Pengamat: Impor pangan bukan hal yang tabu
19 Februari 2019 10:50 WIB
Illustrasi: Sejumlah pekerja menurunkan beras impor asal Vietnam dari kapal di Pelabuhan Indah Kiat, di Merak, Cilegon, Banten (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi Fithra Faisal Hastiadi mengatakan impor pangan bukan merupakan hal yang tabu, karena dilakukan setiap negara yang terlibat dalam perdagangan internasional.
"Impor itu bukan hal yang tabu. Semua negara pasti impor. Tidak ada negara yang tidak impor karena memang ini mekanisme supply and demand," kata Fithra dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Selasa.
Fithra menjelaskan setiap negara yang melakukan kegiatan perdagangan internasional pasti melakukan impor, meski terjadi perdebatan di Indonesia terkait perbedaan data.
Pengajar FE Universitas Indonesia ini menilai impor masih dilakukan sebagai upaya untuk stabilisasi harga agar tidak mengganggu daya beli masyarakat dan laju inflasi tetap terjaga.
Namun, apabila pemerintah menyatakan terdapat surplus produksi beras sebanyak tiga juta ton pada 2018 dan harga masih mengalami kenaikan, hal itu terjadi karena biaya logistik yang mahal.
"Seharusnya harga sudah bisa stabil dengan sendirinya kalau memang itu bisa didistribusikan dengan baik. Permasalahannya mungkin kita bicara mengenai ongkos logistik yang mahal," katanya.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin mengatakan suatu negara mendapatkan label swasembada apabila memiliki hasil produksi minimal 80 persen dari total kebutuhan.
Jika menilik data produksi beras dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencapai 32,4 juta ton dengan perbandingan konsumsi sebanyak 29,5 juta ton, maka Indonesia sudah surplus hampir tiga juta ton. "Jika melihat itu, Indonesia sekarang swasembada," katanya.
Meski demikian, swasembada pangan bukan berarti tidak melakukan impor, karena dilakukan sebagai upaya untuk mencegah kenaikan harga.
Sebelumnya, isu impor pangan mengemuka dalam debat capres putaran kedua, ketika calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto mempertanyakan impor pangan kepada calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo.
Dalam kesempatan itu, Jokowi menegaskan bahwa impor pangan masih dibutuhkan sebagai cadangan strategis untuk menstabilkan harga atau apabila terjadi gagal panen dan bencana alam.
Baca juga: Jurkamnas Prabowo-Sandi: penurunan impor jagung diikuti peningkatan impor gandum
Baca juga: Rupiah diprediksi menguat dipicu keyakinan kesepakatan perdagangan AS-China
Baca juga: Analis: IHSG rawan terkoreksi, meski "menghijau" seiring bursa Asia
"Impor itu bukan hal yang tabu. Semua negara pasti impor. Tidak ada negara yang tidak impor karena memang ini mekanisme supply and demand," kata Fithra dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Selasa.
Fithra menjelaskan setiap negara yang melakukan kegiatan perdagangan internasional pasti melakukan impor, meski terjadi perdebatan di Indonesia terkait perbedaan data.
Pengajar FE Universitas Indonesia ini menilai impor masih dilakukan sebagai upaya untuk stabilisasi harga agar tidak mengganggu daya beli masyarakat dan laju inflasi tetap terjaga.
Namun, apabila pemerintah menyatakan terdapat surplus produksi beras sebanyak tiga juta ton pada 2018 dan harga masih mengalami kenaikan, hal itu terjadi karena biaya logistik yang mahal.
"Seharusnya harga sudah bisa stabil dengan sendirinya kalau memang itu bisa didistribusikan dengan baik. Permasalahannya mungkin kita bicara mengenai ongkos logistik yang mahal," katanya.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin mengatakan suatu negara mendapatkan label swasembada apabila memiliki hasil produksi minimal 80 persen dari total kebutuhan.
Jika menilik data produksi beras dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencapai 32,4 juta ton dengan perbandingan konsumsi sebanyak 29,5 juta ton, maka Indonesia sudah surplus hampir tiga juta ton. "Jika melihat itu, Indonesia sekarang swasembada," katanya.
Meski demikian, swasembada pangan bukan berarti tidak melakukan impor, karena dilakukan sebagai upaya untuk mencegah kenaikan harga.
Sebelumnya, isu impor pangan mengemuka dalam debat capres putaran kedua, ketika calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto mempertanyakan impor pangan kepada calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo.
Dalam kesempatan itu, Jokowi menegaskan bahwa impor pangan masih dibutuhkan sebagai cadangan strategis untuk menstabilkan harga atau apabila terjadi gagal panen dan bencana alam.
Baca juga: Jurkamnas Prabowo-Sandi: penurunan impor jagung diikuti peningkatan impor gandum
Baca juga: Rupiah diprediksi menguat dipicu keyakinan kesepakatan perdagangan AS-China
Baca juga: Analis: IHSG rawan terkoreksi, meski "menghijau" seiring bursa Asia
Pewarta: Satyagraha
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019
Tags: