BPS: Ekspor industri turun bukan deindustrialisasi
15 Maret 2019 10:46 WIB
Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto usai konferensi pers di Gedung BPS Jakarta. (ANTARA/Mentari Dwi Gayati)
Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suharyanto menyampaikan bahwa terjadinya penurunan ekspor industri pengolahan pada Februari 2019 bukan karena terjadinya deindustrialisasi di Indonesia.
"Tidak deindustrialisasi. Ekspor industri pengolahan mengalami penurunan karena minyak kelapa sawit, produksinya tetap baik, namun terjadi penurunan harga," kata Suharyanto di Jakarta, Jumat.
Kecuk, sapaan akrabnya, menyampaikan bahwa penurunan ekspor tekstil dan produk tekstil serta produk sepatu ke Amerika Serikat lebih dipengaruhi oleh musim yang tengah terjadi di Negeri Paman Sam itu.
Menurut data BPS, ekspor industri pengolahan pada Februari 2019 mencapai 9,41 miliar dolar AS atau turun 7,71 persen jika dibandingkan Januari 2019 dan turun 8,06 persen jika dibandingkan Februari 2018.
Kendati demikian, sektor industri pengolahan masih berkontribusi paling tinggi, yakni sebesar 75,12 persen, jika dibandingkan dengan ekspor sektor lainnya, yaitu tambang 14,33 persen, migas 14,33 persen, dan pertanian 1,86 persen. Adapun ekspor nonmigas menyumbang 91,31 persen dari total ekspor pada Februari 2019.
Penurunan terbesar ekspor nonmigas terhadap Januari 2019 yakni bahan kimia organik turun 98,4 persen, alas kaki turun 138,7 persen, kelompok bijih, kerak, dan abu logam turun 149,5 persen, kelompok lemak dan minyak hewan/nabati turun 208,9 persen, serta bahan bakar mineral turun 282,1 persen.
Kendati demikian, ekspor beberapa golongan barang mengalami peningkatan, di antaranya perhiasan naik 227,5 persen, tembaga naik 62,9 persen, bubur kayu atau pulp naik 38,7 persen, timah 33,1 persen, dan bahan kimia anorganik 21,1 persen.
Baca juga: BPS: Neraca perdagangan Februari 2019 surplus, meski ekspor turun
Baca juga: Rupiah diprediksi menguat, terpicu surplus neraca perdagangan
Baca juga: Bank Sentral Kanada sebut kenaikan utang global ancam pertumbuhan ekonomi dunia
"Tidak deindustrialisasi. Ekspor industri pengolahan mengalami penurunan karena minyak kelapa sawit, produksinya tetap baik, namun terjadi penurunan harga," kata Suharyanto di Jakarta, Jumat.
Kecuk, sapaan akrabnya, menyampaikan bahwa penurunan ekspor tekstil dan produk tekstil serta produk sepatu ke Amerika Serikat lebih dipengaruhi oleh musim yang tengah terjadi di Negeri Paman Sam itu.
Menurut data BPS, ekspor industri pengolahan pada Februari 2019 mencapai 9,41 miliar dolar AS atau turun 7,71 persen jika dibandingkan Januari 2019 dan turun 8,06 persen jika dibandingkan Februari 2018.
Kendati demikian, sektor industri pengolahan masih berkontribusi paling tinggi, yakni sebesar 75,12 persen, jika dibandingkan dengan ekspor sektor lainnya, yaitu tambang 14,33 persen, migas 14,33 persen, dan pertanian 1,86 persen. Adapun ekspor nonmigas menyumbang 91,31 persen dari total ekspor pada Februari 2019.
Penurunan terbesar ekspor nonmigas terhadap Januari 2019 yakni bahan kimia organik turun 98,4 persen, alas kaki turun 138,7 persen, kelompok bijih, kerak, dan abu logam turun 149,5 persen, kelompok lemak dan minyak hewan/nabati turun 208,9 persen, serta bahan bakar mineral turun 282,1 persen.
Kendati demikian, ekspor beberapa golongan barang mengalami peningkatan, di antaranya perhiasan naik 227,5 persen, tembaga naik 62,9 persen, bubur kayu atau pulp naik 38,7 persen, timah 33,1 persen, dan bahan kimia anorganik 21,1 persen.
Baca juga: BPS: Neraca perdagangan Februari 2019 surplus, meski ekspor turun
Baca juga: Rupiah diprediksi menguat, terpicu surplus neraca perdagangan
Baca juga: Bank Sentral Kanada sebut kenaikan utang global ancam pertumbuhan ekonomi dunia
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019
Tags: