Jakarta (ANTARA) - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan bahwa dwifungsi ABRI atau dwifungsi TNI tidak akan kembali diterapkan dalam era Presiden Joko Widodo.

"Saya pastikan tidak akan kembali dwifungsi ABRI, itu kunci," kata Moeldoko, di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Jumat.

ABRI pada saat itu terdiri dari TNI AD, TNI AL, TNI AU, dan Angkatan Kepolisian, dan ABRI kini sudah menjelma menjadi TNI dengan Angkatan Kepolisian menjadi Kepolisian Indonesia, suatu institusi tersendiri di luar TNI.

Sebelumnya muncul wacana penempatan perwira TNI aktif di kementerian atau lembaga pemerintahan mengingat ada lebih dari 500 perwira TNI aktif berpangkat kolonel yang menganggur.

Dwifungsi adalah gagasan yang diterapkan Orde Baru yang menyebutkan bahwa TNI memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara, dwifungsi ini dihapuskan pasca reformasi 1998.

"Di dalam reformasi internal TNI dulu pada 1998 ada tiga hal yang menjadi objek reformasi internal, pertama struktur, kedua doktrin, dan ketiga kultur. Terhadap struktur yang dibenahi hal-hal sosial politik (sospol) dihilangkan, kotak sospol dibuang sehingga TNI benar-benar bermain di area pertahanan," ungkap mantan panglima TNI itu.

Menurut dia, reformasi di bidang doktrin TNI termasuk juga penghapusan doktrin pembinaan keamanan dari wilayah TNI yang diambil alih polisi.

"Doktrin kita adalah konstitusi, dan turunannya UU Nomor 34/2004 tentang TNI dan UU Nomor 3/2002 tentang Pertahanan, itu dasarnya. Pertanyaannya sekarang apakah ia terjadi restruktrurisasi lagi di TNI? menempatkan fungsi sospol di TNI? Apa ada perubahan UU Nomor 34/2004 dan UU Nomor 3/2002 yang di dalamnya menempatkan fungsi sosial politik tadi?," Moeldoko.

Bila ternyata tidak ada perubahan struktur dan doktrin di TNI, menurut dia, artinya tidak ada tanda-tanda untuk mengembalikan dwifungsi TNI dalam pemerintaahan saat ini.

"Kalau dua hal ini tidak terjadi mengapat kita meributkan hal yang tidak jelas? Jadi ini diperlukan sikap kritis agar tidak larut dalam diskursus yang sebenarnya berita itu gak benar, TNI tidak hidup dalam ruang hampa, tapi ruang publik yang semuanya bisa mengontrol. Kultur para senior kita menempatkan TNI dengan pas, yang terbaik bagi TNI itu terbaik bagi rakyat, terbaik bagi rakyat itu terbaik untuk TNI, saya perkuat lagi bersama rakyat TNI kuat, ini secara kultur kita benahi dari waktu ke waktu," kata dia.

Menurut dia, TNI juga tidak antikritik dan sudah memulai sejumlah program untuk menerima masukan dari masyarakat.

"Ada program 'TNI Mendengar' agar TNI biasa mendengar, tidak mudah telinganya merah, ini memperbaiki langkah-langkah kultur di TNI. Menurut saya kultur TNI sudah baik, 20 tahun reformasi sudah baik, TNI menghormati HAM, mendorong proses demokrasi berkonsolidasi dengan baik, sudah sangat bagus posisinya," kata Moeldoko.

Apa yang terjadi sekarang adalah TNI malah ingin menjadi tentara yang profesional sepenuhnya, artinya memiliki perlengkapan modern dan dicukupi kesejahteraannya.

"Justru dulu rakyat ingin TNI profesional, sekarang TNI yang ingin agar TNI sendiri profesional, tapi negara belum mampu. Jadikan kami prajurit TNI yang dilengkapi perlengkapan modern, dicukupi kesejahteraannya, tidak boleh bermain-main di area lain seperti politik praktis, binis, tapi pemenuhan atas profesionalitas justru belum terpenuhi karena belum alat-alatnya belum modern," kata dia.

Meski demikian TNI, menurut Moeldoko, tidak pernah mengeluh dan taat untuk netral serta tidak melakukan bisnis.

Berdasarkan pasal 47 ayat 2 UU Nomor 34/2004 tentang TNI, seorang prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada 10 bidang yaitu kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Badan SAR Nasional, narkotik nasional, dan Mahkamah Agung.