Miss Tjitjih 90 tahun bersandiwara tanpa naskah
20 Maret 2019 20:32 WIB
Suasana di Kampung Sunda Miss Tjitjih di Jalan Kabel Pendek, Cempaka Baru, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Selasa (19/3/2019). Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih telah hadir sejak 1928 dan tetap mempertahankan penampilan dialog bahasa Sunda. (ANTARA News/Asep Firmansyah)
Jakarta (ANTARA) - Naskah merupakan medium bagi sebagian sutradara untuk menyampaikan ide-ide agar teater yang dipimpinnya terasa hidup. Tapi, hal itu tidak berlaku bagi kelompok Sandiwara Miss Tjitjih.
Selama 90 tahun, kelompok sandiwara berbahasa Sunda itu memilih untuk tampil secara impromtu, atau tanpa naskah, justru agar permainan yang ditampilkannya tetap hidup.
Para pemeran Miss Tjitjih dapat bergerak bebas tanpa batasan-batasan teks dalam naskah. Mereka hanya mengandalkan arahan sang sutradara dalam menjalankan perannya sebagai tokoh tertentu.
"Kami tampil dengan arahan sutradara. Apa yang harus dilakukan di atas panggung tidak terpaku dengan naskah," ujar sutradara kelompok Sandiwara Miss Tjitjih Imas Darsih kepada Antara, di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Selasa (19/3).
Para pemain Miss Tjitjih didominasi orang tua dengan minat baca yang menurun dan daya ingat lemah untuk menghafal teks. Itulah asalan naskah sebagai instrumen drama dihilangkan.
"Penggunaan naskah hanya akan membatasi ruang gerak kami. Kami pernah mengacu pada teks, tapi para pemain malah kikuk tidak lepas di panggung," ujar tentang penampilan teater sejak 1928 itu.
Sebagai penggantinya, sang sutradara menyampaikan sinopsis yang telah dikarangnya kepada para pemain sesuai dengan jalan cerita. Imas mengatakan pengarahan itu berdasarkan babak per babak.
"Jadi begini lho, adegan babak pertama. Babak kedua begini. Setelah itu, mereka melakukan improvisasi di panggung," kata Imas tentang mekanisme pemeranan tokoh salah satu kelompok sandiwara tertua di Jakarta itu.
Alur cerita disampaikan kepada seluruh anggota, lalu para pemeran mengerjakan tugasnya masing-masing tanpa disuruh sang sutradara. Dalam satu cerita, Miss Tjitjih menampilkan adegan dalam delapan babak.
Genre pertunjukan yang mereka bawakan lebih berkutat pada cerita babad kerajaan, roman percintaan, dan roman horror bercampur dengan komedi. Tapi, pertunjukan bergenre horror juga sering menjadi pilihan untuk menghibur penggemar setianya.
Meski tampil tanpa teks, para pemeran mengaku tidak merasa kesulitan saat menerjemahkan ide cerita Imas ke dalam bentuk pertunjukan.
Sagita Jihan (18), cucu Imas, telah berpartisipasi di atas panggung sejak umur empat tahun. Ia mengaku awalnya sulit apabila tanpa naskah.
Namun lambat laun justru naskah membuat Jihan tidak bisa tampil maksimal.
"Awalnya dialognya apa, harus ngomong apa. Tapi karena kami sudah terbiasa, kami mengalir saja tanpa teks," ujarnya.
Bukan saja pertunjukan tanpa naskah, sesi latihan Miss Tjitjih pun tidak sebagaimana kelompok sandiwara lain. Mereka tidak rutin berlatih. Latihan baru digelar pada sepekan sebelum pementasan.
Hebatnya, penampilan Miss Tjitjih tetap maksimal dan totalitas saat di atas panggung.
Pada Sabtu (23/3), kelompok Sandiwara Miss Tjitjih akan menggelar pertunjukan berjudul "Dokter Gila" di Gedung Teater Miss Tjitjih, Jalan Kabel Pendek, Cempaka Baru, Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Selama 90 tahun, kelompok sandiwara berbahasa Sunda itu memilih untuk tampil secara impromtu, atau tanpa naskah, justru agar permainan yang ditampilkannya tetap hidup.
Para pemeran Miss Tjitjih dapat bergerak bebas tanpa batasan-batasan teks dalam naskah. Mereka hanya mengandalkan arahan sang sutradara dalam menjalankan perannya sebagai tokoh tertentu.
"Kami tampil dengan arahan sutradara. Apa yang harus dilakukan di atas panggung tidak terpaku dengan naskah," ujar sutradara kelompok Sandiwara Miss Tjitjih Imas Darsih kepada Antara, di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Selasa (19/3).
Para pemain Miss Tjitjih didominasi orang tua dengan minat baca yang menurun dan daya ingat lemah untuk menghafal teks. Itulah asalan naskah sebagai instrumen drama dihilangkan.
"Penggunaan naskah hanya akan membatasi ruang gerak kami. Kami pernah mengacu pada teks, tapi para pemain malah kikuk tidak lepas di panggung," ujar tentang penampilan teater sejak 1928 itu.
Sebagai penggantinya, sang sutradara menyampaikan sinopsis yang telah dikarangnya kepada para pemain sesuai dengan jalan cerita. Imas mengatakan pengarahan itu berdasarkan babak per babak.
"Jadi begini lho, adegan babak pertama. Babak kedua begini. Setelah itu, mereka melakukan improvisasi di panggung," kata Imas tentang mekanisme pemeranan tokoh salah satu kelompok sandiwara tertua di Jakarta itu.
Alur cerita disampaikan kepada seluruh anggota, lalu para pemeran mengerjakan tugasnya masing-masing tanpa disuruh sang sutradara. Dalam satu cerita, Miss Tjitjih menampilkan adegan dalam delapan babak.
Genre pertunjukan yang mereka bawakan lebih berkutat pada cerita babad kerajaan, roman percintaan, dan roman horror bercampur dengan komedi. Tapi, pertunjukan bergenre horror juga sering menjadi pilihan untuk menghibur penggemar setianya.
Meski tampil tanpa teks, para pemeran mengaku tidak merasa kesulitan saat menerjemahkan ide cerita Imas ke dalam bentuk pertunjukan.
Sagita Jihan (18), cucu Imas, telah berpartisipasi di atas panggung sejak umur empat tahun. Ia mengaku awalnya sulit apabila tanpa naskah.
Namun lambat laun justru naskah membuat Jihan tidak bisa tampil maksimal.
"Awalnya dialognya apa, harus ngomong apa. Tapi karena kami sudah terbiasa, kami mengalir saja tanpa teks," ujarnya.
Bukan saja pertunjukan tanpa naskah, sesi latihan Miss Tjitjih pun tidak sebagaimana kelompok sandiwara lain. Mereka tidak rutin berlatih. Latihan baru digelar pada sepekan sebelum pementasan.
Hebatnya, penampilan Miss Tjitjih tetap maksimal dan totalitas saat di atas panggung.
Pada Sabtu (23/3), kelompok Sandiwara Miss Tjitjih akan menggelar pertunjukan berjudul "Dokter Gila" di Gedung Teater Miss Tjitjih, Jalan Kabel Pendek, Cempaka Baru, Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Imam Santoso
Copyright © ANTARA 2019
Tags: