Jakarta (ANTARA News) - Sejak awal suasana Debat Capres 2019 Putaran Kedua yang mengusung tema infrastruktur, energi dan pangan serta sumber daya alam dan lingkungan hidup diprediksi akan memanas.

Proyeksi itu terjadi karena beberapa isu menarik terkait tema ekonomi saat ini sedang menjadi pembicaraan masyarakat.

Salah satunya adalah impor pangan yang meningkat selama masa pemerintahan Joko Widodo untuk komoditas beras, jagung dan bahan makanan lainnya.

Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dalam pemaparan visi misi menawarkan strategi baru untuk membangun kemandirian dalam bidang ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kemandirian tersebut, menurut dia, diwujudkan melalui swasembada pangan, energi dan air yang tidak bergantung dari negara lain. Ia pun menjanjikan adanya penurunan harga makanan pokok serta menjamin ketersediaan pangan dalam harga terjangkau.

Prabowo tidak menyebutkan secara jelas upaya untuk swasembada pangan, energi maupun air tersebut, dan hanya menegaskan pentingnya pengamanan sumber ekonomi bangsa.

"Masalah pokok kita, kekayaan tidak tinggal di republik kita. Ini bukan salah siapapun, ini salah kita sebagai bangsa, maka kita sama-sama mencari pemecahan masalah," ujarnya.

Meski demikian, dalam sesi debat inspiratif, Prabowo "menyerang" calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo dengan mempertanyakan impor pangan yang selama ini memukul tingkat kesejahteraan petani.

"Strategi dan falsafah ekonomi kita berbeda, karena kita ingin berdayakan produsen sendiri, kalau sudah kelebihan stok, kenapa mesti mengimpor, itu menjadi masalah," katanya.

Selain itu, revolusi industri 4.0 tanpa disertai oleh kebijakan yang tepat juga bisa menganggu lapangan pekerjaan para petani.

Tanggapan Jokowi

Dalam menanggapi pertanyaan Prabowo, Jokowi mengatakan impor beras yang dilakukan adalah dalam rangka untuk menjaga ketersediaan stok dan cadangan pangan.

Menurut dia, Indonesia harus memiliki cadangan pangan baik untuk bencana atau apabila terjadi kondisi gagal panen.

Kebijakan ini merupakan upaya untuk menjaga ketahanan pangan serta stabilisasi harga agar inflasi bahan makanan tidak melambung tinggi. Dengan demikian, impor tersebut dilakukan bukan karena pasokan dalam negeri yang kurang dan tidak tersedia di lapangan.

Sebagai contoh, Jokowi membanggakan produksi komoditas jagung nasional, yang produksinya melesat selama empat tahun terakhir, meski komoditas ini masih diimpor.

"Pada tahun 2014 kita mengimpor jagung 3,5 juta ton, pada 2018 kita hanya mengimpor 180 ribu ton jagung," kata Jokowi.

Selain itu, produksi beras pada 2018 tercatat mencapai 33 juta ton, dengan konsumsi masyarakat mencapai 29 juta ton, sehingga masih ada surplus pasokan.

Ia menyadari upaya mengurangi impor bukan hal yang mudah dilakukan, karena tidak mungkin menyelesaikan persoalan ini dalam waktu setahun atau dua tahun.

Jokowi juga menyatakan bahwa hal yang paling sulit adalah menjaga keseimbangan tingkat harga agar baik petani di tingkat produsen senang, begitu pula warga sebagai konsumen.

"Memang yang sulit menjaga keseimbangan harga, petani senang konsumen senang. Keseimbangan ini yang harus kita jaga agar dua-duanya mendapatkan keuntungan," ujarnya.

Impor sulit dihindari

Dalam menanggapi debat mengenai impor pangan, pengamat ekonomi Hermanto Siregar menilai kedua calon presiden seharusnya lebih mengelaborasi pembenahan data pangan yang masih bermasalah.

Ia menambahkan juga bahwa kedua capres harusnya menghindari perdebatan impor pangan atau produktivitas pangan karena pasokan saat ini belum memadai.

"Karena kalau masalah impor itu, sebetulnya kalau kita memang kurang, masa kita tidak boleh mengimpor," ujar Rektor Perbanas Institute itu.

Ia menambahkan impor tidak boleh dilakukan kalau stok produk pangan sedang mengalami kelebihan pasokan karena dapat membuat harga tidak stabil.

Pengamat pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa juga mengatakan siapapun presiden terpilih masih akan menghadapi persoalan impor pangan.

Ia menyebutkan bahwa total impor 21 komoditas tanaman pangan terus mengalami peningkatan dari 18,2 juta ton pada 2014 menjadi 22 juta ton pada 2018.

Impor pangan tujuh komoditas utama yakni beras, jagung, gandum, kedelai, gula tebu, ubi kayu, dan bawang putih, juga terus meningkat dari 21,7 juta ton pada 2014 menjadi 27,3 juta ton pada 2018.

"Impor ini menjadi salah satu masalah besar. Sudah tentu tidak bisa disalahkan sekarang, karena memang pemerintah kita memulai dari dasar impor yang sudah cukup besar," kata Dwi.

Selain impor, Dwi juga menyoroti belum adanya strategi dari kedua capres untuk mendorong tingkat kesejahteraan petani.

Hal ini menjadi penting karena selama ini masih banyak petani yang belum sepenuhnya sejahtera, terutama apabila harga jual panen lebih rendah dari biaya produksi.