MK akan putus uji aturan KTP-el sebagai syarat memilih
28 Maret 2019 10:01 WIB
Sejumlah aktivis dan pengamat hukum tata negara mendaftarkan permohonan uji materi sejumlah pasal dalam UU No. 7/2017 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Selasa (5/3). (ANTARA /Integrity)
Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutus perkara pengujian sejumlah pasal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7/2017 terkait aturan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) sebagai salah satu syarat utama untuk memiliki hak pilih dalam Pemilu 2019.
"Mahkamah akan memutus perkara pengujian UU 7/2017 tentang Pemilu," ujar Juru Bicara MK Fajar Laksono di Gedung MK Jakarta, Kamis.
Adapun para pemohon dari uji materi ini adalah Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Titi Anggraini, pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari, mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, serta empat orang warga negara Indonesia yang dua di antaranya warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tangerang.
Para pemohon sebelumnya menguji Pasal 348 ayat (9), Pasal 348 ayat (4), Pasal 210 ayat (1), Pasal 350 ayat (2), dan Pasal 383 ayat (2) UU 7/2017 (UU Pemilu), karena menilai pasal-pasal tersebut menghambat atau menghilangkan hak pemilih warga negara yang harusnya justru dilindungi dan difasilitasi.
Para pemohon menyatakan permohonan uji materi tersebut bertujuan untuk menyelamatkan empat juta suara rakyat yang belum terdaftar dalam KTP-el.
Pemohon mendalilkan empat juta penduduk yang merupakan kelompok rentan seperti masyarakat adat, kaum miskin kota, penyandang disabilitas, panti sosial, warga binaan di lapas dan rumah tahanan, dan beberapa pemilih lain yang tidak mempunyai akses yang cukup untuk memenuhi syarat pembuatan KTP elektronik.
Denny menambahkan ketentuan tersebut juga menyebabkan pemilih yang pindah lokasi tempat tinggal memilih berpotensi kehilangan hak pilihnya dalam pemilu legislatif.
Selain itu, pemohon juga mengajukan pengujian untuk Pasal 350 ayat (2) UU Pemilu supaya dinyatakan konstitusional bersyarat, dengan tujuan untuk memungkinkan dibuatnya TPS khusus agar para pemilih dengan kebutuhan khusus, tidak kehilangan hak pilihnya.
"Mahkamah akan memutus perkara pengujian UU 7/2017 tentang Pemilu," ujar Juru Bicara MK Fajar Laksono di Gedung MK Jakarta, Kamis.
Adapun para pemohon dari uji materi ini adalah Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Titi Anggraini, pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari, mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, serta empat orang warga negara Indonesia yang dua di antaranya warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tangerang.
Para pemohon sebelumnya menguji Pasal 348 ayat (9), Pasal 348 ayat (4), Pasal 210 ayat (1), Pasal 350 ayat (2), dan Pasal 383 ayat (2) UU 7/2017 (UU Pemilu), karena menilai pasal-pasal tersebut menghambat atau menghilangkan hak pemilih warga negara yang harusnya justru dilindungi dan difasilitasi.
Para pemohon menyatakan permohonan uji materi tersebut bertujuan untuk menyelamatkan empat juta suara rakyat yang belum terdaftar dalam KTP-el.
Pemohon mendalilkan empat juta penduduk yang merupakan kelompok rentan seperti masyarakat adat, kaum miskin kota, penyandang disabilitas, panti sosial, warga binaan di lapas dan rumah tahanan, dan beberapa pemilih lain yang tidak mempunyai akses yang cukup untuk memenuhi syarat pembuatan KTP elektronik.
Denny menambahkan ketentuan tersebut juga menyebabkan pemilih yang pindah lokasi tempat tinggal memilih berpotensi kehilangan hak pilihnya dalam pemilu legislatif.
Selain itu, pemohon juga mengajukan pengujian untuk Pasal 350 ayat (2) UU Pemilu supaya dinyatakan konstitusional bersyarat, dengan tujuan untuk memungkinkan dibuatnya TPS khusus agar para pemilih dengan kebutuhan khusus, tidak kehilangan hak pilihnya.
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Edy Supriyadi
Copyright © ANTARA 2019
Tags: