarangan Uni Eropa terhadap sawit serta perlambatan ekonomi global, investasi sawit di pasar modal masih menghadapi tantangan.
Hal itu karena tren laju penanaman kelapa sawit pada tahun ini diperkirakan lebih rendah dibanding tahun sebelumnya, baik akibat moratorium, maupun kewajiban sertifikasi terhadap pekebun plasma dan perusahaan.
"Investasi sawit di pasar modal merupakan jangka panjang, tidak seperti idnustri pertanian lainnya. Di tahun 2019 secara global pertumbuhan ekonomi diperkiran melambat sehingga tentu menjadi tantangan, tetapi jangan dilihat dari setahun ini," katanya.
Baca juga: GAPKI dukung perlakuan setara CPO Indonesia di Uni Eropa
Baca juga: Indonesia pertimbangkan larang produk UE akibat diskriminasi sawit
"Uni Eropa secara kesatuan memang besar, tetapi secara pasar tujuan, konsumsi paling besar adalah Tiongkok, India, termasuk Pakistan dan Bangladesh, serta jangan lupakan Indonesia sebagai pasar domestik. Pangsa tiga negara ini merupakan pangsa besar untuk terus dikembangkan," kata Direktur Keuangan PT ANJ Lukas Kurniawan usai menghadiri Diskusi dan Peringatan Sewindu ISPO di Jakarta, Kamis.
Lukas mengatakan pemerintah sudah melakukan langkah besar, terutama dalam penyerapan minyak kelapa sawit sendiri sebagai bahan bakar nabati (biofuel) melalui mandatori B20, bahkan kini menuju B30.
Menurut dia, meski kelapa sawit Indonesia diterpa diskiriminasi sawit dan kampanye hitam oleh Uni Eropa, pasar di benua Asia masih tergolong potensial.
"Kalau dilihat ke belakang, memang dulu ada praktik-praktik yang kurang bertanggung jawab, tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini, Pemerintah melalui ISPO sudah banyak melakukan pembenahan," kata dia.
Ia menambahkan, pada tahun ini, dengan gencarnya pelarangan Uni Eropa terhadap sawit serta perlambatan ekonomi global, investasi sawit di pasar modal masih menghadapi tantangan.
Hal itu karena tren laju penanaman kelapa sawit pada tahun ini diperkirakan lebih rendah dibanding tahun sebelumnya, baik akibat moratorium, maupun kewajiban sertifikasi terhadap pekebun plasma dan perusahaan.
"Investasi sawit di pasar modal merupakan jangka panjang, tidak seperti idnustri pertanian lainnya. Di tahun 2019 secara global pertumbuhan ekonomi diperkiran melambat sehingga tentu menjadi tantangan, tetapi jangan dilihat dari setahun ini," katanya.
Baca juga: GAPKI dukung perlakuan setara CPO Indonesia di Uni Eropa
Baca juga: Indonesia pertimbangkan larang produk UE akibat diskriminasi sawit
Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2019
Tags: