RUU POM perkuat peran BPOM dalam pengawasan obat dan makanan
25 Februari 2019 20:59 WIB
ILUSTRASI - BBPOM Sita Obat Berbahaya Petugas Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Denpasar menjelaskan berbagai jenis obat yang dicurigai berbahaya bagi kesehatan di Kantor BBPOM Denpasar, Bali, Jumat (2/10). (ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana)
Jakarta (ANTARA News) -- Rancangan Undang-Undang Pengawasan Obat dan Makanan (RUU Was OM) dinilai mampu memperkuat peran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam melakukan pengawasan obat dan makanan. Pasalnya, pengawasan obat dan makanan bersifat strategis dan berdampak langsung terhadap ketahanan nasional.
“Pengawasan obat dan makanan merupakan hal yang multisektor dan multilevel pemerintahan, maka diperlukan RUU ini sebagai penegak hukum dalam mengatasi kejahatan di bidang obat dan makanan serta sebagai perlawanan terhadap kejahatan kemanusiaan,” ujar Kepala BPOM Penny K. Lukito di Jakarta.
Perkuatan kewenangan BPOM dengan hadirnya UU tersebut dianggap sangat penting. Pasalnya, pengawasan obat dan makanan sudah sepatutnya menjadi prioritas guna membangun masyarakat Indonesia yang sehat.
RUU POM juga ditujukan sebagai jaminan standar, syarat dan kepastian hukum dalam penggunaan obat maupun makanan yang beredar. Juga untuk melindungi masyarakat dari penggunaan obat yang tidak layak dan penyalahgunaannya.
Penny K. Lukito menambahkan, UU Was OM diperlukan sebagai penguat fungsi penegakan hukum, pengembangan, dan pembinaan dalam bidang ini. Selain itu, UU ini juga diperlukan untuk memfasilitasi industri obat dan makanan dalam rangka meningkatkan daya saing produk dalam negeri dengan produk-produk luar negeri.
“Saya berharap adanya UU ini bisa mendukung pengembangan fasilitas pelaku usaha serta menciptakan iklim usaha yang sehat dalam mengedarkan obat dan makanan dan tak lupa untuk memberikan efek jera untuk pelanggaran yang dilakukan,” ujar Penny K. Lukito.
Sementara itu, pada kesempatan yang berbeda anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago mengatakan, perancangan RUU POM tersebut dilatarbelakangi Was BPOM tidak mempunyai kuasa penuh dalam menindaklanjuti pelaku pelanggaran obat dan makanan.
"Hal ini dilandasi BPOM yang tidak mempunyai kuasa penuh dalam menindak pelaku pelanggaran di bidang obat dan makanan yang mengakibatkan tersangka mendapatkan sanksi ringan dan lepas begitu saja," jelas Irma.
Senada dengan Irma, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus mengungkapkan bahwa terbatasnya wewenang BPOM dalam pengawasan makanan dan obat paling terasa pada perdagangan arus makanan dan obat di perbatasan.
"Ini jelas berpotensi membahayakan masyarakat, terlebih liberilasisasi ekonomi dan ecommerce kian pesat," ujarnya.
“Pengawasan obat dan makanan merupakan hal yang multisektor dan multilevel pemerintahan, maka diperlukan RUU ini sebagai penegak hukum dalam mengatasi kejahatan di bidang obat dan makanan serta sebagai perlawanan terhadap kejahatan kemanusiaan,” ujar Kepala BPOM Penny K. Lukito di Jakarta.
Perkuatan kewenangan BPOM dengan hadirnya UU tersebut dianggap sangat penting. Pasalnya, pengawasan obat dan makanan sudah sepatutnya menjadi prioritas guna membangun masyarakat Indonesia yang sehat.
RUU POM juga ditujukan sebagai jaminan standar, syarat dan kepastian hukum dalam penggunaan obat maupun makanan yang beredar. Juga untuk melindungi masyarakat dari penggunaan obat yang tidak layak dan penyalahgunaannya.
Penny K. Lukito menambahkan, UU Was OM diperlukan sebagai penguat fungsi penegakan hukum, pengembangan, dan pembinaan dalam bidang ini. Selain itu, UU ini juga diperlukan untuk memfasilitasi industri obat dan makanan dalam rangka meningkatkan daya saing produk dalam negeri dengan produk-produk luar negeri.
“Saya berharap adanya UU ini bisa mendukung pengembangan fasilitas pelaku usaha serta menciptakan iklim usaha yang sehat dalam mengedarkan obat dan makanan dan tak lupa untuk memberikan efek jera untuk pelanggaran yang dilakukan,” ujar Penny K. Lukito.
Sementara itu, pada kesempatan yang berbeda anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago mengatakan, perancangan RUU POM tersebut dilatarbelakangi Was BPOM tidak mempunyai kuasa penuh dalam menindaklanjuti pelaku pelanggaran obat dan makanan.
"Hal ini dilandasi BPOM yang tidak mempunyai kuasa penuh dalam menindak pelaku pelanggaran di bidang obat dan makanan yang mengakibatkan tersangka mendapatkan sanksi ringan dan lepas begitu saja," jelas Irma.
Senada dengan Irma, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus mengungkapkan bahwa terbatasnya wewenang BPOM dalam pengawasan makanan dan obat paling terasa pada perdagangan arus makanan dan obat di perbatasan.
"Ini jelas berpotensi membahayakan masyarakat, terlebih liberilasisasi ekonomi dan ecommerce kian pesat," ujarnya.
Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2019
Tags: