Mangrove Muara Angke bertambah jadi 32 ribu dalam 10 tahun
20 Maret 2019 23:46 WIB
Pengunjung berjalan di antara pepohonan mangrove di Hutan Mangrove Ecomarine Muara Angke, Jakarta, Rabu (20/3/2019). Dalam 10 tahun 32.000 tegakan mangrove bertambah di lahan seluas 1,8 hektare di kawasan Hutan Mangrove Ecomarine yang dikelola kelompok masyarakat. (ANTARA/Sugiarto P)
Jakarta (ANTARA) - Kawasan Hutan Mangrove Ecomarine di Muara Angke, Jakarta Utara, mendapat tambahan naungan menjadi 32 ribu pohon dalam 10 tahun terakhir.
"Dari penanaman 2008 hingga sekarang ada 32 ribu pohon mangrove tumbuh di sini," kata Ketua Komunitas Mangrove Muara Angke Muhammad Said (44) di Hutan Mangrove Ecomarine, Muara Angke, Jakarta Utara, Rabu.
Mangrove yang tumbuh di kawasan hutan seluas 1,8 hektare di pinggiran Muara Kali Adem itu, menurut dia, meliputi mangrove pidada (Sonneratia), api-api (Avicennia), nipah (Nypa fruticans) dan bakau (Rhizophora).
Said mengungkapkan penanaman mangrove di kawasan Muara Angke semula ditujukan untuk memulihkan ekosistem hutan mangrove di kawasan pesisir utara Jakarta yang mulai terancam akibat konversi lahan.
"Dulu memang sempat ada mangrove, namun sejak 1990-an sudah tidak ada lagi karena dampak pembangunan. Pada 2008, kami membentuk komunitas mangrove dan mulai menanam atas dasar sosial, peduli lingkungan," katanya.
Penanaman mangrove dimulai tahun 2008. Ketika itu komunitas menanam 100 bibit mangrove di daerah Muara Kali Adem, yang bagian atas tanahnya bercampur dengan banyak plastik sehingga sulit ditanami.
"Muara ini adalah destinasi 12 sungai di Jakarta, sampah menumpuk. Kami harus menggali tanah lebih dalam supaya akar mangrove dapat berkembang dengan baik," jelas Said.
Meski demikian, penanaman mangrove di kawasan tersebut tetap dilanjutkan sehingga jumlah pohonnya sampai ribuan seperti sekarang.
Said mengemukakan sekarang hutan mangrove itu membawa berkah bagi lingkungan sekitarnya.
"Dulu angin kencang sering masuk ke rumah, tapi kini terhalang karena adanya pohon mangrove. Air pasang yang dulunya tinggi, sekarang sudah kurang karena diserap akar pohon," ungkapnya.
Selain itu, mangrove bisa menyerap karbon dioksida (CO2), sehingga turut andil meredam pemanasan global.
Hutan mangrove pun bisa menjadi tempat tinggal, mencari makan dan berkembangbiak bagi banyak spesies satwa.
Bagi masyarakat sekitarnya, hutan mangrove juga memberikan manfaat ekonomi.
Warga sekitar Hutan Mangrove Ecomarine mengolah buah mangrove jenis pidada menjadi sari buah, dodol dan selai serta menjualnya.
Sari buah mangrove ukuran 300 mililiter (ml) dijual seharga Rp15 ribu, dodol mangrove Rp25 ribu per 250 gram, dan selai mangrove Rp15 ribu untuk ukuran 200 gram.
"Buah mangrove yang awalnya hanya jatuh ke tanah, kini bisa dimanfaatkan untuk menambah penghasilan. Ibu-ibu di sekitar sini bisa kerja bikin makanan sehat dari olahan mangrove," kata Saanit (58).
Hutan Mangrove Ecomarine berada di ujung perkampungan nelayan di Muara Angke, sekitar 10 menit berjalan kaki dari Pelabuhan Kali Adem.
Di sana, ada tiga saung kecil, satu rumah edukasi serta tambak budi daya ikan mujair. Pengunjung tidak ditarik uang sepeser pun untuk memasuki kawasan hutan mangrove yang dikelola masyarakat tersebut.
"Dari penanaman 2008 hingga sekarang ada 32 ribu pohon mangrove tumbuh di sini," kata Ketua Komunitas Mangrove Muara Angke Muhammad Said (44) di Hutan Mangrove Ecomarine, Muara Angke, Jakarta Utara, Rabu.
Mangrove yang tumbuh di kawasan hutan seluas 1,8 hektare di pinggiran Muara Kali Adem itu, menurut dia, meliputi mangrove pidada (Sonneratia), api-api (Avicennia), nipah (Nypa fruticans) dan bakau (Rhizophora).
Said mengungkapkan penanaman mangrove di kawasan Muara Angke semula ditujukan untuk memulihkan ekosistem hutan mangrove di kawasan pesisir utara Jakarta yang mulai terancam akibat konversi lahan.
"Dulu memang sempat ada mangrove, namun sejak 1990-an sudah tidak ada lagi karena dampak pembangunan. Pada 2008, kami membentuk komunitas mangrove dan mulai menanam atas dasar sosial, peduli lingkungan," katanya.
Penanaman mangrove dimulai tahun 2008. Ketika itu komunitas menanam 100 bibit mangrove di daerah Muara Kali Adem, yang bagian atas tanahnya bercampur dengan banyak plastik sehingga sulit ditanami.
"Muara ini adalah destinasi 12 sungai di Jakarta, sampah menumpuk. Kami harus menggali tanah lebih dalam supaya akar mangrove dapat berkembang dengan baik," jelas Said.
Meski demikian, penanaman mangrove di kawasan tersebut tetap dilanjutkan sehingga jumlah pohonnya sampai ribuan seperti sekarang.
Said mengemukakan sekarang hutan mangrove itu membawa berkah bagi lingkungan sekitarnya.
"Dulu angin kencang sering masuk ke rumah, tapi kini terhalang karena adanya pohon mangrove. Air pasang yang dulunya tinggi, sekarang sudah kurang karena diserap akar pohon," ungkapnya.
Selain itu, mangrove bisa menyerap karbon dioksida (CO2), sehingga turut andil meredam pemanasan global.
Hutan mangrove pun bisa menjadi tempat tinggal, mencari makan dan berkembangbiak bagi banyak spesies satwa.
Bagi masyarakat sekitarnya, hutan mangrove juga memberikan manfaat ekonomi.
Warga sekitar Hutan Mangrove Ecomarine mengolah buah mangrove jenis pidada menjadi sari buah, dodol dan selai serta menjualnya.
Sari buah mangrove ukuran 300 mililiter (ml) dijual seharga Rp15 ribu, dodol mangrove Rp25 ribu per 250 gram, dan selai mangrove Rp15 ribu untuk ukuran 200 gram.
"Buah mangrove yang awalnya hanya jatuh ke tanah, kini bisa dimanfaatkan untuk menambah penghasilan. Ibu-ibu di sekitar sini bisa kerja bikin makanan sehat dari olahan mangrove," kata Saanit (58).
Hutan Mangrove Ecomarine berada di ujung perkampungan nelayan di Muara Angke, sekitar 10 menit berjalan kaki dari Pelabuhan Kali Adem.
Di sana, ada tiga saung kecil, satu rumah edukasi serta tambak budi daya ikan mujair. Pengunjung tidak ditarik uang sepeser pun untuk memasuki kawasan hutan mangrove yang dikelola masyarakat tersebut.
Pewarta: Virna P Setyorini, Sugiharto P
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019
Tags: