Simpang Empat, Sumbar (ANTARA) - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat (Sumbar) segera limpahkan kasus dugaan politik uang salah satu calon legislatif di daerah itu kepada Sentra Penegakan Hukum Terpadu di Kepolisian Resor (Polres) setempat.

"Dari hasil penyelidikan tim penegakan hukum terpadu maka salah seorang calon legislatif, AH dari Partai Keadilan Sejahtera diduga kuat melakukan money politik. Berkasnya segera kita limpahkan ke Polres," kata Ketua Bawaslu Pasaman Barat, Emra Patria di Simpang Empat, Selasa.

Ia mengatakan penyelidikan kasus dugaan money politik itu sudah masuk tahap dua atau SG 2 dan akan dilimpahkan ke Polres pada Selasa (5/3).

Menurutnya laporan pelanggaran itu sudah diputuskan bersama tim, maka harus diteruskan ke proses penyidikan lebih lanjut sesuai aturan yang berlaku.

Ia menjelaskan pengungkapan kasus dugaan politik uang itu berawal dari informasi masyarakat kepada Panwaslu Kecamatan Lembah Melintang ada salah seorang caleg menggunakan politik uang dalam kampanye.

Dari informasi itu diperoleh caleg yang bersangkutan diduga melakukan perjanjian dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akta notaris pada tanggal 5 Februari 2019.

Ia menjanjikan akan memberikan sejumlah gajinya bila terpilih nantinya kepada masyarakat Hutana Godang, Kecamatan Lembah Melintang.

"Selain itu dirinya juga berjanji, akan memberikan imbalan berupa uang terhadap suara yang diberikan kepadanya," katanya.

Bahkan surat perjanjian itu juga ditempel dan dipasang di sejumlah warung yang ada di daerah itu.

"Berdasarkan bukti dan keterangan saksi dan barang bukti maka kasus ini dilanjutkan ke tahap selanjutnya," tegasnya.

Sementara itu Koordinator Divisi Hukum Penindakan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa (HPPS) Bawaslu Pasaman Barat, Beldia Putra menambahkan hasil penyelidikan Gakkumdu menyimpulkan yang bersangkutan melanggar ketentuan UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Dimana dijelaskan yang bersangkutan melanggar Pasal 280 Ayat (1) junto Pasal 523 Ayat (1) UU No 7 Tahun 2017. Terancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.