Matahari telah tinggi ketika Misem (41) beranjak ke dapur untuk membereskan sisa-sisa memasak sayur asem dan perkedel kentang usai makan siang.

Di dapur kecilnya di Rumah Susun (Rusun) Bambu Larangan di Cengkareng, Jakarta Barat, Misem kemudian sibuk memilah sampah sisa makanan.

Ia mengumpulkan bungkus-bungkus bumbu instan dalam satu kantung, sisa sayur dan makanan di kantung berbeda, dan plastik bekas obat nyamuk oles pada kantung lainnya.

"Sampahnya dibuat tiga Mbak. Ada yang buat sayur dan sisa makanan, kardus dan plastik, sisanya residu, yang sulit diolah lagi untuk dijadikan 'ecobrick'," ujar Misem.

Setelah mengumpulkan sampah, ia keluar rumah dan membawa tiga kantung sampahnya ke pelataran lantai empat rumah susun.

Di sana, telah tersedia tong-tong untuk menempatkan sampah plastik, sampah sulit terolah, dan beberapa tong komposter untuk sampah organik.

Misem menimbang berat kumpulan sampahnya, lalu mencatat berat sampah sesuai jenis pada form yang terpajang di dinding.

Setelah menimbang sampah dan mencatat hasilnya, dia memasukkan sampah-sampah itu ke tong sesuai dengan jenisnya.

Dari sampah anorganik yang dia kumpulkan, Misem akan mendapatkan pemasukan di rekening bank sampahnya. Penghitungannya dilakukan berdasarkan jumlah dan harga jenis sampah yang dia masukkkan ke Bank Sampah Induk Satu Hati Jakarta Barat.

Pengelola Bank Kompos Induk Satu Hati, Jakarta Barat Richi Dwi Saputro menunjukkan tong komposter warga Rusun Bambu Larangan yang diolah menjadi pupuk cair di Cengkareng, Jakarta, Rabu (27/2/2019). Melalui program Kampung Penanganan Sampah Terpilah (KPST) di Rusun Bambu Larangan, warga mengolah sampah organik yang terkumpul dari rumahnya menjadi bahan kompos dan pupuk cair. (ANTARA/Devi Nindy Sari Ramadhan)


Khusus untuk sampah organik, perlakuannya berbeda.

Misem lebih dulu mencampur sampah organik dengan EM4, cairan pengurai sampah, lalu mengaduk-aduk sampah di tampah plastik yang telah tersedia sebelum memasukkannya ke tong komposter yang akan dibawa oleh petugas Bank Kompos Induk Satu Hati Jakarta Barat.

"Nanti sampahnya bisa diolah lagi jadi pupuk cair dan kompos sama petugas. Ditukar sama kompos, jadi buat tanaman hias," tutur Misem.

Misem awalnya mengaku merasa sedikit terbebani dengan keharusan memilah sampah dan menempatkannya dalam tiga kantong plastik berbeda. Tetapi dia kemudian terbiasa.

Sebagai penghuni rumah susun yang dalam tiga bulan terakhir menjadi proyek percontohan Program Kampung Penanganan Sampah Terpilah (KPST) Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Barat, warga Rusun Bambu Larangan lainnya juga melakukan hal yang sama seperti Misem.

Mereka memilah sampah rumah tangga dalam tiga kategori lalu membawanya ke tempat pengumpulan sampah. Dari jerih payah itu, rekening bank sampah mereka bertambah, dan mereka bisa mendapat kompos dan pupuk cair gratis untuk tanaman hias atau kebun sayur mereka.

Selain itu, mereka bisa menikmati lingkungan rumah susun yang bersih, tanpa tumpukan sampah dan saluran tersumbat sampah.

Dan kompos serta pupuk cair yang mereka dapat dari menukarkan sampah menyuburkan tanaman hias dan kebun sayur di halaman Rusun Bambu Larangan, membuat lingkungan mereka bertambah asri.


Baca juga: Perlu langkah radikal kurangi kantong plastik


Pengolahan Sampah

Di Bank Kompos Induk Satu Hati Barat, Richi Dwi Saputro menjelaskan bahwa dalam satu hari ia menerima 50 sampai 60 kilogram sampah organik dari rusun Bambu Larangan untuk diolah.

"Itu didapat dari semua warga Rusun Bambu Larangan, dari 30 tong komposter yang disediakan. Diambil setiap dua minggu sekali," ujar Richi.

Sampah organik yang sudah dipilah dan masuk tong komposter, ia menjelaskan, pertama-tama akan dicacah bersama sampah dedauan kering.

Hasil cacahan akan diaduk dengan EM4, kemudian difermentasi dan diaduk-aduk rata, lalu dibiarkan selama dua minggu hingga sebulan.

Sementara untuk membuat pupuk cair, Richi dan rekan-rekannya harus lebih dulu mengeringkan sampah organik yang terkumpul sebelum mencampurnya dengan EM4 hingga mengeluarkan uap air dan menghasilkan pupuk cair.

Pupuk cair produksi Bank Kompos Induk Satu Hati dibuat dari empat macam bahan yakni, kotoran hewan, sisa buah segar, limbah rumah tangga, dan sabut kelapa.

"Kalau bahan sampah organik tidak kering, nanti hasilnya malah banyak belatung keluar," ujar Richi.

Bank Sampah selanjutnya akan menjadikan kompos sebagai penukar kumpulan sampah rumah tangga dengan nilai Rp5.000 per kilogram, sedang pupuk cair nilai jualnya Rp15 ribu per satu setengah liter.


Kurangi Sampah

Wakil Ketua RT 13/05 Rusun Bambu Larangan Mega Wanti memaparkan berdasarkan perhitungan selama periode pemilahan sampah rumah tangga dari Desember 2018 hingga Januari 2019, kegiatan pemilahan dan pengolahan sampah telah berhasil mengurangi sekitar 40 persen buangan sampah rumah tangga di rumah susun.

"Awalnya satu RT mengumpulkan sekitar total dua ton sampah, dan setelah dihitung kembali per Januari pengurangannya sekitar 817,48 kilogram," katanya.

Ia merinci selama kurun itu terjadi pengurangan 366,45 kilogram buangan sampah organik; 251,46 kilogram sampah anorganik, dan sisanya residu yang akan diolah menjadi padatan sampah anorganik (ecobrick) atau dibuang ke tempat pembuangan sampah terpadu Bantar Gebang di Bekasi, Jawa Barat.

Walau masih baru, program pemilahan sampah di Rusun Bambu Larangan telah berhasil menurunkan buangan sampah dalam jumlah signifikan.

Kalau kompleks rumah susun dan permukiman warga lainnya mengikuti cara Rusun Bambu Larangan, tentu lingkungan akan lebih bersih, dan buangan sampah DKI Jakarta yang setiap hari sampai sekitar 7.000 ton bisa berkurang drastis, demikian pula beban Bantar Gebang.*


Baca juga: Banjarmasin sudah berhasil memilah 10 persen sampah

Baca juga: Ancaman sampah plastik ganggu kelestarian lingkungan