Pemohon uji UU Pemilu: Kami sudah berkomunikasi dengan KPU
20 Maret 2019 16:41 WIB
(kiri ke kanan) Titi Anggraini, Hadar Nafis Gumay, dan Feri Amsari, selaku pemohon uji UU Pemilu terkait dengan aturan penetapan Daftar Pemilih Tetap dan kepemilikan KTP-el sebagai salah satu syarat utama untuk memilih. (ANTARA / Maria Rosari)
Jakarta (ANTARA) - Sejumlah pegiat Pemilu yang mengajukan permohonan uji UU 7/2017 (UU Pemilu) di Mahkamah Konstitusi (MK) menyebutkan bahwa pihaknya telah berkomunikasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengenai permasalahan yang akan muncul dalam Pemilu 2019.
"Kami telah berkomunikasi dengan KPU selaku penyelenggara pemilu mengenai masalah-masalah yang akan muncul dalam pemilu 2019, maka kami mengajukan uji materi terhadap lima pasal dalam UU Pemilu seperti yang kami ajukan saat ini," ujar kuasa hukum para pemohon M. Raziv di Gedung MK Jakarta, Rabu.
Adapun para pemohon yaitu; Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Aggraini, mantan komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, pengamat hukum tata negara dan politik dari Universitas Andalas Feri Amsari, dan empat perseorangan warga negara.
Para pemohon sebelumnya menilai aturan penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan kepemilikan KTP-el sebagai salah satu syarat utama untuk memilih, berpotensi merugikan hak konstitusional warga negara khususnya untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum.
Raziv mengatakan KPU memang telah mengantisipasi hal-hal yang menjadi potensi bermasalah dalam Peraturan KPU (PKPU).
Kendati demikian antisipasi yang hanya berlandaskan PKPU dinilai kurang kuat oleh para pemohon bila tidak didukung oleh UU Pemilu. Kondisi ini dikhawatirkan akan menyebabkan pemilu yang digelar 2019 nanti dipersoalkan keabsahannya.
"Oleh sebab itu, KPU justru mendukung uji materi yang kami lakukan karena hal ini sesuai dengan kehendak KPU, yakni untuk menyelenggarakan pemilu yang sah, adil, dan kondusif," jelas Raziv.
Dalam sidang pendahuluan para pemohon merasa hak konstitusionalnya untuk berpastisipasi dalam Pemilu 2019 berpotensi dirugikan dengan berlakunya Pasal 210 ayat (1), Pasal 348 ayat (4), ayat (9), Pasal 350 ayat (2), Pasal 383 ayat (2) UU 7/2017 (UU Pemilu).
Pasal yang diuji tersebut adalah ketentuan yang secara prosedur administratif dinilai pemohon telah menghambat, menghalangi, dan mempersulit warganegara untuk menggunakan hak dalam Pemilu.
Pemohon dalam dalilnya menyebutkan masih banyak penduduk dengan hak pilih yang belum memiliki KTP elektronik, serta pemilih yang baru akan 17 tahun pada saat hari H pemungutan suara, tetapi tidak dapat memilih karena tidak memiliki KTP elektronik.
Syarat KTP elektronik juga dinilai para pemohon berpotensi menghilangkan, menghalangi atau mempersulit hak memilih bagi kelompok rentan seperti masyarakat adat, kaum miskin kota, penyandang disabilitas, panti sosial, warga binaan di lapas dan rutan, serta beberapa pemilih lain yang tidak mempunyai akses cukup untuk memenuhi syarat pembuatan KTP elektronik.
"Kami telah berkomunikasi dengan KPU selaku penyelenggara pemilu mengenai masalah-masalah yang akan muncul dalam pemilu 2019, maka kami mengajukan uji materi terhadap lima pasal dalam UU Pemilu seperti yang kami ajukan saat ini," ujar kuasa hukum para pemohon M. Raziv di Gedung MK Jakarta, Rabu.
Adapun para pemohon yaitu; Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Aggraini, mantan komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, pengamat hukum tata negara dan politik dari Universitas Andalas Feri Amsari, dan empat perseorangan warga negara.
Para pemohon sebelumnya menilai aturan penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan kepemilikan KTP-el sebagai salah satu syarat utama untuk memilih, berpotensi merugikan hak konstitusional warga negara khususnya untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum.
Raziv mengatakan KPU memang telah mengantisipasi hal-hal yang menjadi potensi bermasalah dalam Peraturan KPU (PKPU).
Kendati demikian antisipasi yang hanya berlandaskan PKPU dinilai kurang kuat oleh para pemohon bila tidak didukung oleh UU Pemilu. Kondisi ini dikhawatirkan akan menyebabkan pemilu yang digelar 2019 nanti dipersoalkan keabsahannya.
"Oleh sebab itu, KPU justru mendukung uji materi yang kami lakukan karena hal ini sesuai dengan kehendak KPU, yakni untuk menyelenggarakan pemilu yang sah, adil, dan kondusif," jelas Raziv.
Dalam sidang pendahuluan para pemohon merasa hak konstitusionalnya untuk berpastisipasi dalam Pemilu 2019 berpotensi dirugikan dengan berlakunya Pasal 210 ayat (1), Pasal 348 ayat (4), ayat (9), Pasal 350 ayat (2), Pasal 383 ayat (2) UU 7/2017 (UU Pemilu).
Pasal yang diuji tersebut adalah ketentuan yang secara prosedur administratif dinilai pemohon telah menghambat, menghalangi, dan mempersulit warganegara untuk menggunakan hak dalam Pemilu.
Pemohon dalam dalilnya menyebutkan masih banyak penduduk dengan hak pilih yang belum memiliki KTP elektronik, serta pemilih yang baru akan 17 tahun pada saat hari H pemungutan suara, tetapi tidak dapat memilih karena tidak memiliki KTP elektronik.
Syarat KTP elektronik juga dinilai para pemohon berpotensi menghilangkan, menghalangi atau mempersulit hak memilih bagi kelompok rentan seperti masyarakat adat, kaum miskin kota, penyandang disabilitas, panti sosial, warga binaan di lapas dan rutan, serta beberapa pemilih lain yang tidak mempunyai akses cukup untuk memenuhi syarat pembuatan KTP elektronik.
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2019
Tags: