Denpasar (ANTARA News) - Logika yang berputar-putar agaknya akhir-akhir ini banyak "mengitari" dunia maya (media sosial) untuk menjebak kaum milenial guna memilih antara Pancasila dan Islam, kendati keduanya memiliki hierarki yang berbeda, karena Pancasila bukanlah agama.

Walhasil, dua pilihan kontras yang disodorkan itu pun membuat kaum milenial menyingkirkan Pancasila, karena kedudukan Islam dianggap lebih tinggi. Logis, sangat logis, padahal sesungguhnya Islam itu tidak layak disandingkan dengan Pancasila atau sebaliknya, karena hierarki keduanya memang berbeda sama sekali.

Logika jebakan itu antara lain: pilih mana antara Islam dan Pancasila?; jika Pancasila itu sejalan atau malah bagian dari ajaran Islam, kenapa tak langsung memilih Islam saja?; lebih tinggi mana Islam dengan Pancasila?; jika Pancasila sesuai dengan Islam, kenapa Negara Muslim yang lain tak memakai Pancasila?; kalau Pancasila sejalan dengan Islam, maka Khilafah juga sejalan dengan Islam; NKRI Bersyariah juga sama saja dengan Pancasila; dan seterusnya.

"Pertanyaan seperti itu adalah pintu masuk untuk mencuci otak generasi milenial terkait politik kebangsaan," kata dosen Pemikiran Politik Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, DR Ainur Rofiq Al Amin SH MAg, yang juga pengajar di Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, Jawa Timur (Kompas/26/1/2019).

Ya, Pancasila tidak layak dan tidak pantas disandingkan dengan Islam, karena Islam adalah agama, sedangkan Pancasila hanyalah sebatas sebuah sistem politik kebangsaan, yang mana agama memiliki banyak sistem (hukum, sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya) dan sistem politik hanya menjadi sebagian kecil saja, sehingga Pancasila dan Islam itu justru "jauh" perbedaannya.

Jadi, hierarki agama dan sistem itu sangat berbeda dan tidak patut dibandingkan, karena hierarki Pancasila dan agama itu memang berbeda sama sekali, seperti membandingkan antara langit dan bumi, membandingkan agama dan bukan agama, membandingkan sistem dengan metode, membandingkan tujuan dengan cara, atau membandingkan substansi dengan simbol. Jauh.

Padahal, kalau mau belajar kepada sejarah dan dokumen historis milik bangsa ini, sesungguhnya diskursus "NKRI Bersyariah" yang dilontarkan tokoh FPI Habib Rizieq atau gerakan "Khilafah Islamiyah" yang disodorkan HTI bukanlah isu "kemarin sore" di republik yang amat majemuk ini.

Artinya, diskursus pencarian sistem politik dalam Islam itu sudah selesai, bahkan prosesnya "berdarah-darah", sehingga pembahasan ulang justru mirip memutar "jarum jam" sejarah yang tak perlu, karena akan sama dengan membuka luka lama yang sesungguhnya sudah selesai. Alangkah bijaknya bila merujuk pada sejarah saja, agar tak sia-sia.

Sebut saja pemberontakan DI/TII hingga perdebatan "tujuh kata" Pancasila dalam sidang-sidang BPUPKI yang berlangsung pada kurun 1945-1959 agaknya membuktikan diskursus yang bukan "kemarin sore" itu atau bahkan diskursus itu disebut mantan Ketua Umum PBNU dan anggota Wantimpres KH Hasyim Muzadi (almarhum) seperti "pengulangan sejarah bangsa" saja.

Oleh karena itu, maraknya diskursus NKRI Bersyariah yang didahului konsep "Khilafah Islamiyah" oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada akhir era tahun 1990-an itu justru mengukuhkan bangsa ini tak pernah "naik kelas" dengan berkutat dalam dialektika isu lama dengan label dan area baru.

Bahkan, konsep "negara-bangsa" dari republik ini yang sejatinya sudah berabad-abad lamanya itu sempat ditingkahi dengan munculnya ideologi ala PKI pada kurun 1965, karena itu saatnya bangsa ini untuk "belajar kepada sejarah" dengan merujuk dokumen-dokumen historis yang dimiliki bangsa ini. "Jasmerah (jangan melupakan sejarah)," kata politikus ulung bangsa ini, Soekarno.

Ya, Hasyim Muzadi dan Bung Karno agaknya benar, karena polemik ideologi "berdarah-darah" yang ditampilkan DI/TII atau PKI tak perlu diulangi lagi, sebab ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan nyawa melayang juga belum tentu menyelesaikan masalah, apalagi hak manusia hanya berdakwah dengan cara yang bijak, sedangkan "hidayah" bukanlah hak manusia.

Negara Islam

Dulu, DI/TII (DI atau Darul Islam) yang digerakkan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 untuk tujuan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) itu melontarkan jargon Republik Indonesia Kafir (RIK), sehingga KH Idham Chalid yang saat itu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri II dan Kepala Badan Keamanan pun membentuk badan bernama Kiai-kiai Pembantu Keamanan (KPK).

Dalam memoar KH Idham Chalid (2008) menyebutkan bahwa KPK terdiri dari sejumlah kiai dari beberapa provinsi yang di daerahnya ada gerombolan DI/TII. KH Idham Chalid menunjuk KH Muslich sebagai Ketua KPK. Umumnya, setiap provinsi hanya menunjuk satu orang kiai dalam mengoordinasi gerakan KPK, kecuali provinsi dalam kondisi gawat seperti Jawa Barat yang diangkat dua orang kiai.

Anggota KPK di Jawa Barat adalah KH Dimyati (Ciparai) dan Moh. Marsid. Di Jawa Tengah ada KH Malik, kiai terkemuka asal Demak. Di Jawa Timur ada KH Raden As`ad Syamsul Arifin Situbondo. Di Kalimantan, KPK dimotori oleh KH Ahmad Sanusi, dan Lampung digerakkan oleh KH Zahri.

Untuk wilayah Sumatera, KPK Sumatera Selatan dipimpin oleh ulama terkemuka dan Rais Syuriyah NU Bengkulu KH Jusuf Umar, untuk Sumatera Tengah ada KH Kahar Ma;ruf, untuk Sumatera Utara dan Aceh ada Tengku Mohammad Ali Panglima Pulen (mantan Ketua PWNU Aceh/Anggota MPRS), dan untuk Sulawesi ada KH Abdullah Joesoef.

KH Idham Chalid yang juga tokoh NU itu menilai kehadiran DI/TII sangat merugikan Islam karena aksinya provokatif dan justru banyak mengorbankan pemeluk Islam sendiri secara kejam, seperti beberapa pimpinan cabang NU di Jawa Barat yang dibakar rumahnya oleh DI/TII, bahkan ada yang ditembak mati. Bagi sang kiai, pembunuhan sesama Muslim bukanlah jihad.

Tidak hanya korban jiwa atau berdarah-darah, buku "Darul Islam, Sebuah Pemberontakan"yang ditulis sejarahwan berkebangsaan Belanda, Cornelis Van Dijk, mencatat bahwa pemberontakan DI/TII di berbagai wilayah juga berdampak pada trauma masyarakat, karena tradisi juga dihilangkan, seperti penggunaan gelar-gelar bangsawan di Sulsel (Andi, Daeng, Puang, Bau, dan Opu) yang diganti kata "Bung". Mereka yang melawan juga diperangi.

Dalam buku itu, Van Dijk mencatat secara khusus tentang pemberontakan DI/TII di Aceh yang dimulai pada tanggal 20 September 1953 dengan pernyataan proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia oleh Daud Beureueh.

Van Dijk juga menyebut pemberontakan itu bersumber dari kekecewaan Daud Beureueh dan masyarakat Aceh atas dileburnya Provinsi Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara yang beribukota di Medan. Motif lain, masyarakat Aceh memang ingin menerapkan hukum syariah, lalu Daud Beureureh juga marah dengan beredarnya rumor terkait dokumen rahasia tentang keinginan Aceh untuk merdeka.

Piagam Jakarta

Tidak hanya berujung pemberontakan, diskursus tentang penerapan syariah atau ide Negara Islam juga masuk dalam perdebatan pada sidang-sidang resmi di Badan Persiapan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) I pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945, sehingga pembahasan Syariat Islam dan Negara Islam itu pun menjadi lebih argumentatif.

Satu kubu ingin menjadikan Islam sebagai ideologi dasar negara, sedangkan kubu lain ingin memisahkan antara urusan beragama dengan urusan bernegara. Kedua kubu tak mudah untuk mengalah hingga memunculkan perdebatan "tujuh kata" Piagam Jakarta yang cukup seru.

Tujuh kata yang berbunyi: "(Ketuhanan...) dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" itu disepakati oleh sembilan "founding fathers" yang tergabung dalam Panitia Sembilan pada tanggal 22 Juni 1945 melalui rumusan dasar negara Indonesia yang akan merdeka. Rumusan yang menjadi preambule (pembukaan) UUD 1945 itu dikenal dengan istilah Piagam Jakarta.

Istilah Piagam Jakarta diberikan oleh salah satu anggota Panitia Sembilan yang dibentuk Ketua Sidang BPUPKI Radjiman Wediodiningrat (bunkakai/panitia kecil) yakni Muhammad Yamin. Selain Yamin adalah Soekarno (ketua), Mohammad Hatta (wakil ketua), A.A Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Achmad Soebarjo, dan Abdul Wahid Hasjim.

Yamin menyebut istilah "Piagam Jakarta" itu sebagai tonggak sejarah terbangunnya kompromi tentang dasar negara antara kelompok nasionalis Islam dengan kelompok nasionalis sekuler. Kedua pihak sepakat bahwa Islam tidak menjadi dasar negara, namun umat Islam wajib menjalankan syariat Islam sebagaimana akan diatur dalam konstitusi.

Dalam pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 di muka sidang BPUPKI yang dikenang sebagai hari lahir Pancasila tersebut, Soekarno juga tampak berusaha menyatukan beragam pandangan yang muncul dalam sidang BPUPKI I.

Namun, Pidato Soekarno mengenai Piagam Jakarta yang disebut kompromis itu mendapat tanggapan serius dari Latuharhary pada 11 Juli 1945. Latuharhary berpendapat kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya akan menciptakan benturan dengan hukum adat yang berlaku di sejumlah daerah Indonesia, sehingga akan menimbulkan kekacauan di masyarakat.

Oleh, karena itu, Latuharhary menyarankan untuk mencari solusi lain yang tidak membawa akibat yang bisa mengacaukan rakyat. Namun, Soekarno menyanggah bahwa bila kalimat "Syariat Islam" itu tidak dimasukkan justru akan terjadi perselisihan terus, karena itu kalimat itu sudah merupakan "jalan tengah".

Namun, H Agus Salim juga mengoreksi pandangan bahwa hukum Islam akan berbenturan dengan hukum adat, karena di sejumlah daerah seperti Padang, hukum adat dan hukum Islam justru bisa berdampingan. "Selama dilaksanakan secara jernih, hukum Islam akan memberi kebaikan bagi masyarakat, termasuk masyarakat adat," kata Agus Salim.

Pandangan itu mengundang alternatif lain agar kewajiban menjalankan hukum agama tidak hanya diwajibkan bagi umat Islam, tapi seluruh pemeluk agama di Indonesia, namun anggota BPUPKI yang lain mengkhawatirkan hal itu, karena kewajiban berunsur agama justru akan menimbulkan fanatisme, misalnya memaksa sembahyang/shalat, dan lain-lain.

Wachid Hasjim pun memilih "jalan tengah" dengan menyatakan isi dari Piagam Jakarta itu memang tidak bisa memuaskan semua pihak, baik pandangan bahwa piagam itu terlalu tajam, maupun pandangan lain bahwa piagam itu justru belum tajam, karena itu sebaiknya diakhiri saja dengan tidak memperpanjang diskursus dengan tetap kembali pada pandangan sebagaimana adanya saja.

Hal itu didukung Soekarno yang memimpin jalannya sidang kembali dengan berusaha meyakinkan pentingnya mempertahankan isi Piagam Jakarta. "Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes," ujar Sukarno.

Pandangan itu cukup meredakan silang pendapat "tujuh kata". Akhirnya, Piagam Jakarta disahkan sebagai Preambule UUD 1945 pada 16 Juli 1945 dengan tetap ada "tujuh kata" didalamnya. (Bersambung/Bagian Satu)

Baca juga: Komaruddin Hidayat: saling menghargai diperlukan untuk merawat kebhinekaan
Baca juga: Mahfud MD minta masyarakat pahami pluralisme