Debat Capres
Ubah budaya bertransportasi kaum urban dengan TDM
12 Februari 2019 18:46 WIB
Petugas menaiki kereta Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta fase I koridor Lebak Bulus - Bundaran HI yang sedang diuji coba di Jakarta, Kamis (7/2/2019). Transportasi massal berbasis rel itu rencananya akan terintegrasi dengan moda lainnya seperti LRT dan KRL Commuterline agar memudahkan masyarakat mengakses dan menggunakan transportasi umum. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/hp.
Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin menegaskan pemerintah perlu menerapkan Transport Demand Management (TDM) guna mengubah budaya bertransportasi kaum urban.
“Tanpa strategi TDM, maka pembangunan transportasi publik massal akan sia-sia,” kata Ahmad kepada Antara di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan berbagai aspek perlu diperhatikan pemerintah guna mengubah budaya kaum urban menggunakan transportasi publik massal. Tidak hanya aspek teknis tetapi juga nonteknis untuk bisa mendorong perubahan perilaku kaum urban agar mau meninggalkan kendaraan pribadinya.
Karenanya, untuk di Jakarta atau daerah lainnya yang sedang menggiatkan transportasi publik massal, tidak cukup hanya menyediakan moda raya terpadu (mass rapit transit/MRT) atau kereta api ringan (light rail transit/LRT) saja. Tetapi, ia mengatakan harus paralel menerapkan sistem jalan berbayar bagi mobil dan sepeda motor (electronic road pricing/ERP).
“Terutama untuk jalur yang berhimpit dengan jalur MRT. Dan perlu juga menaikkan tarif parkir progresif di kawasan segita emas (yang jadi tujuan perjalanan orang-orang menengah atas),” ujar dia.
Tarif ERP dan parkir ini, menurut dia, harus dikaji serius sehingga mampu memberikan dampak beralihnya pengguna kendaraan pribadi (sepeda motor dan mobil), termasuk kaum “the have” ke MRT dan angkutan umum massal lainnya seperti LRT, bus rapit transit (BRT) atau Busway dan Commuter Line.
Tanpa penerapan ERP dan tarif parkir progresif tersebut, maka diprediksi MRT akan kosong melompong seperti halnya KA Bandara Soekarno-Hatta dan LRT Sumatera Selatan.
“Semoga Presiden RI dan Gubernur DKI Jakarta memahami esensi TDM ini. Kebijakan penyelesaian kemacetan dan pencemaran udara akan dihadapkan pada kesulitan mendorong orang menggunakan angkutan umum massal,” lanjutnya.
Jadi tidak cukup hanya membangun angkutan umum massal semata melainkan juga harus dibarengi kebijakan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, baik sepeda motor dan mobil, ujar Ahmad.
***3***
Baca juga: MRT fase 1 kurangi emisi 85.680 ton CO2
Baca juga: Menhub: LRT Palembang tetap operasional
Baca juga: BPPT sudah rampungkan berbagai pengujian untuk LRT Jabodebek
“Tanpa strategi TDM, maka pembangunan transportasi publik massal akan sia-sia,” kata Ahmad kepada Antara di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan berbagai aspek perlu diperhatikan pemerintah guna mengubah budaya kaum urban menggunakan transportasi publik massal. Tidak hanya aspek teknis tetapi juga nonteknis untuk bisa mendorong perubahan perilaku kaum urban agar mau meninggalkan kendaraan pribadinya.
Karenanya, untuk di Jakarta atau daerah lainnya yang sedang menggiatkan transportasi publik massal, tidak cukup hanya menyediakan moda raya terpadu (mass rapit transit/MRT) atau kereta api ringan (light rail transit/LRT) saja. Tetapi, ia mengatakan harus paralel menerapkan sistem jalan berbayar bagi mobil dan sepeda motor (electronic road pricing/ERP).
“Terutama untuk jalur yang berhimpit dengan jalur MRT. Dan perlu juga menaikkan tarif parkir progresif di kawasan segita emas (yang jadi tujuan perjalanan orang-orang menengah atas),” ujar dia.
Tarif ERP dan parkir ini, menurut dia, harus dikaji serius sehingga mampu memberikan dampak beralihnya pengguna kendaraan pribadi (sepeda motor dan mobil), termasuk kaum “the have” ke MRT dan angkutan umum massal lainnya seperti LRT, bus rapit transit (BRT) atau Busway dan Commuter Line.
Tanpa penerapan ERP dan tarif parkir progresif tersebut, maka diprediksi MRT akan kosong melompong seperti halnya KA Bandara Soekarno-Hatta dan LRT Sumatera Selatan.
“Semoga Presiden RI dan Gubernur DKI Jakarta memahami esensi TDM ini. Kebijakan penyelesaian kemacetan dan pencemaran udara akan dihadapkan pada kesulitan mendorong orang menggunakan angkutan umum massal,” lanjutnya.
Jadi tidak cukup hanya membangun angkutan umum massal semata melainkan juga harus dibarengi kebijakan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, baik sepeda motor dan mobil, ujar Ahmad.
***3***
Baca juga: MRT fase 1 kurangi emisi 85.680 ton CO2
Baca juga: Menhub: LRT Palembang tetap operasional
Baca juga: BPPT sudah rampungkan berbagai pengujian untuk LRT Jabodebek
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019
Tags: