Penulis: Indonesia benteng terakhir industri rokok global
20 Februari 2019 16:31 WIB
Petugas bea cukai mengamati proses produksi rokok di salah satu industri rokok di Tulungagung, Jawa Timur, Rabu (31/5/2017). Industri rokok global menyasar Indonesia juga karena memiliki populasi besar, yaitu 256 juta jiwa, dengan tingkat pendidikan rendah dan diperkirakan 70 persen populasi adalah perokok. (ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko)
Jakarta (ANTARA News) - Penulis buku "A Giant Pack of Lies, Bongkah Raksasa Kebohongan: Menyorot Kedigdayaan Industri Rokok di Indonesia" Mardiyah Chamim mengatakan Indonesia merupakan benteng terakhir bagi industri rokok global.
"Hampir semua negara di dunia sudah mengambil langkah perlindungan kesehatan publik yang membatasi gerak industri rokok," kata Mardiyah dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu.
Direktur Eksekutif Tempo Institute itu mengatakan industri rokok global menyasar Indonesia juga karena memiliki populasi besar, yaitu 256 juta jiwa, dengan tingkat pendidikan rendah dan diperkirakan 70 persen populasi adalah perokok.
Selain itu, pemerintah Indonesia dinilai lemah dan gampang dipengaruhi oleh kepentingan modal. Bahkan kampanye kesehatan yang mengacu pada standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diubah demi kepentingan pemilik modal.
"Pernah ada kampanye kesehatan di Indonesia tentang gaya hidup sehat standar WHO. Menurut standar WHO, gaya hidup sehat salah satunya tidak merokok, tetapi kampanye di Indonesia soal merokok jadi hilang," kata wartawan senior Tempo itu.
Selain pemerintah yang lemah, politisi Indonesia juga dinilai mudah dibeli. Mardiyah mencontohkan soal ayat tentang tembakau sebagai zat adiktif yang sempat hilang dari Undang-Undang Kesehatan.
"Di tubuh undang-undang, ayat tentang tembakau hilang. Namun, politisi yang menghilangkan ayat itu lupa menghilangkan dari bagian penjelasan," katanya.
Mardiyah menjadi salah satu pembicara dalam diskusi "Campur Tangan Diktator Terselubung Dalam Politik" yang diadakan Social Movement Institute.
Selain Mardiyah, pembicara lainnya adalah pegiat Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani dan praktisi komunikasi Paramita Mohamad.
Baca juga: Kepala daerah diminta lindungi warganya dari bahaya rokok
Baca juga: YLKI duga industri rokok intervensi kebijakan cukai
"Hampir semua negara di dunia sudah mengambil langkah perlindungan kesehatan publik yang membatasi gerak industri rokok," kata Mardiyah dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu.
Direktur Eksekutif Tempo Institute itu mengatakan industri rokok global menyasar Indonesia juga karena memiliki populasi besar, yaitu 256 juta jiwa, dengan tingkat pendidikan rendah dan diperkirakan 70 persen populasi adalah perokok.
Selain itu, pemerintah Indonesia dinilai lemah dan gampang dipengaruhi oleh kepentingan modal. Bahkan kampanye kesehatan yang mengacu pada standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diubah demi kepentingan pemilik modal.
"Pernah ada kampanye kesehatan di Indonesia tentang gaya hidup sehat standar WHO. Menurut standar WHO, gaya hidup sehat salah satunya tidak merokok, tetapi kampanye di Indonesia soal merokok jadi hilang," kata wartawan senior Tempo itu.
Selain pemerintah yang lemah, politisi Indonesia juga dinilai mudah dibeli. Mardiyah mencontohkan soal ayat tentang tembakau sebagai zat adiktif yang sempat hilang dari Undang-Undang Kesehatan.
"Di tubuh undang-undang, ayat tentang tembakau hilang. Namun, politisi yang menghilangkan ayat itu lupa menghilangkan dari bagian penjelasan," katanya.
Mardiyah menjadi salah satu pembicara dalam diskusi "Campur Tangan Diktator Terselubung Dalam Politik" yang diadakan Social Movement Institute.
Selain Mardiyah, pembicara lainnya adalah pegiat Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani dan praktisi komunikasi Paramita Mohamad.
Baca juga: Kepala daerah diminta lindungi warganya dari bahaya rokok
Baca juga: YLKI duga industri rokok intervensi kebijakan cukai
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019
Tags: