Oleh Panca Hari Prabowo Jakarta (ANTARA News) - Duet kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sejarah lima tahunannya kembali bergulir pada 7 Oktober 2007 saat Fauzi Bowo dan Prijanto resmi menduduki posisi "DKI-1" dan "DKI-2". Fauzi Bowo merupakan sosok yang sudah tidak asing lagi di kalangan birokrat DKI Jakarta. Pengabdiannya di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah berjalan lebih dari 30 tahun. Sedangkan, Prijanto merupakan wajah baru di lingkungan birokrat Jakarta, dan ia merupakan perwira tinggi TNI yang telah purna tugas dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal (Mayjen). Meskipun wajah baru, namun bukan berarti Prijanto tak paham soal Jakarta lantaran sejak 1992 Prijanto menghabiskan karir militernya di Jajaran Komando Daerah Militer Jakarta Raya (Kodam Jaya), Markas Besar (Mabes) TNI dan Mabes Angkatan Darat (AD). Tugas dan peran pria kelahiran Ngawi 26 Mei 1951 itu agaknya tak banyak menjadi sorotan publik, terlebih dari publisitas pers, namun kedekatannya dengan senior-senior di TNI sampai dengan Presiden Susilo Bambang Yudoyono bukan hal yang asing lagi. Berbekal pemahaman dan pengetahuannya selama berkarir di Jakarta, Prijanto mengaku memberanikan diri menerima tawaran Fauzi Bowo untuk mendampinginya menjadi calon Wakil Gubernur DKI Jakarta dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 8 Agustus 2007. Saat menerima wawancara wartawan ANTARA News di ruang kerja yang baru di Balaikota Jakarta, Senin (1/10), Bang Yan, demikian panggilan akrabnya, hari itu mengenakan pakaian kasual, kemeja putih lengan pendek dipadu celana panjang berwarna gelap. Ia pun memaparkan mimpi-mimpinya tentang kota Jakarta, dan berikut petikan wawancaranya: ANTARA: Jakarta seperti apa yang diimpikan oleh Anda selama ini? Prijanto: Jakarta itu ibukota negara. Tentu harus lebih baik dari provinsi lain. Sedangkan dalam tataran regional maupun internasional, Jakarta juga harus setaraf dengan kota-kota besar yang ada di negara lain. ANTARA: Bentuknya seperti apa? Prijanto: Pertama, Jakarta harus aman, masyarakatnya tenang dalam melaksanakan aktivitasnya. Kedua, Jakarta harus bersih, tertata dengan indah, tertib masyarakatnya di antaranya dalam hal berlalu lintas. Dan, terakhir, saya ingin masyarakat Jakarta sejahtera, sehat rohani dan jasmani serta kecukupan sandang dan pangan. Itu yang saya impikan. Cukup lama membina karir di bidang militer, membuat Prijanto sangat perhatian pada perilaku masyarakat dalam mewujudkan rasa disiplin dan tanggung jawab terhadap kepentingan bersama. "Nilai-nilai" luhur yang terkandung dalam Pancasila merupakan dasar pijakan untuk mewujudkan masyarakat Jakarta yang memiliki rasa tanggungjawab kepada lingkungan dan wilayahnya. ANTARA: Apa maksud dari nilai-nilai luhur itu? Prijanto: Saya ingin ada perilaku seperti yang dulu diajarkan di sekolah, yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Di sana ada budaya tenggang rasa dan hormat menghormati, rasa kebersamaan, gotong royong dan lain-lain. ANTARA: Apakah masyarakat Jakarta sekarang sudah meninggalkan nilai-nilai itu? Prijanto: Saya tidak mengatakan bahwa rakyat Jakarta demikian, tapi cita-cita saya atas masyarakat Jakarta seperti itu. Memang secara kasuistis saya masih melihat ada kelompok-kelompok masyarakat yang sudah mulai mengesampingkan hal itu (kebersamaan dan tenggang rasa). Contoh dalam berlalu lintas, sesama pengguna jalan ada yang tidak mau mengalah, merasa paling benar dan mengabaikan kendaraan lain di sekitarnya. Saya mengharapkan agar masyarakat Jakarta ini memiliki moral yang baik, menempatkan moral sebagai panglima dalam berperilaku dan bertindak. Prijanto kemudian mencontohkan pengalamannya melihat ketidakpedulian sebagian warga Jakarta atas kotanya. Ia menceritakan saat melewati sebuah kawasan perumahan dalam perjalanan dari rumahnya di kawasan Otista - Jakarta Timur- menuju Kantor di kawasan Merdeka Selatan, ayah dua anak itu melihat ada penghuni rumah yang cukup mewah tapi justru membuang sampah ke jalanan di depan rumah. Dalam kesempatan lain, ia juga melihat ada warga yang membuang sampah begitu saja di pinggir jalan. Hal ini menunjukkan belum adanya rasa tanggungjawab terhadap lingkungan dan kota. Contoh lainnya, menurut mantan asisten teritorial Kepala Staf TNI ANgkatan Darat (Kasad) itu, banyak juga orang-orang yang seenaknya berdagang atau melakukan aktivitas di tempat yang dilarang sehingga menggangu hak orang atau kelompok masyarakat lain serta membuat keindahan kota juga terganggu. Untuk mengatur itu Pemda membuat Perda Ketertiban Umum. ANTARA: Perda Ketertiban Umum masih kontroversial? Prijanto: Di sinilah saya harapkan peran serta dari kelompok-kelompok masyarakat lainnya sebagai bagian dari tanggungjawab bersama. Yang sudah memahami harus menjelaskan kepada pihak lain yang belum tahu, jadi bukan cuma menjadi tanggungjawab pemerintah provinsi saja untuk menjelaskan itu. ANTARA: Artinya Pemerintah membatasi ruang gerak masyarakat mencari nafkah? Prijanto: Jangan salah tanggap, Pemda tidak melarang orang mencari nafkah, tidak melarang memberikan santunan sosial, yang dilarang oleh pemerintah adalah tempatnya. Contoh sederhananya dalam sebuah rumah tangga, ada ruang tamu, ruang tengah dan dapur, nah kalau ruang tamu dipakai memasak kan tidak pada tempatnya. Betulkan? Karena itu bila ada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah, lihat dulu apa gunanya dan kenapa aturan itu dibuat, jangan belum tahu apa-apa sudah menolak, bersikap sok pahlawan, dengan tameng membela orang miskin tanpa alasan jelas. Padahal, dia sendiri belum tahu apa-apa soal latar belakang Perda itu dibuat. Larangan itu adanya di pasal 25 ayat (2) Raperda Ketertiban Umum. Sedangkan pada ayat (1) jelas terlihat keberpihakan Pemda kepada rakyat kecil. Di situ disebutkan, Gubernur menunjuk/menetapkan bagian-bagian jalan/trotoar dan tempat kepentingan umum lainnya sebagai tempat usaha pedagang kaki lima. Bukankah itu memihak ke orang kecil? ANTARA: Kembali ke soal tawaran Fauzi Bowo, agar Anda bersedia menjadi pendampingnya, alasan paling mendasar apa yang melatar belakangi Anda menerima tawaran itu? Prijanto: Sejujurnya saya melihat ada tantangan yang lebih luas ketika saya menerima tawaran itu, ketimbang saya terus berkarier di militer. Sebagai Wagub, saya bisa lebih banyak berbuat untuk masyarakat. Dan, kalau bisa melakukan sesuatu yang baik untuk masyarakat, bagi saya itu menjadi sebuah kepuasan dan kebanggaan. ANTARA: Anda memiliki latar belakang militer, sekarang akan berkarir dalam jabatan sipil sebagai Wakil Gubernur, bagaimana Anda menyesuaikannya? Prijanto: Sebenarnya tidak ada perbedaan antara kepemimpinan dalam sipil maupun militer. Sipil atau militer itukan semata-mata hanya profesi, tetapi pepimpin ya tetap pemimpin. Artinya, setiap pemimpin dimana saja, azas dan prinsip kepemimpinan yang dimiliki dan digunakan adalah sama. Yang berbeda hanya gaya kepemimpinannya saja. Intinya tetap sama, dalam masyarakat umum banyak ditemukan beraneka ragam karakter. Begitu pula di militer, saya juga menghadapi prajurit yang karakternya berbeda-beda. Memang untuk menangani prajurit, tentu berbeda bila yang dihadapi masyarakat umum, ini yang saya sebut seni kepemimpinan. Selepas SMA tahun 1969 di Ngawi, Jawa Timur, Prijanto hengkang ke Jakarta bersama keluarganya. Di kota metropolitan ini, Prijanto muda tinggal bersama orangtua, pertama kali di kawasan Guntur (dekat Pasar Rumput Jakarta Pusat). Kemudian pindah ke daerah Cipete, Fatmawati Jakarta Selatan. Suami dari Widyastuti Endang itu mengakui masih belajar banyak tentang Jakarta. Untuk itu sejak sepekan sebelum pelantikan, ia terus menyempatkan diri berkunjung ke sejumlah dinas-dinas teknis dan kotamadya. Prijanto berusaha menggali masalah-masalah yang dihadapi Jakarta. Khusus tentang permasalahan sampah, Prijanto melihat sudah saatnya DKI Jakarta memiliki tempat pengolahan sampah yang mampu mengubah paradigma pengelolaan sampah selama ini yang dianggap sebagai "cost centre" menjadi "profit centre", salah satunya membuat Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) yang saat ini di Cilincing sudah mulai uji akhir dan dalam waktu dekat harus segera dapat beroperasi. ANTARA: Setelah mendapat banyak informasi seputar permasalahan Jakarta dari instansi-instansi itu, langkah seperti apa yang akan Anda lakukan untuk Jakarta ke depan? Prijanto: Pemerintah Provinsi akan mengajak warga bersama-sama membangun Jakarta. Kita ciptakan partisipasi masyarakat untuk menyelesaikan masalah-masalah itu. ANTARA: Apakah Anda yakin masyarakat bisa diajak kerjasama? Prijanto: Saya yakin masyarakat Jakarta bisa diajak kerjasama, saya contohkan kewajiban, agar pengguna kendaraan bermotor roda dua harus melalui jalur lambat, hasilnya 95 persen di jalan-jalan tertentu mereka mematuhinya kok walaupun tidak ada polisi. Artinya, masyarakat Jakarta itu masih bisa dibawa ke arah yang benar sepanjang mereka memahami ketentuan itu dengan baik. Intinya adalah bagaimana membangun kesadaran masyarakatnya. ANTARA: Salah satu program dalam kampanye lalu adalah melakukan Reformasi Birokrasi, bagaimana hal itu Anda realisasikan? Prijanto: Begini, dasarnya secara struktural, birokrasi di DKI ini harus dibangun secara efektif dan efesien. Dalam Undang-Undang 29/2007 memberikan isyarat bahwa kita harus melakukan restrukturisasi. Artinya hal-hal yang tidak efektif harus dibenahi, jadi kalau ada yang bisa disatukan dalam satu bagian, kenapa harus dipisah. Itu namanya pemborosan. ANTARA: Bagaimana dengan personal atau pejabatnya, apakah juga bagian dari target reformasi birokrasi? Prijanto: Dari sisi profesionalisme, kita akan menempatkan orang yang tepat dengan kualifikasi tepat. Bukan hanya memahami dan menguasai ilmunya, tapi juga memiliki moral yang baik. Dengan begitu diharapkan pelayanan masyarakat bisa lebih ditingkatkan. Harus juga ditanamkan bahwa pemerintah itu sesungguhnya pelayan masyarakat, bukan orang yang harus dilayani. Selama ini yang saya lihat, sesekali masih ada oknum aparat yang masih suka menekan, menakut-nakuti dan menyakiti hati rakyat, serta berprilaku sebagai bos yang harus dituruti maunya. ANTARA: Dari ratusan bahkan ribuan masalah yang dihadapi Jakarta, dalam pandangan Anda masalah mana yang paling pelik penyelesaiannya. Prijanto: Saya melihat masalah yang paling pelik penyelesaiannya adalah soal kemacetan. Saya selalu berpikir bagaimana cara mengatasi ini. Saya yakin, masalah ini bisa diselesaikan jika masyarakatnya memiliki tenggang rasa. Contohnya, pembangunan koridor busway, awalnya saat proses pembangunan pasti terjadi ketidaknyamanan. Tapi, yakinlah bila itu selesai kita akan kembali normal. Lihatlah Thamrin dan Sudirman, dulu banyak protes menentang pembangunan koridor busway, alasannya menimbulkan kemacetan dan lain-lain. Tapi sekarang justru banyak masyarakat, khususnya yang berkantor di sekitar jalan yang dilalui busway merasa diuntungkan. Itulah buah dari sikap tenggang rasa tadi. ANTARA: Setelah dilantik, apakah Anda akan menjelaskan hal itu kepada masyarakat? Prijanto: Nanti setelah saya dilantik, menghadapi situasi seperti itu yang pertama saya lakukan adalah meminta maaf atas gangguan dalam proses pembangunan. Baru kemudian saya jelaskan pentingnya pembangunan itu bagi orang banyak. Bukan saja untuk orang miskin, tetapi untuk semua lapisan masyarakat. Secara tegas, Fauzi Bowo sudah menyampaikan akan ada program 100 hari yang akan disampaikan usai lebaran. Intinya, peningkatan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat dalam ikut penyelesaian masalah ibukota. ANTARA: Terkait dengan agenda 100 hari pemerintahan Fauzi-Prijanto, apakah Anda siap dievaluasi? Prijanto: Untuk meningkatkan kualitas Jakarta, kita harus siap dievaluasi. Bahkan kita sangat mengharapkan adanya masukan dari kelompok-kelompok masyarakat. Tapi bentuk evaluasi yang kita harapkan harus bersifat konstruktif dan positif, jangan asal "Waton Suloyo" (asal beda saja, atau selalu beranggapan apa pun yang dilakukan pemerintah selalu salah). Selain evaluasi dan masukan, saya juga mengharapkan adanya pengawasan dari masyarakat, terutama terhadap kerja aparat yang ada di bawah. ANTARA: Sosialisasi program dan pencitraan merupakan hal yang sangat penting. Bagaimana membina hubungan dengan masyarakat dan pers untuk melakukan hal itu? Prijanto: Saya akui bila ada masalah dalam sosialisasi kebijakan pasti akibat kurangnya komunikasi. Oleh karenanya, komunikasi memegang peranan penting. Nah, untuk itu media menjadi sarana yang tepat untuk menjembatani dan mengkomunikasikan kebijakan itu kepada masyarakat. Karena itu saya minta media tidak membuat berita yang agitatif atau provokatif sehingga dapat memicu reaksi negatif di masyarakat. Dalam menjelaskan kepada masyarakat itulah, media harus berimbang. Jangan masyarakat dibawa kepada opini yang liar dan dibiarkan mereka menafsirkan sendiri-sendiri. Prijanto sejenak tercenung, pandangannya menerawang ke masa lalu. Ia kemudian bercerita pengalamannya "teragitasi" oleh pemberitaan media massa tentang suatu masalah. Saat itu, 1980-an, pangkatnya masih kapten, bertugas di satu kabupaten di Jawa Tengah. Dalam sebuah kesempatan, ia membaca koran lokal yang memberitakan kesewenang-wenangan bupati dalam menutup proyek galian pasir. Membaca berita "miring" tentang bupati itu, ia kemudian merasa bahwa bupati itu sungguh merugikan rakyat. Namun, sepekan kemudian, ia berkesempatan membaca berita untuk kasus yang sama. Dalam pemberitaan itu disebutkan alasan bupati menutup proyek galian, semata-mata untuk mencegah bahaya banjir. Sontak Prijanto tersentak dan berpikir, seandainya tidak membaca berita yang kedua, maka ia merasa pandangannya terhadap sang bupati akan terus negatif. Artinya, adanya hak jawab, jangan menjadi dalih untuk bisa seenaknya membuat berita negatif tanpa perimbangan berita . Bicara soal Fauzi Bowo, Prijanto meyakini pria tersebut adalah sosok yang sudah mengenal dan paham betul soal Jakarta, selain memiliki ilmu yang pas, Fauzi punya pengalaman panjang di birokrat DKI. ANTARA: Dalam lima tahun yang akan datang Anda akan mendampingi Fauzi Bowo memegang roda pemerintahan ibukota, bagaimana Anda melihat sosok Fauzi Bowo? Prijanto: Fauzi Bowo saat ini bisa diibaratkan dalam TNI sebagai Wakil KASAD. Tentu untuk mencapai kedudukan itu prosesnya panjang dan tidak tiba-tiba menempati posisi itu. Tentu sebelum menduduki posisi itu, seorang Wakasad sudah pernah teruji menjadi Danton, Dankie, Danyon hingga akhirnya meraih posisi Wakasad. ANTARA: Terhadap mantan Gubernur DKI Sutiyoso sendiri bagaimana Anda melihatnya? Prijanto: Dalam kacamata saya, beliau itu pemimpin yang berani. Artinya, berani untuk memimpin, berani mengambil keputusan, berani mengambil tanggung jawab atas keputusan yang dibuatnya. ANTARA: Bicara soal dukungan keluarga atas tugas baru Anda sebagai Wakil Gubernur, seperti apa bentuknya? Prijanto: Hidup itu kan penuh dinamika. Orang bisa lupa, orang bisa berbuat berlebihan tapi juga bisa berbuat positif, agar orang itu tidak mudah terpengaruh hal negatif dari lingkungan mestinya membentengi diri dengan berdoa. Saya dan keluarga Insya Allah tak pernah lepas dari doa. ANTARA: Adakah pesan khusus bagi istri dan anak-anak? Prijanto: Tidak ada pesan khusus, mereka sudah terbiasa sejak dulu. Anak-anak saya sudah paham bagaimana menjaga nama baik keluarga dan nama baik orangtuanya. Siang itu, usai Shalat Dzuhur, pria yang pernah bertugas di Timor Timur pada 1978 itu tiba-tiba teringat pesan dari istri dan anak-anaknya saat melepas dirinya mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. "Istri mengingatkan, agar saya tetap waspada dan jangan terjebak harta, tahta dan wanita. Sedangkan, anak-anak mengingatkan, agar saya bekerja dengan jujur sehingga tidak sampai dipanggil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi," katanya menambahkan. (*)