KPAI: berhati-hati usulkan usia minimal pernikahan
12 Maret 2019 11:59 WIB
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Susanto di Jakarta, Selasa (12/3/2019), pada seminar Hari Perempuan Internasional "Memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi dan Sinergitas dalam Pencegahan Perkawinan Anak". (ANTARA News/ Anom Prihantoro)
Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan pihaknya berhati-hati dalam mengusulkan usia minimal pernikahan karena jika tidak seksama dapat menimbulkan persoalan saat berbenturan dengan adat dan agama.
"Kami berhati-hati soal berapa usia tepat, 18, 19 atau sekian," kata Susanto di Jakarta, Selasa (12/3), pada seminar Hari Perempuan Internasional "Memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi dan Sinergitas dalam Pencegahan Perkawinan Anak".
Adapun batas minimal usia pernikahan saat ini sedang diusulkan guna merevisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Santo mengatakan dalam menetapkan usia minimal pernikahan harus mempertimbangkan banyak hal seperti aspek kesehatan, pendidikan, fikih keagamaan, kebijakan dan lain-lain.
Menurut dia, penetapan usia minimal pernikahan harus dapat menjawab berbagai persoalan sesuai kebutuhan yaitu melindungi anak, terutama bagi perempuan.
Santo mencontohkan salah satu persoalan yang timbul dari penetapan usia yang tinggi itu dapat memberikan ruang yang luas bagi upaya dispensasi usia pernikahan di pengadilan agama dan negeri.
Tercatat, angka dispensasi pernikahan dalam kisaran 12 ribu per tahun. Dengan kata lain, pernikahan dilakukan dalam usia yang sangat muda.
"Memang idealnya usia pernikahan itu sesuai masa tumbuh kembang anak, tapi dengan usia yang terlalu tinggi akan banyak ruang dispensasi," kata dia.
Di sisi lain, kata dia, jika usia pernikahan terlalu rendah maka bisa membahayakan kesehatan seseorang yang belum sempurna masa tumbuh kembangnya baik secara fisik dan mental.
Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olah Raga Kementerian PPN/Bappenas Woro Srihastuti Sulistyaningrum mengatakan harus ada intervensi agar praktik pernikahan anak bisa ditekan.
Woro mengatakan pernikahan anak menutup kesempatan bagi mereka untuk mengakses pendidikan lebih lanjut. Padahal pendidikan bisa menjadi salah satu sarana agar seseorang bisa meningkatkan taraf hidupnya, terutama dari sisi ekonomi.
"Dengan pendidikan, akan memberi kontribusi pada pembangunan. Dengan menikah lebih dini akan membuat akses pendidikan anak menjadi terbatas. Perkawinan anak akan mengurangi 1,7 persen Produk Domestik Bruto (PDB)," kata dia.
Menurut dia, pendidikan menjadi bekal Indonesia agar tidak terjebak sebagai negara dengan masyarakat berpenghasilan menengah. Perkawinan anak bagi perempuan juga tidak membuka kesempatan bagi perempuan untuk semakin berkontribusi pada ekonomi.
"Kami berhati-hati soal berapa usia tepat, 18, 19 atau sekian," kata Susanto di Jakarta, Selasa (12/3), pada seminar Hari Perempuan Internasional "Memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi dan Sinergitas dalam Pencegahan Perkawinan Anak".
Adapun batas minimal usia pernikahan saat ini sedang diusulkan guna merevisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Santo mengatakan dalam menetapkan usia minimal pernikahan harus mempertimbangkan banyak hal seperti aspek kesehatan, pendidikan, fikih keagamaan, kebijakan dan lain-lain.
Menurut dia, penetapan usia minimal pernikahan harus dapat menjawab berbagai persoalan sesuai kebutuhan yaitu melindungi anak, terutama bagi perempuan.
Santo mencontohkan salah satu persoalan yang timbul dari penetapan usia yang tinggi itu dapat memberikan ruang yang luas bagi upaya dispensasi usia pernikahan di pengadilan agama dan negeri.
Tercatat, angka dispensasi pernikahan dalam kisaran 12 ribu per tahun. Dengan kata lain, pernikahan dilakukan dalam usia yang sangat muda.
"Memang idealnya usia pernikahan itu sesuai masa tumbuh kembang anak, tapi dengan usia yang terlalu tinggi akan banyak ruang dispensasi," kata dia.
Di sisi lain, kata dia, jika usia pernikahan terlalu rendah maka bisa membahayakan kesehatan seseorang yang belum sempurna masa tumbuh kembangnya baik secara fisik dan mental.
Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olah Raga Kementerian PPN/Bappenas Woro Srihastuti Sulistyaningrum mengatakan harus ada intervensi agar praktik pernikahan anak bisa ditekan.
Woro mengatakan pernikahan anak menutup kesempatan bagi mereka untuk mengakses pendidikan lebih lanjut. Padahal pendidikan bisa menjadi salah satu sarana agar seseorang bisa meningkatkan taraf hidupnya, terutama dari sisi ekonomi.
"Dengan pendidikan, akan memberi kontribusi pada pembangunan. Dengan menikah lebih dini akan membuat akses pendidikan anak menjadi terbatas. Perkawinan anak akan mengurangi 1,7 persen Produk Domestik Bruto (PDB)," kata dia.
Menurut dia, pendidikan menjadi bekal Indonesia agar tidak terjebak sebagai negara dengan masyarakat berpenghasilan menengah. Perkawinan anak bagi perempuan juga tidak membuka kesempatan bagi perempuan untuk semakin berkontribusi pada ekonomi.
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Ridwan Chaidir
Copyright © ANTARA 2019
Tags: