Artikel
Isu pangan dan energi pada era industri 4.0
21 Februari 2019 16:56 WIB
Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kanan) disaksikan Ketua KPU Arief Budiman (tengah) bersiap mengikuti debat capres 2019 putaran kedua di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019). Debat kedua yang hanya diikuti capres tanpa wapresnya itu mengangkat tema energi dan pangan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta infrastruktur. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.)
Purwokerto (ANTARA News) - Isu pangan dan energi termasuk dalam tema yang dibahas pada debat putaran kedua calon presiden, beberapa waktu yang lalu.
Kedua isu tersebut memang sangat menarik untuk dikupas tuntas karena memiliki kedekatan yang erat dengan kehidupan masyarakat di Tanah Air.
Pangan merupakan kebutuhan pokok utama masyarakat. Sektor pangan yang kokoh akan menjadi pertahanan utama suatu negara.
Tentunya semua pihak berharap bahwa ketahanan dan kedaulatan pangan terus meningkat di negeri yang sangat subur ini sehingga nantinya memberikan dampak terhadap sektor lainnya, mulai dari ekonomi, kesehatan, hingga kualitas hidup masyarakat Indonesia.
Untuk mewujudkan hal tersebut tentu memerlukan kerja keras bersama seluruh komponen bangsa, mulai dari pemerintah, akademisi, industri petani, dan juga masyarakat.
Namun, bagaimanakah upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan secara sistematis dan terintegrasi?
Akademisi dari Universitas Nahdlatul Ulama Purwokerto Kavadya Syska mengatakan ada sekitar enam aspek yang diperlukan untuk meningkatkan ketahanan pangan secara sistematis dan terintegrasi. Sebanyak enam aspek itu, antara lain regulasi, peningkatan ketersediaan bahan pangan, peningkatan daya saing produk, peningkatan kompetensi sumber daya manusia, sistem informasi pangan secara dalam jaringan, dan bank pangan.
Kavadya Syska yang juga Koordinator Program Studi Teknologi Pangan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Purwokerto itu, mengatakan regulasi yang dimaksud adalah yang mendukung sektor pangan, baik ke dalam negeri untuk meningkatkan ketahanan pangan maupun ke luar negeri untuk mendukung salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) tanpa kelaparan dan SGDs pendukung lainnya.
Peningkatan ketersediaan bahan pangan dapat ditempuh dengan modernisasi teknologi pertanian sesuai lokasi mulai dari pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan tanaman, pemanenan, pascapanen, pengolahan hasil, pengemasan, penggudangan, dan transpostasi.
Hal lain yang juga penting adalah menjamin mutu produk pangan berdaya saing mulai dari proses pascapanen hingga akhir.
Selain itu memastikan pengembangan produk berbasis kebutuhan pasar, baik lokal maupun ekspor, yang juga disertai dengan program pengembangan pangan lokal.
Yang keempat adalah peningkatan kompetensi sumber daya manusia melalui sertifikasi keahlian untuk kegiatan pertanian dari on-farm hingga off-farm.
Sertifikasi ini untuk menjamin produk dapat bersaing karena dikerjakan oleh tenaga terlatih.
Untuk mewujudkannya, peran bersama antara perguruan tinggi dan industri serta dukungan pemerintah sangat diperlukan.
Hal yang kelima adalah pengembangan sistem informasi daring sektor pangan yang akuntabel, transparan, dan mudah diakses oleh pengguna mulai dari petani, pedagang, penyedia alat mesin pertanian, penyedia sarana produksi pertanian, pemerintah, dan pihak lainnya yang terkait.
"Roh dari sistem ini adalah memudahkan semua pihak dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan pangan yang lebih baik," katanya.
Yang keenam, perlunya bank khusus untuk mendukung unit usaha berbasis pangan guna mempermudah akses pendanaan dengan skema khusus atau bank yang sudah ada meluncurkan skema khusus untuk permodalan yang terkait dengan kegiatan pangan.
"Melalui berbagai upaya tersebut diharapkan mendorong eksistensi Indonesia di mata dunia melaui SDGs tanpa kelaparan. Selain itu, Indonesia juga diharapkan mampu dapat bersaing di era revolusi industri 4.0 pada aspek pangan," katanya.
Energi Terbarukan
Isu energi yang juga menjadi salah satu tema dalam debat putran kedua calon presiden, tidak akan lepas dari bahasan energi baru dan terbarukan yang perlu terus dikembangkan secara efektif dan efisien. Tujuan utamanya untuk terus meningkatnya ketahanan energi, kemandirian energi, dan kemandirian teknologi energi yang berdampak terhadap kualitas lingkungan yang bersih dan memberikan dampak peningkatan ekonomi rakyat.
Peneliti dari Universitas Jenderal Soedirman, Ropiudin, menyebutkan ada sejumlah hal yang perlu dilakukan terkait dengan pengembangan energi baru dan terbarukan.
Pertama, perlunya regulasi yang mendukung energi baru dan terbarukan serta peningkatan energi terbarukan pada bauran energi. Ropiudin yang juga Sekretaris Pusat Penelitian dan Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (P3EBT), LPPM Universitas Jenderal Soedirman tersebut, juga mengatakan perlu peningkatan insentif pada riset dan pengembangan teknologi energi terbarukan.
Selain itu, perlu peningkatan SDM energi dan sertifikasi bidang energi sebagai kompetensi SDM bidang energi pada pendidikan kejuruan, pendidikan vokasi/sarjana terapan, dan pendidikan tinggi lainnya mulai jenjang S1, S2, dan S3.
Selain itu, perlu peningkatan edukasi energi terbarukan, sistem informasi daring terkait dengan energi terbarukan, akses ketersediaan potensi, teknologi, hingga edukasi energi.
"Selain itu perlu juga skema khusus pada perbankan untuk pengembangan dan penerapan energi terbarukan," katanya.
Berbagai aspek tersebut muaranya ketahanan dan kedaulatan energi di Tanah Air.
Selain itu, memberikan dampak pada tujuan pembangunan berkelanjutan (SGDs) energi terjangkau dan berkelanjutan serta mendukung program perjanjian mekanisme pembangunan bersih atau clean development mechanism (CDM).
Pada akhirnya, Indonesia akan mampu bersaing pada era revolusi industri 4.0 pada sisi energi.
Diperlukan kebersamaan dan peran aktif semua pihak dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan energi, demi Indonesia yang makin berdaya saing.*
Baca juga: "Urban Farming" solusi ketahanan pangan di Surabaya
Baca juga: Impor beras disebut terjadi karena data tak valid
Kedua isu tersebut memang sangat menarik untuk dikupas tuntas karena memiliki kedekatan yang erat dengan kehidupan masyarakat di Tanah Air.
Pangan merupakan kebutuhan pokok utama masyarakat. Sektor pangan yang kokoh akan menjadi pertahanan utama suatu negara.
Tentunya semua pihak berharap bahwa ketahanan dan kedaulatan pangan terus meningkat di negeri yang sangat subur ini sehingga nantinya memberikan dampak terhadap sektor lainnya, mulai dari ekonomi, kesehatan, hingga kualitas hidup masyarakat Indonesia.
Untuk mewujudkan hal tersebut tentu memerlukan kerja keras bersama seluruh komponen bangsa, mulai dari pemerintah, akademisi, industri petani, dan juga masyarakat.
Namun, bagaimanakah upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan secara sistematis dan terintegrasi?
Akademisi dari Universitas Nahdlatul Ulama Purwokerto Kavadya Syska mengatakan ada sekitar enam aspek yang diperlukan untuk meningkatkan ketahanan pangan secara sistematis dan terintegrasi. Sebanyak enam aspek itu, antara lain regulasi, peningkatan ketersediaan bahan pangan, peningkatan daya saing produk, peningkatan kompetensi sumber daya manusia, sistem informasi pangan secara dalam jaringan, dan bank pangan.
Kavadya Syska yang juga Koordinator Program Studi Teknologi Pangan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Purwokerto itu, mengatakan regulasi yang dimaksud adalah yang mendukung sektor pangan, baik ke dalam negeri untuk meningkatkan ketahanan pangan maupun ke luar negeri untuk mendukung salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) tanpa kelaparan dan SGDs pendukung lainnya.
Peningkatan ketersediaan bahan pangan dapat ditempuh dengan modernisasi teknologi pertanian sesuai lokasi mulai dari pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan tanaman, pemanenan, pascapanen, pengolahan hasil, pengemasan, penggudangan, dan transpostasi.
Hal lain yang juga penting adalah menjamin mutu produk pangan berdaya saing mulai dari proses pascapanen hingga akhir.
Selain itu memastikan pengembangan produk berbasis kebutuhan pasar, baik lokal maupun ekspor, yang juga disertai dengan program pengembangan pangan lokal.
Yang keempat adalah peningkatan kompetensi sumber daya manusia melalui sertifikasi keahlian untuk kegiatan pertanian dari on-farm hingga off-farm.
Sertifikasi ini untuk menjamin produk dapat bersaing karena dikerjakan oleh tenaga terlatih.
Untuk mewujudkannya, peran bersama antara perguruan tinggi dan industri serta dukungan pemerintah sangat diperlukan.
Hal yang kelima adalah pengembangan sistem informasi daring sektor pangan yang akuntabel, transparan, dan mudah diakses oleh pengguna mulai dari petani, pedagang, penyedia alat mesin pertanian, penyedia sarana produksi pertanian, pemerintah, dan pihak lainnya yang terkait.
"Roh dari sistem ini adalah memudahkan semua pihak dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan pangan yang lebih baik," katanya.
Yang keenam, perlunya bank khusus untuk mendukung unit usaha berbasis pangan guna mempermudah akses pendanaan dengan skema khusus atau bank yang sudah ada meluncurkan skema khusus untuk permodalan yang terkait dengan kegiatan pangan.
"Melalui berbagai upaya tersebut diharapkan mendorong eksistensi Indonesia di mata dunia melaui SDGs tanpa kelaparan. Selain itu, Indonesia juga diharapkan mampu dapat bersaing di era revolusi industri 4.0 pada aspek pangan," katanya.
Energi Terbarukan
Isu energi yang juga menjadi salah satu tema dalam debat putran kedua calon presiden, tidak akan lepas dari bahasan energi baru dan terbarukan yang perlu terus dikembangkan secara efektif dan efisien. Tujuan utamanya untuk terus meningkatnya ketahanan energi, kemandirian energi, dan kemandirian teknologi energi yang berdampak terhadap kualitas lingkungan yang bersih dan memberikan dampak peningkatan ekonomi rakyat.
Peneliti dari Universitas Jenderal Soedirman, Ropiudin, menyebutkan ada sejumlah hal yang perlu dilakukan terkait dengan pengembangan energi baru dan terbarukan.
Pertama, perlunya regulasi yang mendukung energi baru dan terbarukan serta peningkatan energi terbarukan pada bauran energi. Ropiudin yang juga Sekretaris Pusat Penelitian dan Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (P3EBT), LPPM Universitas Jenderal Soedirman tersebut, juga mengatakan perlu peningkatan insentif pada riset dan pengembangan teknologi energi terbarukan.
Selain itu, perlu peningkatan SDM energi dan sertifikasi bidang energi sebagai kompetensi SDM bidang energi pada pendidikan kejuruan, pendidikan vokasi/sarjana terapan, dan pendidikan tinggi lainnya mulai jenjang S1, S2, dan S3.
Selain itu, perlu peningkatan edukasi energi terbarukan, sistem informasi daring terkait dengan energi terbarukan, akses ketersediaan potensi, teknologi, hingga edukasi energi.
"Selain itu perlu juga skema khusus pada perbankan untuk pengembangan dan penerapan energi terbarukan," katanya.
Berbagai aspek tersebut muaranya ketahanan dan kedaulatan energi di Tanah Air.
Selain itu, memberikan dampak pada tujuan pembangunan berkelanjutan (SGDs) energi terjangkau dan berkelanjutan serta mendukung program perjanjian mekanisme pembangunan bersih atau clean development mechanism (CDM).
Pada akhirnya, Indonesia akan mampu bersaing pada era revolusi industri 4.0 pada sisi energi.
Diperlukan kebersamaan dan peran aktif semua pihak dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan energi, demi Indonesia yang makin berdaya saing.*
Baca juga: "Urban Farming" solusi ketahanan pangan di Surabaya
Baca juga: Impor beras disebut terjadi karena data tak valid
Pewarta: Wuryanti Puspitasari
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019
Tags: