Jakarta (ANTARA News) - Ulat sutera hibrida baru bernama "Sinar" yang dikembangkan oleh Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dapat memenuhi kebutuhan benang sutera lokal.
Kepala BLI KLHK Agus saat ini kebutuhan benang sutera Indonesia per tahun mencapai 900 ribu ton, namun sayangnya 95 persen pasokan benang sutera masih impor dari Tiongkok, India dan jepang.
"Kalau impor harganya bisa sampai Rp1,3 juta per kilogram. Hal ini berdampak pada pengusaha sutera alam jadi gulung tikar," kata Agus Justianto, Jakarta, Rabu.
Oleh sebab itu ulat sutera hibrid "Sinar" yang memiliki panjang filament dan daya gulung lebih tinggi dibandingkan ulat sutera komersial pada umumnya menjadi upaya memenuhi pasar tersebut.
Peneliti ulat sutera BLI KLHK Lincah Andadari mengatakan satu kepompong ulat sutera "Sinar ini" dapat menghasilkan di atas 1000 meter benang.
Daya gulung yang lebih tinggi ini membuat serat kepompong tidak cepat putus saat dijadikan benang.
Ulat sutera ini berwarna putih dengan corak bintik, memiliki kepompong berwarna putih dan berbentuk lonjong.
Dalam satu kotak, ulat sutera "Sinar" ini dapat menghasilkan hingga 40 kilogram kepompong, sementara ulas sutera komersial jenis C 301 milik Perhutani hanya dapat menghasilkan paling banyak sekitar 30 kilogram.
Saat ini BLI KLHK telah menghasilkan berbagai bibit unggul ulat sutera, diantaranya BS02, BS03, BS08, BS09, PS01.
Lincah berharap ulat sutera "Sinar" ini menjadi pilihan oleh petani ulat sutera untuk dibudidayakan.*
Baca juga: Keunggulan kokon untuk perawatan kulit wajah
Ulat "Sinar" diharapkan penuhi kebutuhan benang sutera lokal
27 Februari 2019 16:55 WIB
Ulat sutera hibrid "Sinar" yang dikembangkan oleh Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (Antara/Aubrey Fanani)
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019
Tags: