BIG: perlu dibentuk dinas informasi geospasial di daerah di Indonesia
27 Maret 2019 17:28 WIB
Kepala Badan Informasi Geospasial Hasanuddin Zainal Abidin (tengah) berbicara kepada wartawan di sela-sela Rapat Koordinasi Nasional Informasi Geospasial 2019 yang bertemakan "Pembangunan Berbasis Informasi Geospasial", Jakarta, Rabu (27/03/2019). (ANTARA News/Martha Herlinawati Simanjuntak)
Jakarta (ANTARA) - Badan Informasi Geospasial (BIG) berharap agar dinas informasi geospasial dapat dibentuk di daerah-daerah di seluruh Indonesia, setidaknya di tingkat provinsi untuk mendorong percepatan pemenuhan ketersediaan peta-peta tematik guna penyusunan dan pemutakhiran tata ruang.
"Saya sudah ngomong ke Pak Menteri Dalam Negeri, Indonesia itu begitu besar kalau yang mengurusi pemetaan itu hanya BIG, kelihatannya ini kita akan lama sekali (menyelesaikan seluruh kebutuhan pemetaan), kenapa tidak di setiap daerah provinsi itu ada dinas geospasial, milik pemerintah daerah pun tidak apa-apa, tidak perlu bagian dari kita, tapi berkoordinasi dengan BIG," kata Kepala BIG Hasanuddin Zainal Abidin dalam Rapat Koordinasi Nasional Informasi Geospasial 2019 yang bertemakan "Pembangunan Berbasis Informasi Geospasial", Jakarta, Rabu.
Hasanuddin menuturkan pentingnya memperkuat kelembagaan informasi geospasial dengan membentuk dinas informasi geospasial di tiap daerah karena BIG memiliki keterbatasan untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia jika dikaitkan dengan kebutuhan segera akan pemetaan.
Lagi pula, menurut dia, daerah lebih tahu mengenai karakteristik dan kondisi wilayah serta kebutuhan peta-peta tematik yang harus segera dipenuhi untuk pembangunan tata ruang dan pengembangan daerah.
Dengan keberadaan dinas informasi geospasial, Hasanuddin mengatakan daerah dapat segera melakukan pemetaan sesuai dengan urgensi kebutuhan seperti untuk masalah pertambangan, perkebunan dan bencana.
Dia mencontohkan jika dinas informasi geospasial sudah ada di Papua, maka lembaga itu dapat membuat pemetaan rawan bencana secara lebih detail dengan skala lebih besar hingga 1:5.000 atau lebih.
Dengan peta rawan banjir yang lebih detail, diharapkan dapat menjadi masukan untuk mitigasi bencana di Jayapura agar tidak menelan banyak korban dan kerugian seperti yang terjadi pada bencana banjir Sentani.
"Coba kalau di sana (Jayapura) itu ada dinas geospasial, dia memetakan dan bisa me-'warning' (memberikan peringatan) duluan kan, oh ini sudah kerusakan lingkungan bahaya," ujarnya.
Dia mengatakan tangan pemerintah harus sampai ke tingkat daerah bahkan ke tingkat desa untuk pengoptimalan informasi geospasial seperti peta rawan banjir, rawan longsor, rawan gempa dengan data yang lebih detail.
Untuk itu, percepatan dengan kebutuhan yang mendesak saat ini harus menjadi perhatian melalui pembentukan dan penguatan kelembagaan informasi geospasial hingga ke daerah di seluruh Indonesia.
Dia mengatakan Malaysia dan Jepang dengan luas wilayah yang tidak seluas Indonesia memiliki perwakilan BIG hingga ke provinsi.
Sementara, Indonesia dengan luas daratan dan lautan yang jauh lebih besar dari kedua negara itu tidak memiliki perwakilan di tingkat provinsi. Padahal semua pembangunan membutuhkan peta-peta tematik agar tepat sasaran dan efektif.
"Saya paham juga kan birokrasi itu ingin dirampingkan, tapi maksudnya kalau yang penting sebenarnya perlu (dibentuk dinas informasi geospasial)," tuturnya.
"Saya sudah ngomong ke Pak Menteri Dalam Negeri, Indonesia itu begitu besar kalau yang mengurusi pemetaan itu hanya BIG, kelihatannya ini kita akan lama sekali (menyelesaikan seluruh kebutuhan pemetaan), kenapa tidak di setiap daerah provinsi itu ada dinas geospasial, milik pemerintah daerah pun tidak apa-apa, tidak perlu bagian dari kita, tapi berkoordinasi dengan BIG," kata Kepala BIG Hasanuddin Zainal Abidin dalam Rapat Koordinasi Nasional Informasi Geospasial 2019 yang bertemakan "Pembangunan Berbasis Informasi Geospasial", Jakarta, Rabu.
Hasanuddin menuturkan pentingnya memperkuat kelembagaan informasi geospasial dengan membentuk dinas informasi geospasial di tiap daerah karena BIG memiliki keterbatasan untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia jika dikaitkan dengan kebutuhan segera akan pemetaan.
Lagi pula, menurut dia, daerah lebih tahu mengenai karakteristik dan kondisi wilayah serta kebutuhan peta-peta tematik yang harus segera dipenuhi untuk pembangunan tata ruang dan pengembangan daerah.
Dengan keberadaan dinas informasi geospasial, Hasanuddin mengatakan daerah dapat segera melakukan pemetaan sesuai dengan urgensi kebutuhan seperti untuk masalah pertambangan, perkebunan dan bencana.
Dia mencontohkan jika dinas informasi geospasial sudah ada di Papua, maka lembaga itu dapat membuat pemetaan rawan bencana secara lebih detail dengan skala lebih besar hingga 1:5.000 atau lebih.
Dengan peta rawan banjir yang lebih detail, diharapkan dapat menjadi masukan untuk mitigasi bencana di Jayapura agar tidak menelan banyak korban dan kerugian seperti yang terjadi pada bencana banjir Sentani.
"Coba kalau di sana (Jayapura) itu ada dinas geospasial, dia memetakan dan bisa me-'warning' (memberikan peringatan) duluan kan, oh ini sudah kerusakan lingkungan bahaya," ujarnya.
Dia mengatakan tangan pemerintah harus sampai ke tingkat daerah bahkan ke tingkat desa untuk pengoptimalan informasi geospasial seperti peta rawan banjir, rawan longsor, rawan gempa dengan data yang lebih detail.
Untuk itu, percepatan dengan kebutuhan yang mendesak saat ini harus menjadi perhatian melalui pembentukan dan penguatan kelembagaan informasi geospasial hingga ke daerah di seluruh Indonesia.
Dia mengatakan Malaysia dan Jepang dengan luas wilayah yang tidak seluas Indonesia memiliki perwakilan BIG hingga ke provinsi.
Sementara, Indonesia dengan luas daratan dan lautan yang jauh lebih besar dari kedua negara itu tidak memiliki perwakilan di tingkat provinsi. Padahal semua pembangunan membutuhkan peta-peta tematik agar tepat sasaran dan efektif.
"Saya paham juga kan birokrasi itu ingin dirampingkan, tapi maksudnya kalau yang penting sebenarnya perlu (dibentuk dinas informasi geospasial)," tuturnya.
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2019
Tags: