Makassar (ANTARA News) - Pelaksanaan shalat Idul Fitri 1428 Hijriyah di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, akan terselenggara tiga kali oleh masing-masing jamaah yang berbeda, yakni pada tanggal 11, 12 dan 13 Oktober 2007. Dalam pertemuan di Departemen Agama Kabupaten Gowa, Selasa, terungkap ketiga golongan yang akan menggelar Lebaran secara berbeda-beda itu adalah jamaah An-Natsir (11 Oktober), Muhammadiyah (12 Oktober) dan mereka yang mengikuti ketetapan pemerintah. Dalam pertemuan antara jamaah An-Natzir dan pihak Departemen Agama Gowa, disebutkan bahwa kaum An-Natzir akan melaksanakan shalat Idul Fitri pada Kamis (10/10) berdasarkan gejala-gejala alam. Menurut penanggung jawab An-Natzir, Lukman Andipati, bahwa ketika air laut pasang penuh, maka hal itu pertanda terjadi pergantian bulan Sya`ban. "Air laut pasang terjadi ketika matahari dan bulan berada pada posisi sejajar," jelasnya. Sebab itu, lanjutnya, saat ini pihaknya sangat ingin memantau bulan Sya`ban. Pergantian bulan memasuki bulan Syawal ini diyakini akan terjadi pada Rabu (10/10). "Entah apakah itu terjadi pada siang hari, sore atau malam hari," jelas Lukman, seraya menambahkan bahwa bila itu terjadi pada siang hari, jamaah ini akan segera menggeser (berbuka) puasa. Peristiwa pergantian bulan seperti ini, ujar Lukman, akan diperkuat dengan melihat gejala alam seperti terjadinya pasang air laut. Pasang air laut ini, ujarnya, terjadi akibat adanya daya tarik menarik antara matahari dan bulan yang berada pada posisi sejajar. Akibatnya, shalat Idul Fitri akan dilaksanakan pada Kamis (11/10). Dalam pertemuan itu juga, Lukman menegaskan bahwa kaumnya bukan merupakan ajaran sesat karena selama ini masyarakat yang hidup dengan kaum An-Natzir di sekitar Danau Mawang Kabupaten Gowa ini tidak pernah merasa dirugikan atau ada laporan bahwa penduduk sekitar merasa terganggu dengan kehadiran kaumnya sendiri. Bahkan, lanjutnya, upaya atau ajaran yang dianut kaum ini berusaha untuk mengikuti sunnah Rasul, baik penampilannya seperti rambut yang dicat berwarna kemerah-merahan dan pakaian serta sorban berwarna hitam. Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Gowa, Abu Bakar Paka, mengatakan bahwa perbedaan pelaksanaan shalat Idul Fitri antara Muhammadiyah dan pemerintah ini terletak pada perbedaan metode perhitungan bulan. Dan hal tersebut dinilai bukan merupakan suatu pertentangan dengan agama. Kaum An-Natzir sendiri, kata Umar, mengambil rujukan pada gejala alam yang terlihat seperti ketika terjadi air pasang penuh dimana posisi bulan dan matahari saat itu berada pada posisi sejajar. "Perbedaan ini wajar dan setiap masyarakat tentu menginginkan adanya keseragaman," jelas Abubakar, sambil berharap agar masyarakat tidak perlu resah dengan perbedaan pelaksanaan shalat Idul Fitri ini. (*)