Dalam memperingati Hari Pers Nasional yang jatuh pada 9 Februari, refleksi yang paling sering dimunculkan oleh awak media adalah seputar pertanyaan tentang tantangan apa yang paling aktual yang dihadapi pers di Tanah Air.

Dari tahun ke tahun, sejak Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 digulirkan, ancaman terhadap eksistensi dan kemerdekaan pers tak lagi datang dari penguasa. Hak membreidel pers dengan membatalkan surat izin usaha penerbitan pers yang digunakan oleh rezim Orde Baru untuk melanggengkan kuasanya telah disingkirkan.

Ternyata, ancaman itu bukannya hilang sama sekali. Tentu bukan lagi eksistensi pers yang terancam, tapi kemerdekaan berekspresinya. Sekelompok massa pun sempat melakukan intimidasi dengan menduduki kantor media massa.

Dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat akan faedah pers yang merdeka bagi kemaslahatan sosial, aksi massa mengintimidasi awak pers pun semakin berkurang.

Kemerdekaan pers pun sempat terancam oleh semakin berkuasanya pemilik modal yang mengintervensi awak redaksi. Namun, ancaman-ancaman ini, kecuali pembreidelan, mudah diatasi dengan berlakunya hukum kompetisi dunia kapitalisme.

Artinya, selama hak setiap orang untuk bebas menerbitkan media dan berekspresi lewat media massa dijamin, pemilik modal yang mengintervensi redaksi untuk menyuarakan hanya kepentingannya, akan disaingi oleh kompetitor-kompetitor barunya.

Di era kemajuan teknologi informasi yang menyediakan banyak kanal untuk menyuarakan pikiran, opini dan fakta sekarang ini, tantangan yang berfokus pada kebebasan pers boleh dibilang sudah teratasi.

Jika tantangan eksistensial itu sudah tak lagi jadi ancaman pers, tantangan yang lebih teknis agaknya perlu menjadi perhatian para pemangku kepentingan pers. Tantangan itu tak lain adalah ikhtiar meningkatkan standar kualitas kinerja awak media.

Kasus-kasus pengaduan masyarakat kepada Dewan Pers pada dasarnya bersumber pada standar kualitas pers yang belum cukup tinggi secara merata, baik di lingkungan pers yang terbit di Ibu Kota maupun di daerah-daerah.

Setidaknya, panduan untuk meningkatkan standar kualitas kinerja pers yang tinggi bisa mengacu kepada poin-poin krusial yang diatur dalam Kode Etik Jurnalistik.

Standar kualitas kinerja pers itu bisa ditinjau dari tiga aspek yakni konten, yang menyangkut informasi substansial yang harus disampaikan dengan akurasi yang tinggi, aspek bahasa dengan kesanggupan jurnalis untuk menyampaikan konten dengan bahasa yang ringkas, mudah dipahami dan mematuhi kaidah bahasa serta aspek jurnalistik.

Media massa yang mengabaikan standar kualitas kinerja yang tinggi sering abai dalam memilih narasumber berita yang kredibel yang sesuai dengan otoritas di bidangnya. Media massa yang peduli dengan kualitas tentu mempertimbangkan fungsi pers yang mencerahkan pembacanya, bukan sekadar menghibur dengan lebih banyak mengeksploitasi isu-isu sensasional.

Dalam menghadapi tantangan teknis yang dihadapi dunia pers itu, peran Dewan Pers, yang kelahirannya dan independensinya dikukuhkan dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, kian signifikan, tentunya. Uji kompetensi awak pers telah dilakukan. Dari tahun ke tahun, program sertifikasi terhadap profesi kewartawanan dilakukan di berbagai daerah.

Namun, persoalan pers ternyata belum tuntas karena munculnya problem lain, yang sumbernya dari dapur media itu sendiri, yakni rendahnya upah yang diterima mayoritas jurnalis.

Hasil riset Federasi Jurnalis Internasional dan Serikat Jurnalis Asia Tenggara memperlihatkan bahwa upah rendah dan penggajian yang tak teratur yang diterima wartawan menghambat mereka untuk bekerja secara profesional dan rentan menerima suap.

Di tengah kebebasan individu membuat media daring tentu mendorong lahirnya media-media yang oleh Dewan Pers disebut sebagai abal-abal dan tak pelak lagi ujung-ujungnya akan, secara langsung atau tak langsung, mendegradasi kualitas media kecuali instutisi pers yang peduli pada martabat profesi bidang jurnalisme .

Namun, bagi aktivis pejuang kemerdekaan pers pada khususnya, dan tegaknya demokrasi pada umumnya, persoalan menjamurnya pers abal-abal itu bukan masalah besar.

Penegakan hukum yang ketat pada akhirnya bisa mengikis kesintasan media-media yang tak profesional itu. Itu sebabnya, usaha untuk melahirkan dunia pers yang bermartabat di Tanah Air sesungguhnya bukan hanya tugas Dewan Pers dan aktivis yang bergerak di bidang advokasi media tapi juga penegak hukum.

Sejak reformasi, kasus-kasus kriminal yang mengambil modus operasi pemerasan oleh wartawan abal-abal telah ditangani di sejumlah pengadilan negeri yang menyebabkan pemenjaraan terhadap jurnalis minus etika itu. Satu di antara kasus hukum itu adalah perkara pemerasan wartawan abal-abal terhadap kepala sekolah di Bekasi beberapa tahun silam.

Tampaknya, tuntutan atas tingginya standar mutu kinerja pers saat ini sangat relevan ketika ruang publik yang sekaligus ruang maya semakin dipenuhi oleh membludaknya kabar bohong alias hoaks, yang sumbernya sering berasal dari kanal akun-akun media sosial.

Ketika pers sanggup menampilkan diri sebagai institusi yang kredibel dan menjadi rujukan untuk memverifikasi kabar bohong yang terproduksi hampir setiap saat, ketika itulah pers memainkan fungsinya yang klasik: yakni mencerahkan publik dengan memperlihatkan mana informasi yang benar dan tak benar.

Harapan akan pers yang memiliki standar kualitas kinerja yang tinggi itulah yang tampaknya perlu digaungkan di Hari Pers Nasional yang tahun ini peringatannya dipusatkan di Surabaya, Jawa Timur.*


Baca juga: Perkuat ekonomi kerakyatan dengan "memanfaatkan" pers

Baca juga: Menpar luncurkan buku "Jurnalisme Ramah Pariwisata"