Artikel

Saatnya kampus berpihak kepada korban perkosaan

Oleh Anna Puji Lestari MIKom *)
27 Maret 2019 13:48 WIB
Foto Ilustrasi (/)
Jakarta (ANTARA) - Publik masih digemparkan dengan kasus kekerasan seksual di kampus. Akhir-akhir ini terungkap bahwa salah satu dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro juga menjadi terduga pelaku tindak kekerasan seksual terhadap beberapa mahasiswinya.

Mengingat kasus kekerasan seksual di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2017 yang akhirnya berakhir damai, membuat kita pesimis akan adanya keadilan bagi koban kekerasan seksual lain di kampus.

Kasus pemerkosaan yang dilakukan mahasiswa Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada (UGM) kepada salah seorang mahasiswi Fisipol, terjadi saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku. Korban "dikondisikan" untuk melunak dan melakukan penyelesaian secara internal UGM.

Hal tersebut sangat disayangkan. Pasalnya, kampus sebagai pusat pembelajaran bagi peserta didik agar memperoleh ilmu dan etika justru terkesan cari aman atas kasus pelanggaran etika dan hak asasi manusia (HAM) tingkat berat tersebut.

Kekerasan seksual bisa dikatakan merupakan pelanggaran HAM tingkat berat dikarenakan menjamah tubuh atau wilayah privat seseorang secara paksa dan brutal. Terlebih lagi, dalam banyak kasus korban kekerasan seksual mengalami trauma psikologis yang tidak bisa disembuhkan. Bahkan, banyak di antaranya yang memutuskan mengakhiri hidup karena tidak tahan dengan cemoohan masyarakat yang menilai korban sebagai seseorang yang mempermalukan nama baik keluarga.

Banyaknya kasus kekerasan seksual yang memaksa korban untuk melunak dan cemoohan masyarakat membuat mayoritas korban kekerasan seksual memutuskan untuk bungkam dan tidak melaporkan secara hukum. Berdasarkan Survei yang dilakukan Lentera Sintas Indonesia 93 persen kasus pemerkosaan di Indonesia tidak dilaporkan.

Pemerintah sebenarnya telah menetapkan pemerkosaan sebagai kejahatan luar biasa. Indikasinya adalah pada Mei 2016 telah disetujui peraturan pengganti undang-undang yang memungkinkan hukuman mati sebagai hukuman maksimum untuk pemerkosaan anak-anak. Selain itu, para pelanggar juga dapat menghadapi pengebirian kimia dan pemasangan keping elektronik untuk melacak pergerakannya di bawah hukum.

Pihak lain yang turut berperan besar mengusahakan keadilan bagi korban kekerasan seksual adalah Komisi Nasional Anti-Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan). Beberapa waktu belakangan ini, Komnas Perempuan mendorong percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di DPR. RUU PKS diperlukan karena hak-hak korban kurang diakomodasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Indikasinya adalah dari 500 pasal yang ada, hanya terdapat tiga pasal yang berbicara mengenai hak-hak korban. Selain itu, sistem hukum dalam KUHP hanya mengatur tindakan pemerkosaan dan pencabulan. Padahal, realita menunjukkan bahwa terdapat beberapa jenis kekerasan seksual selain pemerkosaan dan pencabulan. Misalnya saja, chat dan kata-kata mesum yang diarahkan kepada perempuan belum diakomodir dalam KUHP.

Adapun definisi kekerasan seksual secara umum dapat meliputi upaya dan atau pemerkosaan, pemaksaan hubungan seksual dan pelecehan, kontak seksual dengan paksaan atau ancaman menggunakan kekuatan, serta ancaman pemerkosaan (Fisher et al, 2000: WHO, 2002).

Sedangkan definisi pemerkosaan secara khusus, menurut Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional adalah serangan yang diarahkan pada bagian seksualitas, seringan apapun, dengan menggunakan organ seksual (penis) ke organ seksual (vagina), anus atau mulut atau dengan menggunakan bagian tubuh lainnya yang bukan organ seksual ataupun benda-benda lainnya.

Serangan ini dilakukakan dengan pemaksaan atau menyerang seseorang yang tidak mampu memberikan ketidaksetujuan dan perlawanan sepenuhnya.

Menyadarkan
Banyaknya kasus kekerasan seksual di Indonesia yang juga melibatkan anak-anak sebagai korban telah menyadarkan pemerintah untuk menetapkan pemerkosaan sebagai kejahatan luar biasa. Selain itu, Komnas Perempuan dan berbagai pihak terkait telah mengusahakan pembelaan keadilan bagi korban.

Namun, beberapa kasus pemerkosaan di kampus yang terungkap justru ditutupi dan memilih jalan penyelesaian yang tidak berpihak pada korban. Berbagai upaya kampus menutupi dan mendamaikan skandal pemerkosaan yang terjadi menunjukkan terjadinya proses “pembungkaman” korban kekerasan seksual.

Korban pemerkosaan di kampus dibungkam bukan berarti ia tidak dapat bersuara, melainkan ia dipaksa untuk menuruti sistem bahasa dan sistem aturan mayoritas yang mengharuskannya memaklumi pelanggran HAM berat yang menimpanya.

Realita ini menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual merupakan anggota dari kelompok yang pengalamannya tidak didukung dengan baik oleh sistem bahasa.

Sistem bahasa di masyarakat saat ini tidak mengakomodir realitas yang berpihak pada korban. Misalnya saja, banyak korban yang dinilai sebagai ikan asin yang memancing-mancing kucing. Korban juga kerapkali disebut sebagai perempuan yang tidak bisa menjaga kesucian.

Oleh karena itu, korban dikatakan "terbungkam" karena Bahasa Indonesia tidak memberikan kesesuaian yang tepat dengan pengalaman hidup korban. Hal tersebut dijelaskan oleh Teori Kelompok Bungkam (Muted Group Theory).

Edwin Ardener (1975: 2) menyatakan bahwa kelompok dengan kekuasaan lebih rendah seperti perempuan, kaum miskin, dan orang kulit berwarna, dipaksa menyesuaikann sistem komunikasi yang telah dikembangkan oleh kelompok dominan.

Dalam kasus kekerasan seksual di kampus, sudut pandang korban dipaksa menyesuaikan dengan sudut pandang pelaku kejahatan yang tidak logis sebagai pihak yang tidak sengaja memerkosa atau khilaf. Proses pemaksaan korban untuk melupakan peristiwa traumatik yang menimpanya juga merupakan pembungkaman terhadap korban yang justru berakibat fatal karena akan semakin banyak menambah korban pemerkosaan di kampus.

Tidak Relevan
Rantai panjang peristiwa kekerasan seksual di kampus yang seolah enggan untuk diputus demi menjaga nama baik kampus sebenarnya tidak relevan apabila masih dilakukan. Banyaknya korban yang enggan melapor serta trauma psikologis yang dialami korban sangat tidak sebanding dengan pembungkaman korban demi menjaga nama baik kampus.

Praktik pembungkaman korban pemerkosaan dilakukan dengan cara mengasingkan atau mengalienasikan korban. Misalnya saja, berbagai pihak yang tidak pro korban menyatakan bahwa tidak terdapat tindakan pemerkosaan, melainkan hubungan seksual yang didasari rasa saling suka (sexual consent). Kesalahpahaman mengenai makna konsen (persetujuan) membuat korban teralienasi.

Adapun istilah alienasi merupakan istilah yang pertama kali digunakan oleh Hegel. Selanjutnya, Karl Marx menggunakan konsep alienasi untuk berbicara mengenai eksistensi hubungan alienasi antara pekerja dan produknya.

Marx memikirkan antara lain dominasi terhadap produk yang merupakan dominasi terhadap pekerja karena tidak bisa menikmati produk tersebut. Bagi Marx, seharusnya karakteristik esensial manusia adalah individu bebas, bukannya dominasi (Marx, 1963).

Konsep alienasi yang dimunculkan dalam tulisan ini erat kaitannya dengan masalah gender karena menyangkut pembebasan seksualitas perempuan (korban) dari ketertindasan struktur dan aturan yang diciptakan laki-laki yang hanya mewakili suara dan kepentingan laki-laki (pelaku).

Konsep Alienasi Gender menjelaskan realita bahwa korban pemerkosaan teralienasi (terasing, hanya dijadikan obyek) karena ia tidak bisa menjadi subjek dan menjelaskan peristiwa traumatis yang menimpanya dari sudut pandangnya (Anna Puji Lestari, 2018).

Berbagai peristiwa pemerkosaan justru menjadikan pelaku kejahatan dan pihak lain yang tidak pro korban sebagai subjek. Sebagai subjek, mereka mengarang realita bahwa peristiwa yang terjadi merupakan hal biasa karena dilakukan atas dasar suka sama suka, bukan pemerkosaan.

Sebagai institusi pendidikan, kampus diharapkan memberikan ketegasan terhadap pelaku kejahatan pemerkosaan di wilayahnya. Setiap orang berhak mendapatkan keadilan, demikian juga dengan korban. Sangat tidak bijaksana apabila pendidik turut menyalahkan korban pemerkosaan dengan cara mengalienasi pengalamannya.

Guna menghindari praktik alienasi gender pada korban yang dilakukan oleh kampus, diharapkan beberapa pihak terkait mau mendengarkan dan memahami pengalaman traumatis korban dari sudut pandang korban. Jika hal ini dilakukan, akan memiliki dampak besar mengurangi angka kejahatan seksual di Indonesia. Apabila kampus mampu menindak tegas pelaku pemerkosaan, kepercayaan masyarakat justru akan integritas kampus akan semakin kuat.

*) Penulis adalah pengampu mata kuliah Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang.

Baca juga: Oknum kepala sekolah Kapuas Hulu ditangkap karena cabuli murid

Baca juga: Pemerkosaan bidan desa di Sumsel dikecam

Baca juga: Kapolda Sumsel: pemerkosaan bidan desa kejahatan luar biasa

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019

Terkait