Jakarta (ANTARA) - Akhirnya tanggal yang ditunggu-tunggu partai politik, Komisi Pemilihan Umum (KPU), serta ratusan juta calon pemilih, 24 Maret 2019 tiba, yakni pelaksanaan kampanye terbuka alias kampanye massal bagi Pemilihan Umum 17 April 2019.

Tidak kurang dari 16 partai politik tingkat nasional dan empat parpol lokal di Provinsi Aceh pasti sudah menyiapkan diri, baik secara fisik maupun mental, untuk "merayu" tidak kurang dari 190,77 juta calon pemilih di 34 provinsi, 514 kota serta kabupaten.

Mereka siap bertarung untuk menarik dan merebut hati rakyat di seluruh Tanah Air.

Di lain pihak, KPU telah berbulan-bulan meyiapkan pesta demokrasi ini bisa berlangsung jujur, adil dan aman.

Sementara itu, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang didukung Tentara Nasional Indonesia (TNI) tak kalah gesitnya untuk mengamankan "acara raksasa" ini sekali pun berbagai pihak sudah merapatkan barisan demi keberhasilan pesta demokrasi ini.

Ada satu pertanyaan mendasar yang harus dijawab semua peserta kegiatan akbar ini.

Karena pencoblosan akan berlangsung pada tanggal 17 April mendatang, sedangkan kampanye terbuka "cuma" sampai dengan 13 April, maka sudah kah semua pihak terkait menyiapkan segala cara dan langkah agar tak terjadi tawuran, keributan, bentrokan atau apa pun istilahnya menjelang, selama masa pencoblosan, perhitungan suara, pengumuman hasil pencoblosan hingga pelantikan presiden dan wakil presiden masa bakti Oktober 2019 hingga Oktober 2024 serta anggota DPD RI, DPR RI hingga DPRD provinsi, kota dan kabupaten?

Masyarakat sudah mafhum, jika ada sebuah pertandingan sepak bola, maka jajaran Polri harus siap siaga agar tak terjadi bentrokan antarpenonton. Belum lagi, di antara sesama pemain.

Jika rakyat mengacu pada contoh pertandingan sepak bola yang simpel itu, maka bagaimana dengan pesta demokrrasi ini?

Saat ini saja, saat dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden berkampanye baik secara langsung maupun tidak langsung, rakyat sudah melihat atau merasakan betapa serunya persaingan di antara mereka.

Saling mengejek, menghina atau minimal menyindir telah menjadi "makanan" sehari- hari rakyat Indonesia. Sementara itu, ribuan calon anggota legislatif hingga saat ini lebih banyak menempel poster, spanduk demi mencari perhatian rakyat.

Kini, mulai 24 Maret, kampanye dilakukan secara terbuka dan langsung. Pendukung atau massa tentu sudah disiapkan dalam menyukseskan masa kampanye massal alias terbuka ini. Yang menjadi pertanyaan mendasar sekali adalah sudahkah para peserta kampanye ini disiapkan mentalnya untuk menghindari terjadinya perkelahian, bentrokan atau yang sejenisnya.


Ampuhkah zonasi?

KPU sebagai organisasi yang paling bertanggung jawab sudah menempuh berbagai upaya agar kampanye bisa berlangsung damai. Misalnya, para anggota KPU sudah menetapkan pembagian daerah kampanye atau zonasi.

Dengan demikian maka tentu diharapkan tak bakal terjadi pertemuan-pertemuan diantara massa saat akan mengikuti kampanye. Namun, sudah amankah sistem zonasi ini?

Pemilihan Umum mendatang yang terdiri atas Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta begitu banyak anggota legislatif bakal diikuti oleh sekitar 190,77 juta pemilih dari kurang lebih 262 juta rakyat Indonesia. Ini adalah untuk pertama kalinya Pilpres dan Pileg dilakukan secara bersamaan.

Jadi, tidaklah mudah untuk mengendalikan jutaan calon pemilih tersebut. Dibutuhkan kerja keras dari KPU, Polri dan TNI, serta semua partai politik sehingga tak terjadi hal-hal yang mengerikan.

Misalnya saja, jika di sebuah kota sampai terjadi massa pendukung dua calon bertemu di tempat yang sama atau berdekatan, dan kemudian ada provokator yang sengaja membuat suasana menjadi memanas, maka sudahkah disiapkan seseorang yang senior dari kedua pihak untuk menenangkan suasana?

Polri yang didukung TNI pasti sudah disiapkan untuk mengatasi suasana semacam ini. Kalau situasi semakin panas, sudah siapkah para peserta kampanye ini untuk dibubarkan atau dipulangkan?

Polri pasti sudah memiliki apa yang disebut SOP atau standard operation procedure atau prosedur tetap apabila menghadapi situasi yang tidak menguntungkan atau membahayakan di satu wilayah.

Tentu Polri bersama TNI sudah dilatih untuk mengatasi keadan yang berbahaya seperti bentrokan di antara para peserta kampanye.
Sekali lagi, semua pemimpin partai politik di tingkat pusat hingga daerah harus telah menyiapkan diri untuk mengatasi kerawanan dan demi kerawanan yang amat bisa muncul selama masa kampanye.

Tokoh- tokoh partai politik ini sudahkah berkomunikasi dengan para tokoh parpol-parpol lainnya supaya selama periode 24 Maret hingga 13 April tersebut bisa menghindari berbagai kemungkinan terburuk?

Sekitar 30 persen dari calon pemilih adalah generasi muda yang pada umumnya masih sangat muda yang acapkali mudah tersinggung, misalnya jika tokoh pujaan mereka dihina atau dijelek-jelekkan.

Jadi, kaum milenial ini harus mendapat perhatian khusus supaya tidak terjadi gejolak-gejolak yang tak perlu yang akhirnya cuma merepotkan orang banyak bahkan rakyat Indonesia.

Kaum muda ini harus disadarkan bahwa pemilihan umum baik Pilpres maupun Pileg Cuma terjadi setiap lima tahun . Kalau sampai ada yang masuk bui maka maukah anggota DPD, DPR, DPRD hingga presiden dan wakil presiden menanggung kehidupan orang yang bersalah ini beserta anggota keluarganya?

Jadi, masa kampanye 24 Maret sampai dengan 13 April harus dimanfaatkan sebaik- baiknya demi suksesnya pesta demokrasi ini tanpa harus mengakibatkan munculnya korban-korban yang tidak perlu sama sekali. Siapkah bangsa ini berdemokasi tanpa melahirkan keributan?

*) Penulis adalah wartawan LKBN Antara tahun 1982-2018, pernah meliput acara-acara kepresidenan tahun 1987-2009.