Sebagaimana dikutip dari laman www.historytoday.com, tidak hanya dari lingkungan rohaniwan, kritik terhadap pembangunan jalur kereta bawah tanah di ibu kota Inggris kala itu, juga datang dari beragam pihak.
Misalnya ada yang memprediksi bahwa atap terowongan di jalur bawah tanah akan runtuh sehingga menimpa para penumpang kereta atau ada yang menuding bahwa orang akan tersedak karena asap kereta.
Proyek jalur kereta bawah tanah pertama dimulai pada 1860, ketika Metropolitan Railway mulai membangun terowongan lebih dari tiga mil (sekitar lima kilometer) dari daerah Paddington ke Farringdon Street.
Pembiayaan proyek tersebut dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintahan Kota London yang sedang berupaya keras mencari solusi kemacetan lalu lintas dengan banyaknya kereta kuda yang lalu lalang di jalan raya London.
Gagasan untuk mewujudkan jalur bawah tanah, terutama terus didorong oleh Pengacara Kota London, Charles Pearson. Pria kelahiran 1793 itu, berupaya melobi berbagai pihak agar Pemkot London mau menggelontorkan anggaran pembangunan jalur kereta bawah tanah tersebut.
Usaha keras yang dilakukan Pearson membuahkan hasil, meski mantan Anggota DPR Inggris itu wafat pada 1862, beberapa bulan sebelum pengoperasian kereta bawah tanah di London.
Tanggal 9 Januari 1863 sebagai hari yang bersejarah, karena jalur itu secara resmi dinyatakan selesai dibuat dan dirayakan oleh berkumpulnya eksekutif perusahaan kereta, anggota parlemen, hingga Wali Kota London.
Perdana Menteri Inggris Raya saat itu, Lord Palmerston, menolak menghadiri acara itu. Alasannya, pada usia 79 tahun, dia ingin berada di atas tanah sebisa mungkin ("at 79 he wanted to stay above ground as long as he could").
Keesokan harinya atau tepatnya 10 Januari 1863, jalur kereta bawah tanah itu dibuka untuk umum pertama kalinya. Lebih dari 30.000 orang berdesak-desakan untuk mencobanya.
Baca juga: Pengamat sebut MRT efektif kendati kebijakan terlambat
Baca juga: Presiden pastikan MRT Jakarta beroperasi Maret 2019
Kejayaan Teknik
Pemberitaan yang muncul di sejumlah media memuji pembukaan kereta itu, bahkan The Times menyebutnya sebagai, "The Great Engineering Triumph of The Day" (Kejayaan teknik masa kini).
Pada tahun pertama pengoperasiannya, jalur kereta bawah tanah atau Metropolitan Railway diketahui dapat membawa hingga lebih dari sembilan juta penumpang per tahun.
Pada 1890, jalur kereta bawah tanah yang menggunakan aliran listrik, yaitu City & South London Railway, untuk pertama kalinya dibuka.
Oleh karena jalur bawah tanah itu berbentuk seperti tabung atau "tubular" dalam bahasa Inggris, maka hingga kini kereta bawah tanah di Inggris kerap disebut "Tube".
Pengoperasian Metropolitan Railway berdampak banyak, seperti perluasan wilayah London hingga daerah suburban di sepanjang jalur kereta bawah tanah tersebut.
Bahkan, tercatat hal itu juga menjadi salah satu faktor bertambahnya populasi London dari sekitar tiga juta orang pada tahun 1861 menjadi 6,2 juta orang pada 1901. Pembangunan jalur kereta bawah tanah juga menyebar ke negara lain. Di Eropa, kereta bawah tanah mulai dibangun, seperti di Budapest, Hungaria pada 1896, di Glasgow, Skotlandia (1896), dan di Paris, Prancis (1900).
Tidak hanya di benua Eropa, kereta bawah tanah juga menyeberang lautan Atlantik hingga benua Amerika, seperti New York City (sejak 1904) dan Buenos Aires, Argentina (sejak 1913).
Tentu saja, kemajuan juga meluas ke berbagai negara di Asia. Di benua tersebut, jalur kereta bawah tanah, antara lain muncul di Tokyo (sejak 1927) dan Beijing (sejak 1969).
Di samping sistem jalur bawah tanah tertua terdapat di The London Underground. Pada saat ini rute terpanjang terdapat di Shanghai Metro (676 kilometer) dan rute tersibuk Beijing Subway (membawa rata-rata 10,35 juta penampung per hari).
Jalur kereta bawah tanah yang memiliki stasiun terbanyak hingga saat ini tercatat New York City Subway dengan 472 stasiun.
Kawasan ASEAN
Bagaimana halnya dengan kawasan Asia Tenggara? Dalam laman http://livingasean.com/explore/asean-metro/ dijabarkan sejumlah negara ASEAN yang memiliki jalur kereta bawah tanah.
Di Singapura, disebutkan jaringan kereta listrik di negara pulau tersebut sangat efisien. MRT Singapura mulai beroperasi 7 November 1987, dan saat ini memiliki 184 stasiun serta rata-rata membawa tiga juta penumpang lebih per hari.
Di Bangkok, Thailand, pembangunan jalur kereta listrik dilakukan pemerintahan setempat untuk mengatasi kemacetan parah di kota tersebut. MRT Bangkok mulai beroperasi 3 Juli 2004 dan saat ini memiliki 35 stasiun serta rata-rata membawa 420 ribu penumpang per hari.
Baca juga: Menjajal BTS Skytrain dan MRT Bangkok di Thailand
Di Kuala Lumpur, Malaysia, selain MRT yang baru dibuka pada 2016, terdapat pula KL Monorail yang beroperasi sejak 31 Agustus 2003, serta memiliki 11 stasiun dan rata-rata membawa lebih dari 63 ribu penumpang per hari.
Baca juga: Menjajal MRT di Kuala Lumpur
Terkait dengan pembangunan MRT di Singapura, ada kisah menarik bahwa Menteri Komunikasi (kini Menteri Transportasi) Singapura Ong Teng Cheong harus berdebat keras di kabinet pemerintahan Singapura pada 1980, guna mendapatkan persetujuan pemerintah untuk membangun MRT.
Ong Teng Cheong menyatakan bahwa "The last thing we want to do is to squander away our hard-earned reserves and leave behing enormous debt for our children and our grandchildren. Now since we are sure that this is not going to be the case, we`ll proceed with the MRT". (Hal terakhir yang seharusnya kita lakukan adalah menghambur-hamburkan pendapatan hasil jerih payah kita dan meninggalkan beban yang berat bagi anak-anak dan cucu kita. Karena tidak ingin melakukannya, kita akan melanjutkan membangun MRT).
Perdebatan itu tercetus karena kala itu, isu MRT masih kontroversial. Penolakan datang antara lain dari Menteri Keuangan Goh Keng Swee yang keberatan karena biaya yang dibutuhkan mencapai lima triliun dolar Singapura.
Selain itu, sejumlah tim spesialis dari Universitas Harvard juga merekomendasikan bahwa sistem bus saja dinilai sudah memadai pada 1990-an dan hanya menghabiskan beban biaya sekitar 50 persen dari sistem berbasis kereta seperti MRT.
Perdebatan itu disiarkan langsung televisi nasional Singapura pada September 1980. Siaran langsung saat itu masih menjadi hal langka.
Akhirnya, pemerintah Singapura memutuskan tetap membangun MRT. Hingga saat ini, MRT Singapura dapat disebut salah satu yang terbaik di dunia.
Wisatawan yang berkunjung ke "Negeri Singa" itu juga merasakan kenyamanan berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya, hanya dengan menggunakan MRT.
Tidak hanya dengan MRT, moda transportasi tersebut juga terintegrasi dengan sangat baik, misalnya dengan jalur bus kota hingga kawasan pejalan kaki.
MRT Jakarta
Sejarah MRT Jakarta adalah dengan berdirinya PT MRT Jakarta pada 17 Juni 2008, di mana saham mayoritasnya dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Sebagaimana tercantum dalam laman www.jakartamrt.co.id, PT MRT Jakarta memiliki ruang lingkup kegiatan, di antaranya untuk pengusahaan dan pembangunan prasarana dan sarana MRT, pengoperasian dan perawatan prasarana-sarana MRT, serta pengembangan dan pengelolaan properti/bisnis di stasiun dan kawasan sekitarnya.
Disebutkan pula bahwa rencana pembangunan MRT di Jakarta sudah dirintis sejak 1985, tetapi ketika itu proyek MRT belum dinyatakan sebagai proyek nasional.
Barulah 20 tahun kemudian, Presiden RI ketika itu menegaskan bahwa proyek MRT Jakarta merupakan proyek nasional sehingga pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta mulai bergerak dan saling berbagi tanggung jawab. Pencarian dana disambut oleh Pemerintah Jepang yang bersedia memberikan pinjaman.
Baca juga: Jokowi: Butuh keberanian bangun transportasi massal
Pada 28 November 2006 penandatanganan persetujuan pembiayaan Proyek MRT Jakarta dilakukan Gubernur Japan Bank for International Cooperation (JBIC) Kyosuke Shinozawa dan Duta Besar Indonesia untuk Jepang Yusuf Anwar.
JBIC pun mendesain dan memberikan rekomendasi studi kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Telah disetujui pula kesepakatan antara JBIC dan Pemerintah Indonesia untuk menunjuk satu badan menjadi satu pintu pengorganisasian penyelesaian proyek MRT.
Baca juga: MRT si saudara muda, peluru baru transportasi Jakarta
Proyek MRT Jakarta dimulai dengan pembangunan jalur MRT Fase I sepanjang 16 kilometer dari Terminal Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel Indonesia yang memiliki 13 stasiun berikut satu Depo.
Untuk meminimalisasi dampak pembangunan fisik Fase I, selain menggandeng konsultan manajemen lalu lintas, PT MRT Jakarta juga memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Pengoperasian fase I akan dimulai pada 2019.
Dalam laman resmi tersebut juga disebutkan bahwa pembangunan jalur MRT Fase I akan menjadi awal sejarah pengembangan jaringan terpadu dari sistem MRT yang merupakan bagian dari sistem transportasi massal DKI Jakarta pada masa yang akan datang.
Berbagai pihak di Tanah Air juga mengharapkan MRT Jakarta berjalan lancar sehingga dapat ditiru berbagai daerah lainnya di Nusantara.
Diharapkan juga dapat menjadi salah satu jalur kereta terbaik di seantero global.
Baca juga: Perlunya kesungguhan menerapkan TOD dalam MRT Jakarta
Baca juga: Ini kata pengamat tentang konsep MRT yang benar
Baca juga: Konsultan properti: penerapan TOD bisa menambah pemasukan MRT