Mataram (ANTARA) - Anggota DPD RI asal Nusa Tenggara Barat Hj Robiatul Adawiyah mengaku prihatin dengan masih tingginya angka buta huruf yang mendera kaum perempuan di provinsi itu.

"Perlu keterpaduan antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk bersama-sama menuntaskan program penuntasan buta aksara di NTB saat ini," ujarnya di Mataram, Selasa.

Robiatul Adawiyah menyatakan sangat prihatin dan menyayangkan dengan kondisi itu terjadi di NTB. Terlebih lagi, para penyandang buta huruf di NTB mereka yang berusia 15-59 tahun dan umumnya adalah kaum perempuan.

"Inilah yang saya tidak inginkan terjadi di NTB," ucap Robiatul.

Diketahui Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB masih memiliki pekerjaan besar dalam menuntaskan buta aksara di tengah masyarakat. Sebab, dari total 2,2 juta penduduk Indonesia yang tidak mengenal tulis baca merujuk data yang dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS), serta Pusat Data dan Statistik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 2017, justru 7,91 persennya berada di 10 kabupaten/kota di NTB.

Raihan 7,91 persen itu menempatkan provinsi NTB berada pada dua provinsi tertinggi secara nasional dibawah provinsi Papua sebagai 11 daerah yang prosentasenya melebihi angka nasional buta hurufnya saat ini.

Adapun buta aksara terbanyak melanda 11 provinsi di Indonesia dengan persentase melebihi angka nasional. Di antaranya Papua 28,75 persen, NTB (7,91 persen), NTT (5,15 persen), Sulawesi Barat (4,58 persen), Kalimantan Barat (4,50 persen), Sulawesi Selatan (4,49 persen), Bali (3,57 persen), Jawa Timur (3,47 persen), Kalimantan Utara (2,9 persen), Sulawesi Tenggara (2,74 persen), dan Jawa Tengah 2,20 persen.

Untuk itu, menurut senator yang kembali mencalonkan diri sebagai anggota DPD RI nomor urut 43 tersebut, sejatinya masalah buta aksara dan kemiskinan adalah hal yang berkaitan dan sebangun. Sebab, pada desa-desa yang miskin, mayoritas penduduknya terkendala buta aksara.

Karena itu, intervensi program yang dilakukan secara paralel sangat diperlukan guna menekan angka buta huruf tersebut. Sebab, ketidakberdayaan perempuan di NTB masih saja terjadi saat ini.

Hal ini menyusul, perempuan-perempuan yang ditinggal suami karena berbagai alasan selalu menjadi mimpi buruk bagi kaum perempuan. Selalu pihak perempuan yang menanggung akibatnya.

"Saya sudah berkeliling ke kampung-kampung dan seluruh pelosok di NTB. Yang saya lihat langsung itu, umumnya kaum perempuan NTB selama ini, juga dipandang identik dengan kemiskinan. Mereka menikah pada usia dini dan tidak sedikit yang menyandang buta aksara. Inilah yang menjadi keprihatinan saya," terangnya.

"Kalau dilihat lebih lanjut, di desa itu, ibu-ibu yang paling banyak, hampir dua per tiganya. Jadi kalau kita menuntaskan keaksaraan, kita harus perhatikan ibu-ibu di desa-desa miskin," kata Robiatul.

Untuk menuntaskan buta aksara yang dialami ibu-ibu di NTB. Robiatul mewacanakan untuk mendekatkan para ibu rumah tangga itu ke bidang kewirausahaan. Dari pendekatan itu ibu rumah tangga tersebut dapat berjualan makanan atau kerajinan daerah. Cara seperti itu tentunya akan bisa membuat para ibu menghasilkan uang dan bisa tertarik belajar huruf dan angka.

"Mengarahkan kaum ibu-ibu menggarap industri rumahan, seperti membuat kueh, makanan, dan kerajinan sehingga secara tidak langsung akan memotivasi mereka untuk belajar berhitung dan membaca," katanya.*


Baca juga: Mendikbud akui tingkat literasi Indonesia masih rendah

Baca juga: Narapidana Lapas Cipinang deklarasi hapus buta huruf Al-Quran