Jakarta (ANTARA News) - Hasil studi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Asian Development Bank (ADB) menyebutkan pentingnya mendorong sektor manufaktur untuk mengerek pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi, karena tanpa industrialisasi dan teknologi tinggi sulit bagi Indonesia mencapai pertumbuhan di kisaran tujuh persen.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro di Jakarta, Jumat, saat peluncuran hasil studi yang dituangkan dalam bentuk Buku Kebijakan untuk Mendukung Pembangunan Sektor Manufaktur di Indonesia 2020–2024 itu mengatakan pertumbuhan ekonomi tinggi diperlukan Indonesia agar dapat menjadi negara maju dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Indonesia juga memerlukan diversifikasi ekonomi dan pertumbuhan sektor manufaktur yang lebih cepat.

"Dalam waktu lima belas tahun ke depan, Indonesia bertekad untuk menjadi negara berpendapatan tinggi. Namun, hasil studi ADB-Bappenas menunjukkan struktur perekonomian yang masih berbasis komoditas serta manufaktur dan jasa berteknologi rendah akan menyulitkan Indonesia untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi. Untuk itu, pemerintah harus mendorong industrialisasi agar pertumbuhan Indonesia lebih tinggi dalam jangka menengah dan panjang," ujar Bambang.

Sektor manufaktur Indonesia saat ini belum terdiversifikasi dan masih mengekspor produk dengan variasi yang relatif sedikit. Ekspor utama Indonesia saat ini juga masih didominasi oleh komoditas mentah dan barang manufaktur sederhana.

Hal ini sangat berbeda dengan jenis produk ekspor dari negara maju, dimana produknya relatif lebih kompleks dan bernilai lebih tinggi, seperti mesin, bahan kimia, ataupun elektronik.

Meskipun sebagian besar perusahaan Indonesia sudah terhubung dengan rantai nilai global, lanjut Bambang, tetapi sebagian besar eksportir tersebut merupakan pemasok bahan mentah untuk industri di negara lain.

Selain itu, proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor manufaktur Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan negara Asia yang berpendapatan tinggi pada puluhan tahun lalu. Sementara itu, sekitar 99 persen dari perusahaan manufaktur di Indonesia berukuran mikro atau kecil.

Bambang menuturkan hasil studi tersebut menganalisis prospek pertumbuhan Indonesia selama 2020–2024, khususnya bagaimana ekonomi Indonesia dapat tumbuh di kisaran tujuh persen di masa datang.

Studi tersebut juga membahas pentingnya upaya diversifikasi dan meningkatkan sektor manufaktur, termasuk agar pemerintah dapat mendorong kebijakan industri yang lebih modern, serta peranan penting dari kebijakan fiskal dan moneter dalam mendukung pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.

Agar aspirasi dan cita-cita untuk mencapai negara berpendapatan yang lebih tinggi ini dapat dicapai, kata dia, penting bagi Indonesia untuk mendorong pengembangan industri manufaktur dengan kompleksitas dan nilai tambah yang lebih tinggi. Selain itu, penting juga meningkatkan produktivitas, mendukung diversifikasi produk, menciptakan keterkaitan nilai tambah yang lebih kuat antara perusahaan besar dengan UKM, dan juga perusahaan domestik dengan pasar internasional.

"Pemerintah dapat berperan penting dalam proses revitalisasi sektor manufaktur melalui kerja sama dan koordinasi yang lebih efektif. Pemerintah perlu memulai dialog dengan sektor swasta agar dapat bersama-sama mengidentifikasi dan mengatasi hambatan terhadap pembangunan sektor manufaktur modern. Pemerintah dan sektor swasta harus bekerja sama dalam mendorong inovasi produk yang lebih bervariasi dengan konten teknologi yang lebih tinggi," kata Penasihat di Departemen Penelitian Ekonomi dan Kerja Sama Regional ADB Jesus Felipe.

Hasil studi ADB-Bappenas ini juga menekankan transformasi ekonomi Indonesia perlu menjadi prioritas pembangunan jangka menengah 2020–2024. Hasil studi ADB-Bappenas juga menjadi landasan yang kokoh bagi para pengambil kebijakan Indonesia agar mulai merencanakan kebijakan yang perlu dilaksanakan guna mendukung pembangunan Indonesia dalam jangka menengah dan panjang.

"Analisis dan rekomendasi dalam buku ini juga akan menjadi masukan penting bagi agenda pembangunan jangka menengah 2020–2024," kata Bambang.

Baca juga: Analis: IHSG berpeluang terangkat sentimen ekonomi domestik

Baca juga: Analis: Rupiah cenderung melemah, pelaku pasar pesimis penyelesaian perang dagang

Baca juga: Dolar AS menguat, kekhawatiran pertumbuhan ekonomi Eropa meningkat