Pengamat: isu "unicorn" bentuk peringatan Prabowo
19 Februari 2019 18:07 WIB
Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kanan) disaksikan Ketua KPU Arief Budiman (tengah) bersiap mengikuti debat capres 2019 putaran kedua di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019). Debat kedua yang hanya diikuti capres tanpa wapresnya itu mengangkat tema energi dan pangan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta infrastruktur. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.)
Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) Zaenal A Budiyono menilai pendanaan usaha untuk start up usaha digital atau unicorn yang diungkapkan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dalam debat Pilpres 2019 putaran kedua, merupakan bentuk peringatan.
Dia menilai Prabowo justru berpikir dua-tiga langkah kedepan terkait pentingnya kewaspadaan mengalirnya kekayaan nasional ke luar negeri.
"Sepintas pernyataan ini terkesan pesimis di tengah booming internet, padahal sebenarnya itu adalah kekhawatiran yang wajar," Zaenal A Budiyono dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Dia menilai di era digitalisasi saat ini, hubungan antara aktivitas ekonomi kreatif dan pemilik sering tidak linear serta banyak studi yang menjelaskan bagaimana startup mainstream di suatu negara tidak serta-merta menyumbang keuntungan maksimal bagi negara tersebut.
Menurut dia apabila unicorn dalam negeri Indonesia dikuasai asing maka imbasnya adalah dalam strategi dan pengembangan pasar, tidak lagi menjadi hak mutlak pengembang, melainkan justru dikendalikan investor.
"Inilah paradoks hukum pasar yang masih eksis hingga hari ini. Namun sikap waspada terhadap raksasa ekonomi luar berbeda dengan xenophobia. Xenophobia sikap anti-asing yang lebih disebabkan sentimen anti perbedaan dan cenderung bersifat irasional," ujarnya.
Zaenal menganalisis tentang pertanyaan unicorn yang dilontarkan Jokowi dalam debat kedua, itu mengulang kembali pilihan diksi "unik" seperti unicorn untuk mengulangi di Pilpres 2014 dengan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID).
Saat itu menurut dia, Prabowo tidak tahu apa itu TPID, karena memang istilah ini tidak populer di media namun saat debat kedua, Prabowo memilih berhati-hati dengan pertanyaan Jokowi yaitu balik bertanya apakah unicorn yang dimaksud adalah terkait online atau startup.
"Artinya dia tahu mengenai unicorn, namun tidak mau terjebak seperti 2014, sehingga mengkonfirmasi ke Jokowi," ujarnya.
Sebelumnya, dalam Debat Capres 2019 Putaran Kedua di Jakarta, Minggu (17/2) calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi) mempertanyakan mengenai pengembangan infrastruktur pendukung bagi "unicorn" atau pendanaan usaha untuk strat up usaha digital.
Jokowi mempertegas pernyataan bahwa diantara tujuh unicorn besar yang ada di Asia empat diantaranya ada di Indonesia.
Ketika akan menanggapi soal unicorn tersebut, capres nomor urut 02 Prabowo Subianto justru kembali bertanya, karena sepertinya kurang paham soal istilah "unicorn" yang dimaksud.
"Unicorn itu apa ya, Yang internet itu ya," tanya Prabowo kepada Jokowi.
Prabowo pun menanggapi bahwa pengurangan regulasi merupakan langkah yang tepat saat ini, mengingat usaha start up digital berkembang sangat pesat di Indonesia, sehingga, regulasi akan dibuat lebih sederhana.
"Saya menyambut baik dinamika bisnis tersebut, ini membuka peluang yang besar bagi kita," kata Prabowo.
Dia menilai Prabowo justru berpikir dua-tiga langkah kedepan terkait pentingnya kewaspadaan mengalirnya kekayaan nasional ke luar negeri.
"Sepintas pernyataan ini terkesan pesimis di tengah booming internet, padahal sebenarnya itu adalah kekhawatiran yang wajar," Zaenal A Budiyono dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Dia menilai di era digitalisasi saat ini, hubungan antara aktivitas ekonomi kreatif dan pemilik sering tidak linear serta banyak studi yang menjelaskan bagaimana startup mainstream di suatu negara tidak serta-merta menyumbang keuntungan maksimal bagi negara tersebut.
Menurut dia apabila unicorn dalam negeri Indonesia dikuasai asing maka imbasnya adalah dalam strategi dan pengembangan pasar, tidak lagi menjadi hak mutlak pengembang, melainkan justru dikendalikan investor.
"Inilah paradoks hukum pasar yang masih eksis hingga hari ini. Namun sikap waspada terhadap raksasa ekonomi luar berbeda dengan xenophobia. Xenophobia sikap anti-asing yang lebih disebabkan sentimen anti perbedaan dan cenderung bersifat irasional," ujarnya.
Zaenal menganalisis tentang pertanyaan unicorn yang dilontarkan Jokowi dalam debat kedua, itu mengulang kembali pilihan diksi "unik" seperti unicorn untuk mengulangi di Pilpres 2014 dengan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID).
Saat itu menurut dia, Prabowo tidak tahu apa itu TPID, karena memang istilah ini tidak populer di media namun saat debat kedua, Prabowo memilih berhati-hati dengan pertanyaan Jokowi yaitu balik bertanya apakah unicorn yang dimaksud adalah terkait online atau startup.
"Artinya dia tahu mengenai unicorn, namun tidak mau terjebak seperti 2014, sehingga mengkonfirmasi ke Jokowi," ujarnya.
Sebelumnya, dalam Debat Capres 2019 Putaran Kedua di Jakarta, Minggu (17/2) calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi) mempertanyakan mengenai pengembangan infrastruktur pendukung bagi "unicorn" atau pendanaan usaha untuk strat up usaha digital.
Jokowi mempertegas pernyataan bahwa diantara tujuh unicorn besar yang ada di Asia empat diantaranya ada di Indonesia.
Ketika akan menanggapi soal unicorn tersebut, capres nomor urut 02 Prabowo Subianto justru kembali bertanya, karena sepertinya kurang paham soal istilah "unicorn" yang dimaksud.
"Unicorn itu apa ya, Yang internet itu ya," tanya Prabowo kepada Jokowi.
Prabowo pun menanggapi bahwa pengurangan regulasi merupakan langkah yang tepat saat ini, mengingat usaha start up digital berkembang sangat pesat di Indonesia, sehingga, regulasi akan dibuat lebih sederhana.
"Saya menyambut baik dinamika bisnis tersebut, ini membuka peluang yang besar bagi kita," kata Prabowo.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019
Tags: