Padang miliki potensi 5 MW pembangkit listrik tenaga sampah
22 Februari 2019 18:11 WIB
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar meresmikan ratusan lampu tenaga surya di Universitas Andalas, Padang Jumat. (Afut Nusyirwan)
Padang, (ANTARA News) - Kota Padang, Sumatera Barat, memiliki potensi pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) yang mempunyai daya energi sebesar 5 MW.
"Kalau pasokan sampahnya 600 ton per hari itu banyak sekali, diolah jadi listrik bisa mencapai 5 MW, tapi nanti kita lihat dulu jenis sampahnya seperti apa, biasanya kalau perkotaan akan sama dengan lainnya," kata Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar di Padang, Jumat.
Usai menghadiri peresmian lampu Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya (PJU TS) di Universitas Andalas, Padang ia menjelaskan bahwa kalau kebutuhan per rumah sekitar 1000 watt maka akan terbagi dalam jumlah banyak dari 5 MW.
Ia menjelaskan masih akan dikaji lebih dalam lagi potensi sampah di Padang, nantinya jika kajian serta survei telah selesai maka akan dibantu oleh pemerintah membangun PLTSa.
"Kan kalau kotanya bersih, akan banyak turis mampir ke sini, imbasnya perekonomian juga turut naik kan, " kata Arcandra.
Tarif jual listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) tergantung dari jumlah volume atau besaran sampah yang dimiliki yang akan menentukan harga. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) penggunaan formula penentuan tarif listrik PLTSa sebagai pengganti harga patokan untuk energi baru terbarukan (feed in tarif).Selain tergantung dari jumlah sampah yang dapat diolah, kemampuan Pemda dalam biaya pengelolaan sampah per meter kubik (tipping fee) di daerahnya juga menentukan besaran harga jual listrik dari PLTSa.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan pernah meminta kepada pemerintah daerah (pemda) memberikan kelonggaran pada aturan tipping fee demi mendorong upaya pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Tipping fee sendiri adalah biaya yang dikeluarkan sebagai anggaran pemerintah kepada pengelola sampah, berdasarkan jumlah yang dikelola per ton atau satuan volume meter kubik (m3).
Jonan menegaskan bahwa isu sampah kota bukan merupakan isu utama energi, melainkan isu lingkungan.
"Ini bukan isu energi yang dipertanggungjawabkan kepada kami sebagai penanggung jawab sektor. Sampah ini lebih kepada isu daerah, isu lingkungan," tegas Jonan.
Kementerian ESDM, imbuh Jonan, berkontribusi atas pengelolaan sampah pada bagian pengaturan harga jual listrik PLTSa dan menugaskan Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pembeli listrik.
Atas dasar tersebut, Jonan meminta kepada pemda untuk lebih proaktif dalam mengelola sampah. Apabila berkenan membangun pembangkit listrik berbasis sampah, Jonan berharap pemda setempat memberikan kelonggaran pada aturan tipping fee.
Baca juga: Sampah kota besar mampu hasilkan listrik 2.000 MW
"Kalau pasokan sampahnya 600 ton per hari itu banyak sekali, diolah jadi listrik bisa mencapai 5 MW, tapi nanti kita lihat dulu jenis sampahnya seperti apa, biasanya kalau perkotaan akan sama dengan lainnya," kata Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar di Padang, Jumat.
Usai menghadiri peresmian lampu Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya (PJU TS) di Universitas Andalas, Padang ia menjelaskan bahwa kalau kebutuhan per rumah sekitar 1000 watt maka akan terbagi dalam jumlah banyak dari 5 MW.
Ia menjelaskan masih akan dikaji lebih dalam lagi potensi sampah di Padang, nantinya jika kajian serta survei telah selesai maka akan dibantu oleh pemerintah membangun PLTSa.
"Kan kalau kotanya bersih, akan banyak turis mampir ke sini, imbasnya perekonomian juga turut naik kan, " kata Arcandra.
Tarif jual listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) tergantung dari jumlah volume atau besaran sampah yang dimiliki yang akan menentukan harga. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) penggunaan formula penentuan tarif listrik PLTSa sebagai pengganti harga patokan untuk energi baru terbarukan (feed in tarif).Selain tergantung dari jumlah sampah yang dapat diolah, kemampuan Pemda dalam biaya pengelolaan sampah per meter kubik (tipping fee) di daerahnya juga menentukan besaran harga jual listrik dari PLTSa.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan pernah meminta kepada pemerintah daerah (pemda) memberikan kelonggaran pada aturan tipping fee demi mendorong upaya pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Tipping fee sendiri adalah biaya yang dikeluarkan sebagai anggaran pemerintah kepada pengelola sampah, berdasarkan jumlah yang dikelola per ton atau satuan volume meter kubik (m3).
Jonan menegaskan bahwa isu sampah kota bukan merupakan isu utama energi, melainkan isu lingkungan.
"Ini bukan isu energi yang dipertanggungjawabkan kepada kami sebagai penanggung jawab sektor. Sampah ini lebih kepada isu daerah, isu lingkungan," tegas Jonan.
Kementerian ESDM, imbuh Jonan, berkontribusi atas pengelolaan sampah pada bagian pengaturan harga jual listrik PLTSa dan menugaskan Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pembeli listrik.
Atas dasar tersebut, Jonan meminta kepada pemda untuk lebih proaktif dalam mengelola sampah. Apabila berkenan membangun pembangkit listrik berbasis sampah, Jonan berharap pemda setempat memberikan kelonggaran pada aturan tipping fee.
Baca juga: Sampah kota besar mampu hasilkan listrik 2.000 MW
Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019
Tags: