Pengusaha tahu keluhkan kenaikan harga kedelai impor
13 Maret 2019 19:57 WIB
Pekerja menata tahu untuk dipasarkan di salah satu usaha produksi tahu, Desa Geucee, Banda Aceh, Rabu (13/3/2019). Menurut perajin yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Tahu dan Tempe di daerah itu, dampak kenaikan harga kedele impor dari Rp 7.000 per kilogram menjadi Rp7.300 per kilogram saat ini, mengakibatkan produksi tahu dan tempe menurun hingga 30 persen. (Antara Aceh/Ampelsa)
Banda Aceh (ANTARA) - Kalangan pengusaha tahu dan tempe di Banda Aceh mengeluhkan kenaikan harga kedelai impor dari Rp7.000 menjadi Rp7.300 per kilogram yang berdampak menurunnya produksi hingga 30 persen
"Harga kedelai impor mengalami peningkatan. Sementara, harga jual tahu dan tempe tidak naik," kata Sekretaris Asosiasi Tahu Tempe Aceh Mulizar di Banda Aceh, Rabu.
Kedelai impor sebagai bahan baku tahu dan tempe naik sejak enam bulan terakhir. Dulu harganya hanya Rp6.800 per kilogram. Maulizar mengaku tidak mengetahui penyebab kenaikan kedelai impor tersebut.
Dampak kenaikan harga kedelai impor kepada kalangan pengusaha tahu yang kebanyakan industri rumah tangga terpaksa mengurangi produksi hingga 30 persen.
"Sebelumnya, kami membutuhkan kedelai impor untuk produksi dalam sehari berkisar 700 kilogram hingga 800 kilogram. Namun, sejak kedelai impor naik, kami hanya produksi 400 kilogram hingga 500 kilogram dalam sehari," Maulizar.
Meski terjadi kenaikan bahan baku kedelai, produksi tahu dan tempe tetap berjalan normal guna memenuhi kebutuhan konsumen. Namun begitu, keuntungan didapat pengusaha tahu dan tempe berkurang.
"Untung sudah tipis dan yang penting jangan sampai rugi saja. Kami produksi hanya untuk memenuhi permintaan masyarakat dan menjaga pelanggan tidak lari," kata Maulizar.
Namun, sebut Maulizar, kalangan pengusaha tahu dan tempe tidak akan mampu bertahan jika harga kedelai impor di atas Rp8.000 per kilogram. Sebab, biaya produksi lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual.
Oleh karena itu, Maulizar mengatakan, pengusaha tahu dan tempe mengharapkan pemerintah menekan harga kedelai impor hingga posisi normal yakni Rp6.800 per kilogram.
"Dalam kondisi harga kedelai Rp7.300 per kilogram, harga penjualan tahu untuk konsumsi masyarakat masih stabil. Jika harga kedelai mencapai Rp8.000 per kilogram, kemungkinan usaha tahu tutup atau mogok produksi," pungkas Maulizar. ***1***
"Harga kedelai impor mengalami peningkatan. Sementara, harga jual tahu dan tempe tidak naik," kata Sekretaris Asosiasi Tahu Tempe Aceh Mulizar di Banda Aceh, Rabu.
Kedelai impor sebagai bahan baku tahu dan tempe naik sejak enam bulan terakhir. Dulu harganya hanya Rp6.800 per kilogram. Maulizar mengaku tidak mengetahui penyebab kenaikan kedelai impor tersebut.
Dampak kenaikan harga kedelai impor kepada kalangan pengusaha tahu yang kebanyakan industri rumah tangga terpaksa mengurangi produksi hingga 30 persen.
"Sebelumnya, kami membutuhkan kedelai impor untuk produksi dalam sehari berkisar 700 kilogram hingga 800 kilogram. Namun, sejak kedelai impor naik, kami hanya produksi 400 kilogram hingga 500 kilogram dalam sehari," Maulizar.
Meski terjadi kenaikan bahan baku kedelai, produksi tahu dan tempe tetap berjalan normal guna memenuhi kebutuhan konsumen. Namun begitu, keuntungan didapat pengusaha tahu dan tempe berkurang.
"Untung sudah tipis dan yang penting jangan sampai rugi saja. Kami produksi hanya untuk memenuhi permintaan masyarakat dan menjaga pelanggan tidak lari," kata Maulizar.
Namun, sebut Maulizar, kalangan pengusaha tahu dan tempe tidak akan mampu bertahan jika harga kedelai impor di atas Rp8.000 per kilogram. Sebab, biaya produksi lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual.
Oleh karena itu, Maulizar mengatakan, pengusaha tahu dan tempe mengharapkan pemerintah menekan harga kedelai impor hingga posisi normal yakni Rp6.800 per kilogram.
"Dalam kondisi harga kedelai Rp7.300 per kilogram, harga penjualan tahu untuk konsumsi masyarakat masih stabil. Jika harga kedelai mencapai Rp8.000 per kilogram, kemungkinan usaha tahu tutup atau mogok produksi," pungkas Maulizar. ***1***
Pewarta: M.Haris Setiady Agus
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2019
Tags: