Topeng monyet. Demikian nama y (ANTARA) - Topeng monyet. Demikian nama yang sangat populer di kalangan masyarakat, khususnya warga Jakarta untuk menggambarkan sebuah atraksi semacam sirkus jalanan yang menggunakan kera ekor panjang.
Entah apa yang mendasari penamaan atraksi itu dengan sebutan topeng monyet. Mungkin karena aktor utamanya, yaitu monyet kadang dipasangi topeng atau hal lain.
Yang pasti, monyet dalam atraksi ini tampak terlatih. Bisa menggunakan beragam peralatan yang dimaui pelaku usahanya, termasuk menggunakan sendiri topengnya.
Tak hanya itu, monyet dalam atraksi ini juga kadang dipakaikan baju atau celana. Kadang juga topi dan asesoris, seperti gelang dan kalung.
Dalam atraksi ini, monyet diminta pengasuhnya untuk memeragakan adegan yang diinginkan. Misalnya, naik sepeda mainan, main bola, berjoget atau menari.
Musik dari pengeras suara atau seperangkat gamelan sering mengiringi semua adegan kera dalam beragam gaya. Dalam setiap pertunjukkan, suara gaelan atau musik berbunyi keras sehingga menarik perhatian orang untuk mendekat dan menyaksikan atraksi ini.
Semakin keras bunyi atau suara yang diperdengarkan, semakin banyak orang berdatangan. Anak-anak adalah sasaran utama pertunjukan jalanan ini.
Ada gelak tawa dan keriuhan dari pertunjukkan ini. Anak-anak dan warga kadang sedikit takut mendekat kera yang sedang beratraksi, namun tetap menyaksikannya.
Takut dicakar atau digigit kera. Namun anak-anak dan sebagian warga tidak juga pergi meninggalkan atraksi yang cukup mengibur suasana.
Dari kerumunan itu, pemilik usaha topeng monyet meraup lembaran dan keoingan rupiah yang dilemparkan anak-anak dan warga. Dari lembaran rupiah itu, pemiik usaha topeng monyet bisa hidup.
Dulu pertunjukkan semacam itu sempat marak di perempatan atau lampu merah (traic light) di Jakarta. Sejak 2013, dilakukan pelarangan dan secara rutin dilakukan razia. Mereka pun hilang dari perempatan di ibu kota.
Bukan hanya di perempatan di kawasan yang jauh dari jalan protokol, aksi mereka pernah sering dilakukan di kawasan yang dekat objek vital kenegaraan. Sebut saja, mereka pernah sering mangkal di perempatan Patung Tani (Jakarta Pusat) atau perempatan sekitarnya.
Atraksi itu menarik perhatian pengguna jalan yang berhenti saat lampu merah menyala. Saat itu, selalu ada pengguna jalan yang melemparkan uangnya ke arah monyet yang menari atau beratraksi.
Sejak pelarangan dan razia, mereka tidak terlihat lagi. Praktis atraksi topeng monyet tak pernah terlihat lagi di perempatan lampu merah.
Namun pemilik usaha topeng monyet tampaknya tidak kehabisan akal untuk terus mempertahankan usahanya. Mereka pun berpindah tempat, dari jalanan ke permukiman atau kawasan padat penduduk.
Sampai akhirnya dilakukan penertiban atau pelarangan atraksi tersebut. Razia dilakukan secara rutin diiringi penyitaan peralatan atraksi dan monyet-monyetnya.
Monyet-monyet yang disita kemudian dikirim ke Taman Marga Satwa Ragunan untuk direhabilitasi. Hal itu menjadikan Jakarta bebas dari topeng monyet.
Baca juga: JAAN: waspadai penyakit menular dari topeng monyet
Eksploitasi
Alasan penyiksaan atau eksploitasi hewan sejenis monyet menjadi landasan aparat terkait melarang pertunjukkan ini. Pengelola usaha topeng monyet dianggap tidak manusiawi menyiksa kera untuk tujuan komersialisasi.
Penyiksaan terhadap monyet atau kera itu terlihat dari fisiknya yang terlihat kurus. Bulu-bulunya juga terlihat jarang.
Eksploitasi atau penyiksaan terlihat pula dari cara pengelolanya saat memerintahkan monyet memeragkaan atraksi tertentu. Kadang monyet harus dipecut dulu, setelah berlari sambil memeragakan atraksi tertentu kemudian memeragakan adegan lainnya.
Monyet juga ditarik dan diminta berlari ke sana-ke mari.Tali atau rantai dari baja dikalungkan di leher monyet.
Cara-cara seperti dipandang sebagai sebuah penyiksaan atau eksploitasi untuk memberi pendapatan kepada pelaku usahanya. Beragam kecaman pun diutarakan pegiat dan penyayang hewan.
Mereka bersama aparat terkait kemudian melakukan razia. Razia rutin dan tindakan tegas bisa mengakhiri maraknya atraksi topeng monyet di DKI.
Baca juga: Sekolah topeng monyet harus segera ditutup
Penyakit Menular
Selain alasan manusiawi dan penyiksaan atau eksploitasi, hal lain yang mendasari dilakukan razia dan pelarangan topeng monyet adalah alasan kesehatan. Ini merupakan temuan dari kera-kera yang disita ternyata mengandung penyakit yang potensial menular ke manusia.
Adalah Jakarta Animal Aid Network (JAAN) yang selama ini aktif menentang ekspolitasi kera untuk atraksi tersebut. Organisasi non pemerintah yang terdiri atas para pegiatan atau aktivis perlindungan satwa itupun banyak melakukan edukasi kepada masyarakat terkait risiko dari atraksi topeng monyet.
Berdasarkan temuan dari monyet atau era yang disita kemudian direhabilitasi, JAAN mengimbau masyarakat untuk mewaspadai zoonosis atau penularan penyakit hewan kepada manusia dari kera jenis buntut panjang yang kerap merebak melalui aksi topeng monyet. Temuan itu tentu saja membuka mata hati masyarakat terkait atraksi topeng monyet.
Hasil kajian JAAN bersama tim medis menyebutkan bahwa aksi topeng monyet di tengah masyarakat berpotensi menularkan penyakit rabies, cacingan hingga tuberculosis (TBC). Temuan itu disampaikan Kepala Divisi Satwa Liar JAAN, Rahmat Zai di Jakarta, Jumat (8/3)..
Pada kurun 2013, JAAN bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta mendeteksi pengusaha topeng monyet yang dinyatakan positif mengidap TBC pada salah satu kawasan di wilayah setempat. Penyakit TBC diduga ditularkan kepada manusia melalui udara dari monyet pengidap penyakit pernafasan itu selama interaksi pelatihan maupun penangkaran.
Sejumlah kasus monyet yang pernah menggigit manusia pun dideteksi mengidap rabies. Kasus monyet atau kera menyerang beberapa bocah di kawasan Jakarta pernah terjadi.
Temuan itu menguatkan tekad untuk melakukan edukasi kepada masyarakat. Di samping itu, bersama pihak terkait gencar melakukan razia terhadap kelompok pelaku usaha topeng monyet.
Namun berdasarkan laporan dari masyarakat yang masuk melalui call center JAAN di nomor telepon 082210800810, eksploitasi terhadap satwa yang tidak dilindungi itu kembali muncul di Jakarta sejak Januari 2019 hingga sekarang.
Sebelumnya topeng monyet sempat terhenti di Jakarta pada kurun 2013 hingga 2018 karena masifnya penertiban. Namun dalam beberapa bulan terahir dideteksi muncul lagi.
Modus yang dilakukan mulai bergeser dari titik keramaian di persimpangan jalan besar menuju ke gang sempit di beberapa perkampungan di Jakarta. Biasanya atraksi marak pada hari Minggu.
Baca juga: JAAN intensifkan razia pelaku usaha topeng monyet
Rabies
Pada kurun waktu 2013-2018, lembaga nonprofit itu bersama otoritas terkait menyita total 170 monyet dari berbagai tempat di Jakarta. Dari monyet sebanyak itu, 18 persen di antaranya positif TBC dan 100 persen cacingan.
Ada pula yang positif rabies walau angkanya tidak terlalu besar. Ini merupakan potensi risiko apalagi pengusaha topeng monyet diduga melepas liar hewan peliharaannya di lingkungan masyarakat di Jakarta.
Biasanya kalau monyet sudah berusia tua, sudah tidak laku lagi menjadi topeng monyet karena anak kecil biasanya takut dengan tubuhnya yang besar sehingga pelakunya melepaskan begitu saja monyet di Jakarta hingga dikhawatiran menyerang manusia.
Itulah sebabnyak, JAAN bersama pihak terkait kembali mengitensifkan razia kera ekor panjang (Macaca fascicularis) yang biasa digunakan para pelaku usaha topeng monyet selama beroperasi di wilayah Jakarta.
Upaya penyitaan monyet dari tangan pelaku usaha topeng monyet dilakukan JAAN dengan melibatkan sejumlah unsur terkait. Sebut saja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta hingga Satpol PP di wilayah masing-masing.
Tidak ada kompensasi untuk para pelaku usaha topeng monyet. Pelaku biasanya berkelompok yang berjumlah dua hingga tiga orang per monyet.
Dari 170 monyet yang disita, telah dilepaskan ke alam bebas sebanyak 145 ekor. Pelepasan itu dilakukan setelah monyet menjalani perawatan di penangkaran.
Terakhir JAAN dan BKSDA DKI pada Febuari 2019 melepas kera ekor panjang ke alam sebanyak 22 ekor. Pelepasan dilakukan di Gunung Tilu Bandung (Jawa Barat).
Sebelum dilepasliarkan kera-kera menjalani pembinaan, rehabilitasi dan perawatan oleh tim medis dalam waktu satu hingga tiga tahun. Melalui penangkaran, petugas bertugas mengembalikan kebiasaan alaminya dan menormalkan trauma hewan selama pertunjukan.
Menurut Kepala BKSDA DKI Jakarta Ahmad Munawir, sebenarnya sudah ada edaran gubernur (era Gubernur Joko Widodo) tentang pelarangan topeng monyet. Namun belakangan muncul lagi.
Karena itu, pihaknya bekerjasama dengan pihak terkait akan melakukan penyitaan terhadap kera-kera yg digunakan sebagai media topeng monyet itu. Diakui memang sudah lama vakum penindakan, namun baru-baru ini ada laporan lagi dari warga adanya topeng monyet di daerahnya.
Petugas telah melakukan beberapa kali penangkapan para pelaku usaha topeng monyet tersebut mayoritas berasal dari luar DKI Jakarta, yaitu Tasikmalaya dan Cirebon. Jika pelakunya dari DKI Jakarta akan dibina di Dinas Sosial untuk mendapat pelatihan tapi jika dari luar daerah akan dikembalikan ke daerah asalnya.
Aturan hukum terkait larangan aktivitas topeng monyet di Jakarta tertuang dalam sejumlah peraturan.Para pelaku usaha topeng monyet telah melanggar KUHP Pasal 302, Peraturan Kementan Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Pasal 66 ayat 2 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Dasar hukumnya juga diperkuat melalui Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1995 tentang Pengawasan Hewan Rentan Rabies serta Pencegahan dan Penanggulangan Rabies Pasal 6 ayat 1 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum Pasal 17 ayat 2.
Dari sisi aturan, lebih dari cukup alasan untuk melarang topeng monyet beraksi di Jakarta.
Baca juga: Pelaku usaha topeng monyet harus ditindak tegasatraksi
Menghalau topeng monyet
10 Maret 2019 21:43 WIB
Petugas menyita seekor monyet berikut peralatan atraksi topeng monyet saat dilakukan razia di Jakarta Pusat, Sabtu (9/3/2019). (ANTARA/Shofi Ayudiana)
Pewarta: Sri Muryono dan SDP XIX-10
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019
Tags: