Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arianto Patunru menyatakan rendahnya pembatasan dalam perdagangan pangan akan mempengaruhi status gizi warga dan berpotensi meningkatkan kadar nutrisi bangsa.

"Rendahnya restriksi kebijakan perdagangan di bidang pangan dapat memperbanyak pilihan makanan yang dapat diakses masyarakat mengingat ketersediaan yang meningkat dengan harga lebih terjangkau," kata Arianto dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Menurut dia, minimnya hambatan perdagangan juga membuat masyarakat berpotensi meningkatkan jumlah belanja untuk konsumsi makanan apabila harga makanan tidak terjangkau.

Arianto memaparkan kebijakan perdagangan di Indonesia sejak zaman orde baru mengalami transisi yang cukup signifikan, dari yang awalnya cukup protektif, hingga menjadi lebih terbuka terhadap perdagangan internasional.

Transisi ini kemudian berubah drastis saat setelah krisis finansial Asia pada 1998 karena adanya pencabutan tarif masuk impor di berbagai macam barang. Namun, di sisi lain, juga ada tren peningkatan kebijakan proteksi perdagangan yang dikemas dalam bentuk kebijakan non-tarif.

"Kebijakan perdagangan Indonesia lebih cenderung dekat ke kebijakan non-tariff. Kebijakan seperti ini diwujudkan dengan berbagai regulasi yang membatasi perdagangan internasional, seperti memberikan persyaratan yang dalam prosesnya memakan waktu lama, pembatasan jumlah importir dan masih banyak lagi," jelasnya.

Padahal, lanjut dia, dengan membuka akses ke perdagangan internasional, ketersediaan pangan relatif lebih stabil karena mengikuti fluktuasi pasar internasional.

Selain itu, industri hilir yang menggunakan bahan baku lokal yang diproteksi dapat selanjutnya mendapatkan keuntungan karena mendapatkan akses bahan baku yang lebih terjangkau di pasar internasional.

"Selanjutnya hal ini dapat direspon dengan meningkatnya penyerapan tenaga kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya beli masyarakat," papar Arianto.