90 persen kemungkinan kanker serviks sembuh jika ditangani sejak dini
12 Maret 2019 17:10 WIB
Dokter Klinik Pratama Perum LKBN Antara Maria Ulfa saat mengisi seminar tentang kanker serviks kerja sama LKBN Antara dan PT Kimia Farma di Jakarta, Selasa (12/3/2019). (ANTARA/Desi Purnamawati)
Jakarta (ANTARA) - Penderita penyakit kanker mulut rahim atau kanker serviks mempunyai kemungkinan hingga 90 persen untuk sembuh jika baru pada tahap awal dan ditangani sejak dini.
"Semakin dini diketahui semakin mudah diobati dan semakin besar harapan untuk sembuh," kata dokter klinik Pratama Perum LKBN Antara, Maria Ulfa pada seminar kanker serviks di Jakarta, Selasa.
Seminar kanker servisk dibarengi pemeriksaan pap smear gratis tersebut dilakukan atas kerja sama LKBN Antara dengan PT Kimia Farma.
Berdasarkan data Yayasan Kanker Indonesia, di Indonesia setiap satu jam satu orang meninggal akibat kanker serviks, dan 34,4 persen dari kanker yang diidap perempuan.
Ia menjelaskan, hampir 70 persen kasus kanker serviks sudah pada stadium lanjut dengan 15 ribu kasus baru dan 8.000 kematian. Sementara cakupan skrining ternyata masih di bawah lima persen sedangkan idealnya seharusnya mencapai 80 persen.
Kanker serviks bukan merupakan penyakit turunan tapi disebabkan human papiloma virus (HPV) yang ditularkan lewat hubungan seksual atau dari ibu hamil pengidap HPV kepada bayi yang dikandung.
Kanker serviks berisiko tinggi diderita kaum perempuan yang sudah menikah atau aktif secara seksual, mitra seksual multiple, menikah muda di bawah usia 20 tahun, infeksi menular seksual, merokok, dan kekurangan vitamin A, C dan E.
Karena itu deteksi dini dengan metode pap smear atau IVA test penting dilakukan untuk mengetahui kondisi leher rahim. Dengan pap smear, sensitivitas bisa mencapai 70-80 persen sedangkan IVA tes 65-96 persen.
"Minimal pap smear dilakukan tiga tahun sekali jika dalam kondisi baik dan setahun sekali jika kondisinya sudah terkena HPV dan jika ditangani segera dengan krioterapi kemungkinan besar bisa sembuh," katanya.
Baca juga: Prilly Latuconsina giat kampanyekan vaksin cegah kanker serviks
Baca juga: Ahli sebut 50 perempuan meninggal karena kanker serviks per hari
Baca juga: Vaksin HPV sebaiknya diberikan sebelum perempuan aktif secara seksual
"Semakin dini diketahui semakin mudah diobati dan semakin besar harapan untuk sembuh," kata dokter klinik Pratama Perum LKBN Antara, Maria Ulfa pada seminar kanker serviks di Jakarta, Selasa.
Seminar kanker servisk dibarengi pemeriksaan pap smear gratis tersebut dilakukan atas kerja sama LKBN Antara dengan PT Kimia Farma.
Berdasarkan data Yayasan Kanker Indonesia, di Indonesia setiap satu jam satu orang meninggal akibat kanker serviks, dan 34,4 persen dari kanker yang diidap perempuan.
Ia menjelaskan, hampir 70 persen kasus kanker serviks sudah pada stadium lanjut dengan 15 ribu kasus baru dan 8.000 kematian. Sementara cakupan skrining ternyata masih di bawah lima persen sedangkan idealnya seharusnya mencapai 80 persen.
Kanker serviks bukan merupakan penyakit turunan tapi disebabkan human papiloma virus (HPV) yang ditularkan lewat hubungan seksual atau dari ibu hamil pengidap HPV kepada bayi yang dikandung.
Kanker serviks berisiko tinggi diderita kaum perempuan yang sudah menikah atau aktif secara seksual, mitra seksual multiple, menikah muda di bawah usia 20 tahun, infeksi menular seksual, merokok, dan kekurangan vitamin A, C dan E.
Karena itu deteksi dini dengan metode pap smear atau IVA test penting dilakukan untuk mengetahui kondisi leher rahim. Dengan pap smear, sensitivitas bisa mencapai 70-80 persen sedangkan IVA tes 65-96 persen.
"Minimal pap smear dilakukan tiga tahun sekali jika dalam kondisi baik dan setahun sekali jika kondisinya sudah terkena HPV dan jika ditangani segera dengan krioterapi kemungkinan besar bisa sembuh," katanya.
Baca juga: Prilly Latuconsina giat kampanyekan vaksin cegah kanker serviks
Baca juga: Ahli sebut 50 perempuan meninggal karena kanker serviks per hari
Baca juga: Vaksin HPV sebaiknya diberikan sebelum perempuan aktif secara seksual
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019
Tags: