Jakarta (ANTARA) - Ketua Pokja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung, Takdir Rahmadi, mengatakan MA memberikan respons terkait perkembangan hukum untuk kasus isu perempuan dan anak, dengan menerbitkan Peraturan MA No.3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.

"MA merespons perkara-perkara yang menyangkut isu perempuan dan anak dengan membentuk kelompok kerja (Pokja) yang kemudian menerbitkan produk hukum berupa Perma 3/2017," jelas Takdir di Gedung Mahkamah Agung Jakarta, Jumat.

Takdir mengatakan hal tersebut ketika memberikan paparan pada saat diskusi terkait keadilan bagi perempuan dan anak dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional.

Indonesia dikatakan Takdir sebagai salah satu negara dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Cedaw), yang mengakui kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan.

"Perma 3/2017 itu dibentuk dengan semangat untuk memberikan akses keadilan dan bebas diskriminasi bagi perempuan dalam sistem peradilan, baik itu perempuan yang berkonflik dengan hukum, sebagai korban, saksi, ataupun pihak terkait," jelas Takdir.

Lebih lanjut Takdir mengatakan bahwa isu perempuan menjadi sangat pelik bila terkait dengan adat budaya serta agama, sehingga produk hukum yang sudah diterbitkan terkadang sulit untuk diimplementasikan.

"Hakim memang diminta untuk menganut nilai-nilai adat dalam mengadili perkara terutama terkait adat budaya, namun nilai adat itu bertentangan dengan norma hukum tentu ini harus menjadi pertimbangan," ujar Takdir.

Sebagai contoh Takdir menyebutkan ada suatu daerah yang memiliki adat budaya bahwa perempuan harus menikah begitu memasuki usia akil balig.

Namun aturan tersebut bertentangan dengan norma hukum terutama sejak Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa usia minimum untuk perempuan menikah, harus disesuaikan dengan UU Perlindungan Anak.

Baca juga: MA latih hakim untuk miliki perspektif gender