Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi memperkirakan kenaikan tarif ojek daring berpotensi mengurangi Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 0,3 persen.

"Dengan luasnya operasional mereka saat ini, besaran kenaikan tarif tersebut bisa berpengaruh sekitar 0,2-0,3 persen terhadap pertumbuhan ekonomi," kata Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi menjawab pers di Jakarta, Selasa.

Perkiraan tersebut berdasar asumsi kenaikan tarifnya sebesar 42 persen dari rata-rata saat ini Rp2.200 per kilometer menjadi Rp3.100 sesuai dengan usulan Tim 10.

Data penelitian Research Institute of Socioeconomic Development (Rised) terhadap rencana kenaikan tarif saat ini mencatat, saat ini konsumen menempuh jarak sekitar 8,8 kilometer per hari dengan kisaran tarif rata-rata Rp2.200 per kilometer.

Survei dilakukan terhadap 2.001 responden yang tersebar di 10 provinsi dan berlangsung selama dua minggu pada Januari 2019.

Fithra Faisal Hastiadi menilai, dengan cakupan operasional ojek daring yang luas, kenaikan tarif akan berdampak terhadap 10 sektor usaha, mulai dari bisnis kuliner, pariwisata, hotel, hingga pakaian jadi. Sementara, setiap Rp100 juta investasi yang dikeluarkan oleh 10 sektor ini menyerap tenaga kerja 15-20 orang.

Kini, ojek daring memang tak cuma mengantar penumpang. Operasionalnya justru sudah semakin luas, mulai dari melayani pesan antar makanan, belanja kebutuhan pokok, sampai jasa logistik untuk konsumen perorangan dan e-commerce.

Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2018 sektor transportasi-komunikasi tercatat tumbuh dari 5,04 persen menjadi 6,14 persen. Sektor restoran-hotel juga ikut tumbuh dari 5,31 persen menjadi 5,85 persen.

"Perlu diketahui bahwa pertumbuhan di kedua sektor ini ikut ditopang oleh kehadiran aplikator Grab dan Go-Jek," ujarnya.

Menurut Fithra, itu semua berpotensi terjadi akibat kenaikan tarif ojek daring yang berdampak terhadap keputusan konsumen untuk meninggalkan penggunaan jasa transportasi berbasis aplikasi.

Padahal, selama ini mereka dipakai sebagai sarana penghubung ke transportasi umum lain seperti stasiun dan halte bus Trans Jakarta. Keadaan ini bisa mendorong masyarakat untuk kembali menggunakan kendaraan pribadi.

Belum lagi dampaknya terhadap penurunan pendapatan mitra pengemudi akibat anjloknya jumlah konsumen mereka.

Padahal, mitra pengemudi ojek daring di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari dua juta orang.
"Pendapatan mereka naik dua kali lipat setelah bergabung ke ojek daring. Bayangkan kalau tarif naik dan pendapatan mereka turun karena sepi order," kata Fithra.

Karena itu, tambah dia, sangat mungkin jumlah pekerja sukarela (unpaid family worker) yang saat ini sebesar 13 persen dari total pekerja bakal melonjak signifikan. Padahal, jumlah itu sudah lebih tinggi ketimbang negara-negara tetangga, seperti Filipina 8,3 peresn, Malaysia 4,4 persen dan Singapura 0,8 persen.
Baca juga: Pengamat sebut solusi permasalahan tarif ojek daring harus saling menguntungkan
Baca juga: Aturan ojek daring tak tepat dinilai bisa hambat industri digital