Pemerintah belum berencana menambah daerah otonomi khusus baru
28 Februari 2019 16:09 WIB
Tugu Yogyakarta. Foto diabadikan saat ribuan warga Yogyakarta menyambut kehadiran pawai obor Asian Games 2018 di salah satu penanda utama Yogyakarta ini, Kamis (19/07/2018).. (ANTARA FOTO/Imam Santoso)
Yogyakarta (ANTARA News) - Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Soni Soemarsono, mengatakan, hingga saat ini pemerintah belum berencana menambah daerah otonomi khusus baru dengan mempertahankan lima daerah otonomi khusus yang sudah ada.
"Selama ini dari delapan (daerah) yang mengajukan (menjadi daerah otonomi khusus) ditolak semua. Cukup lima saja," kata dia, saat ditemui seusai memberikan paparan dalam acara Forum Desentralisasi Asimetris Indonesia (Fordais) di Yogyakarta, Kamis.
Ia mengatakan hingga saat ini lima daerah yang telah menjadi daerah otonomi khusus yakni Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Aceh, Papua, Papua Barat, dan DKI Jakarta.
Sementara delapan daerah yang ditolah dalam pengajuan menjadi daerah otonomi khusus yakni Bali, Riau, Tidore, Surakarta, Batam, Kalimantan Timur, Riau, dan Sumatera Utara.
"Banyak yang minta otonomi khusus kita tolak semuanya karena otonomi khusus punya latar belakang yang spesifik. Misalnya Yogyakarta (itu) istimewa, siapa yang bisa menggugat karena dari sejarah memang istimewa," kata dia.
Menurut dia, banyak daerah yang salah memahami otonomi khusus. Otonomi khusus kebanyakan diartikan sebagai pemberian kewenangan lebih besar mengatur diri sendiri serta membutuhkan dukungan dana yang besar dari pusat.
"Jadi salah terjemahannya, otonomi khusus bukanlah dana. DKI Jakarta menjadi daerah otonomi khusus sebagai Ibu Kota toh tidak ada dana yang masuk ke sana," kata dia.
Pengkategorian sebagai daerah otonomi khusus, kata dia, pada dasarnya bertujuan untuk merespons dinamika yang sifatnya lokal dan khusus untuk daerah-daerah yang membutuhkan penanganan secara khusus.
"Misalnya Jakarta karena sebagai ibu kota (negara), Yogyakarta karena sebagai daerah yang memang sejak lama diakui sebagai daerah yang menurut sejarah istimewa, dan Papua memang karakteristiknya jauh tertinggal sehingga diberikan otonomi khusus supaya cepat berkembang," kata Soemarsono.
"Selama ini dari delapan (daerah) yang mengajukan (menjadi daerah otonomi khusus) ditolak semua. Cukup lima saja," kata dia, saat ditemui seusai memberikan paparan dalam acara Forum Desentralisasi Asimetris Indonesia (Fordais) di Yogyakarta, Kamis.
Ia mengatakan hingga saat ini lima daerah yang telah menjadi daerah otonomi khusus yakni Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Aceh, Papua, Papua Barat, dan DKI Jakarta.
Sementara delapan daerah yang ditolah dalam pengajuan menjadi daerah otonomi khusus yakni Bali, Riau, Tidore, Surakarta, Batam, Kalimantan Timur, Riau, dan Sumatera Utara.
"Banyak yang minta otonomi khusus kita tolak semuanya karena otonomi khusus punya latar belakang yang spesifik. Misalnya Yogyakarta (itu) istimewa, siapa yang bisa menggugat karena dari sejarah memang istimewa," kata dia.
Menurut dia, banyak daerah yang salah memahami otonomi khusus. Otonomi khusus kebanyakan diartikan sebagai pemberian kewenangan lebih besar mengatur diri sendiri serta membutuhkan dukungan dana yang besar dari pusat.
"Jadi salah terjemahannya, otonomi khusus bukanlah dana. DKI Jakarta menjadi daerah otonomi khusus sebagai Ibu Kota toh tidak ada dana yang masuk ke sana," kata dia.
Pengkategorian sebagai daerah otonomi khusus, kata dia, pada dasarnya bertujuan untuk merespons dinamika yang sifatnya lokal dan khusus untuk daerah-daerah yang membutuhkan penanganan secara khusus.
"Misalnya Jakarta karena sebagai ibu kota (negara), Yogyakarta karena sebagai daerah yang memang sejak lama diakui sebagai daerah yang menurut sejarah istimewa, dan Papua memang karakteristiknya jauh tertinggal sehingga diberikan otonomi khusus supaya cepat berkembang," kata Soemarsono.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019
Tags: