Manila, (ANTARA News) - Kepala satu laman berita Filipina yang telah terlibat konflik dengan Presiden Rodrigo Duterte dibebaskan atas jaminan pada Kamis, sehari setelah penangkapannya yang banyak dikecam atas tuduhan pencemaran nama baik.

Para pengeritik mengatakan tuduhan-tuduhan tersebut meruupakan usaha pemerintah untuk menggertak wartawan.

Maria Ressa, yang pernah dinobatkan sebagai pemenang hadiah dari Majalah Time, adalah kepala media berita Rappler. Ia diberi surat perintah penangkapan yang disiarkan langsung di televisi di kantornya pada Rabu yang para pemerhati media katakan -tuduhan-tuduhan yang dicari-cari bertujuan untuk mengintimidasi mereka yang melawan pemerintahan Duterte.

"Bagi saya ini mengenai dua hal - penyalahgunaan kekuasaan dan persenjataan hukum," kata Ressa. "Anda harus menyampaikan kemarahan dan lakukan sekarang. Kebebeasan pers bukan hanya tentang wartawan ... Kebebasan pers adalah fondasi tiap hak tiap orang Filipina kepada kebenaran," kata dia kepada wartawan setelah menyerahkan jaminan 100.000 peson (1.908 dolar AS) pada Kamis siang.

Ressa, dituduh memfitnah melalui dunia maya terkait artikel Rappler tahun 2012, yang diperbarui pada tahun 2014, yang menghubungkan seorang pengusaha dengan pembunuhan dan perdagangan manusia dan obat terlarang. Rappler mengutip informasi berisi laporan intelijen tahun 2002 tapi tidak menyebutkan lembaga mengumpulkan laporan itu.

Pengacara pengusaha itu mengatakan informasi tersebut salah, artikel itu fitnah dan kliennya ingin membersihakn namanya sebagaimana disiarkan Reuters.

Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menekankan pentingnya kebebasan berekspresi dan menyebut Ressa "wartawan yang berpengalaman dan terhormat".

"Kami berharap tuduhan-tuduhan ini akan diselesaikan cepat, dalam cara yang sepenuhnya menghormati kebebasan pers, mengizinkan Nona Ressa dan Rappler terus melakukan kegiatan secara bebas, dan konsisten dengan tradisi pers mandiri dan bebas di Filipina," kata juru bicara itu.

Duterte tidak menyembunyikan kekesalannya atas Rappler dan telah sering berdebat dengan para wartawannya, yang dikenal karena pengawasan ketat terhadap kebijakan-kebijakan dan pengangkatannya dan karena menanyakan keakuratan pernyataannya yang sering kali kasar.

Laporan Rappler menuding pemerintahannya menciptakan "ekosistem" media sosial yang dirancang untuk membela Duterte, mengancam dan memojokkan para lawan politiknya, dan membuat takut orang-orang Filipina yang mengeritiknya karena takut diserang laporan-laporan untuk mengecoh di jejaring dalam. Pemerintah membantah tuduhan-tuduhan tersebut.

Duterte pernah mengatakan Rappler adalah milik Amerika dan karena itu terkait dengan Badan Intelijen Pusat (CIA) AS. Dia menyebut Rappler "media berita bhong" dan melarang seorang wartawan meliput kegiatan-kegiatannya.

Duterte tak menyebut perkara itu dalam pidato yang disiarkan televisi pada Kamis malam yang berlangsung hampir dua jam. Ketika ditanya wartawan untuk mengomentari perkara Ressa, ia tampak bingung dan mengatakan ia tidak tahu apa-apa tentang hal itu. Dia juga menyatakan frustrasi ketika ditanya tentang serangan-serangan pemerintah atas media:"Jauh dari itu sebenarnya".

Rappler, didirikan tahun 2010, tak asing dengan tantangan-tentangan hukum dan menghadapi kasus-kasus terkait penghindaran pajak dan tuduhan pelanggaran kepemilikan. Media itu menyangkal melakukan kesalahan dan menyatakan tak akan ditarik untuk melakukan sensor diri.

Inilah untuk pertama kali Ressa ditangkap, walau dia mengatakan pembebasannya menandai dirinya sudah dituduh dan berikan jaminan enam kali.

Ressa menghabiskan Rabu malam di sebuah ruang di markas Biro Investigasi Nasional di Manila dan tidak dapat menyerahkan jaminan segera karena pengadilan sudah tutup.

Penahana singkatnya dikecam para wartawan dan pegiat di dalam dan luar negeri.

Ressa termasuk di antara beberapa orang yang masuk "Tokoh Tahun Ini" versi Majalah Time tahun 2018 karena berada di barisan depan untuk apa yang dikatakannya "laporan Rappler tanpa takut mengenai mesin propaganda dan pembunuhan ekstra yudisial Presiden Rodrigo Duterte", merujuk kepada perang berdarahnya terhadap obat terlarang.
Penyunting: M. Anthoni

Related News: UNESCO emphasizes importance of journalists` safety