Debat Capres
Indria Samego minta KPU revisi jadwal debat Capres kelima
14 Maret 2019 19:25 WIB
Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kanan) berjabat tangan seusai mengikuti debat capres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019). Debat itu mengangkat tema energi dan pangan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta infrastruktur. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Jakarta (ANTARA) - Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indria Samego meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) merevisi jadwal debat capres-cawapres kelima yang rencananya akan dilaksanakan pada 13 April 2019.
"KPU mesti merevisi jadwal debat capres bila ingin menyelenggarakannya sebanyak lima kali. Jadwal Debat terakhir, sebaiknya dimajukan sebelum 13 April," kata Indria Samego, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, salah satu tujuan dari debat dalam pemilihan presiden (pilpres) adalah untuk mendekatkan hubungan emosional dan profesional antara calon pemimpin dengan rakyat yang akan dipimpinnya.
Oleh karena itu, seharusnya jadwal debat dipandang penting dan jangan sampai hanya demi memenuhi prosedur.
"Debat harus disusun sedemikian rupa agar aspek fungsi dan efektivitasnya tercapai. Oleh karena itu, debat terakhir nanti seharusnya dimajukan demi mencapai tujuan-tujuan dan efektivitas debat tersebut," ujarnya.
Dikatakannya, tak dapat disangkal bahwa Indonesia sudah mampu mengimplementasikan prosedur demokrasi yang benar.
"Bila partisipasi dan kontestasi dijadikan rujukan, kita sudah sangat layak untuk disebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah India dan Amerika Serikat," tuturnya.
Proses transformasi politik tersebut, kata Indria Samego, sekaligus menolak anggapan Indonesianis yang meragukan suksesi kepemimpinan Indonesia dapat dilakukan secara gradual dan damai. Hanya dalam waktu yang relatif cepat sejak awal reformasi politik dilakukan pada 1998, arah demokratisasi kita makin jelas dan terlembagakan.
"Salah satu landmark dari proses transformasi politik itu adalah pilpres secara langsung. Di dalamnya, terkait pula prosesi yang sebelumnya tak pernah dilakukan di sini, yakni debat pasangan capres dan cawapres. Bila praktik debat capres di AS menjadi ukurannya, apalagi yang belum diterapkan di sini? Walau suasananya tidak persis seperti di negara asalnya, namun kita sudah berhasil 'mengadu' gagasan antara calon pemimpin di depan publik dan disiarkan secara langsung oleh media massa nasional ke seluruh penjuru Tanah Air," kata Indria Samego.
Meski diakui hasilnya belum optimal, namun jika debat dijadikan ukuran untuk memperkenalkan capres dan cawapres pada calon pemilihnya, tak dapat dimungkiri bahwa tujuan itu sudah tercapai.
Dalam kesempatan itu, Indria Samego menyebutkan, sistem pemilu serempak seperti saat ini nasib caleg seolah ditentukan oleh kemenangan capres yang diusungnya. Hanya berharap dari efek ekor jas (coattail effect), caleg kelihatannya kurang dibebaskan untuk berkampanye.
Padahal, mereka pun perlu mendulang suara sebanyak mungkin di daerah pemilihan masing-masing.
Dia menjelaskan, masing-masing caleg berharap agar mereka dapat secara all out mengampanyekan dirinya sebelum masa minggu tenang tiba. Setelah sekian bulan berkampanye secara kolektif bersama capresnya, kini tinggal memberi kesempatan kepada mereka untuk berkampanye secara individual.
"Jangan lupa, dalam sistem pileg terbuka, mereka bukan hanya bersaing dengan caleg dari parpol lain, tapi dengan sesama caleg dari partai yang sama. Sistem penghitungan hasil pemilu baru, Saint Lague juga sangat mempersyaratkan selisih suara kemenangan dalam pileg," ujar Indria.
Menang pilpres, menang parpol dan menang pencalegan menjadi semacam harga mati dalam sistem pemilu yang ambang batas parpolnya makin berat.
"Akhirnya, kita berharap agar transformasi sistem pemilu menjadi medium bagi perbaikan proses dan hasil pemilu," katanya.
Sebelumnya, pengamat politik AS Hikam meminta KPU memajukan jadwal debat capres-cawapres yang dijadwalkan 13 menjadi 8 atau 10 April 2019 untuk memberikan ruang yang lebih kepada rakyat agar dapat menilai visi dan misi para calon.
Rakyat, menurut dia, perlu diberi waktu untuk mencerna dan melakukan pendalaman setelah debat terakhir. Selain itu juga memberi ruang bagi rakyat mengikuti pandangan-pandangan yang muncul dari media dan medsos mengenai isi perdebatan dan bagaimana kedua paslon menyampaikan isi tersebut.
"Jika debat terlalu dekat dengan hari pencoblosan, sulit untuk menghindarkan kesan bahwa debat hanya semacam formalitas dan bukan hal yang esensial dalam rangkaian Pilpres," ucap Hikam.
"KPU mesti merevisi jadwal debat capres bila ingin menyelenggarakannya sebanyak lima kali. Jadwal Debat terakhir, sebaiknya dimajukan sebelum 13 April," kata Indria Samego, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, salah satu tujuan dari debat dalam pemilihan presiden (pilpres) adalah untuk mendekatkan hubungan emosional dan profesional antara calon pemimpin dengan rakyat yang akan dipimpinnya.
Oleh karena itu, seharusnya jadwal debat dipandang penting dan jangan sampai hanya demi memenuhi prosedur.
"Debat harus disusun sedemikian rupa agar aspek fungsi dan efektivitasnya tercapai. Oleh karena itu, debat terakhir nanti seharusnya dimajukan demi mencapai tujuan-tujuan dan efektivitas debat tersebut," ujarnya.
Dikatakannya, tak dapat disangkal bahwa Indonesia sudah mampu mengimplementasikan prosedur demokrasi yang benar.
"Bila partisipasi dan kontestasi dijadikan rujukan, kita sudah sangat layak untuk disebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah India dan Amerika Serikat," tuturnya.
Proses transformasi politik tersebut, kata Indria Samego, sekaligus menolak anggapan Indonesianis yang meragukan suksesi kepemimpinan Indonesia dapat dilakukan secara gradual dan damai. Hanya dalam waktu yang relatif cepat sejak awal reformasi politik dilakukan pada 1998, arah demokratisasi kita makin jelas dan terlembagakan.
"Salah satu landmark dari proses transformasi politik itu adalah pilpres secara langsung. Di dalamnya, terkait pula prosesi yang sebelumnya tak pernah dilakukan di sini, yakni debat pasangan capres dan cawapres. Bila praktik debat capres di AS menjadi ukurannya, apalagi yang belum diterapkan di sini? Walau suasananya tidak persis seperti di negara asalnya, namun kita sudah berhasil 'mengadu' gagasan antara calon pemimpin di depan publik dan disiarkan secara langsung oleh media massa nasional ke seluruh penjuru Tanah Air," kata Indria Samego.
Meski diakui hasilnya belum optimal, namun jika debat dijadikan ukuran untuk memperkenalkan capres dan cawapres pada calon pemilihnya, tak dapat dimungkiri bahwa tujuan itu sudah tercapai.
Dalam kesempatan itu, Indria Samego menyebutkan, sistem pemilu serempak seperti saat ini nasib caleg seolah ditentukan oleh kemenangan capres yang diusungnya. Hanya berharap dari efek ekor jas (coattail effect), caleg kelihatannya kurang dibebaskan untuk berkampanye.
Padahal, mereka pun perlu mendulang suara sebanyak mungkin di daerah pemilihan masing-masing.
Dia menjelaskan, masing-masing caleg berharap agar mereka dapat secara all out mengampanyekan dirinya sebelum masa minggu tenang tiba. Setelah sekian bulan berkampanye secara kolektif bersama capresnya, kini tinggal memberi kesempatan kepada mereka untuk berkampanye secara individual.
"Jangan lupa, dalam sistem pileg terbuka, mereka bukan hanya bersaing dengan caleg dari parpol lain, tapi dengan sesama caleg dari partai yang sama. Sistem penghitungan hasil pemilu baru, Saint Lague juga sangat mempersyaratkan selisih suara kemenangan dalam pileg," ujar Indria.
Menang pilpres, menang parpol dan menang pencalegan menjadi semacam harga mati dalam sistem pemilu yang ambang batas parpolnya makin berat.
"Akhirnya, kita berharap agar transformasi sistem pemilu menjadi medium bagi perbaikan proses dan hasil pemilu," katanya.
Sebelumnya, pengamat politik AS Hikam meminta KPU memajukan jadwal debat capres-cawapres yang dijadwalkan 13 menjadi 8 atau 10 April 2019 untuk memberikan ruang yang lebih kepada rakyat agar dapat menilai visi dan misi para calon.
Rakyat, menurut dia, perlu diberi waktu untuk mencerna dan melakukan pendalaman setelah debat terakhir. Selain itu juga memberi ruang bagi rakyat mengikuti pandangan-pandangan yang muncul dari media dan medsos mengenai isi perdebatan dan bagaimana kedua paslon menyampaikan isi tersebut.
"Jika debat terlalu dekat dengan hari pencoblosan, sulit untuk menghindarkan kesan bahwa debat hanya semacam formalitas dan bukan hal yang esensial dalam rangkaian Pilpres," ucap Hikam.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2019
Tags: