Musisi menolak RUU Permusikan
6 Februari 2019 19:01 WIB
(Kiri-kanan) Perwakilan Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan Arian Tigabelas, Wendi Putranto, Mondo Gascaro, Kartika Jahja dan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati, saat jumpa pers di Jakarta, Rabu (6/2/2019). (ANTARA News/Natisha Andarningtyas)
Jakarta (ANTARA News) - Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan, yang terdiri atas 200-an musisi dan pelaku musik di Indonesia, menolak Rancangan Undang-Undang tentang Permusikan yang diinisiasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
"RUU Permusikan memagari pelaku musik dengan kawat berduri," kata vokalis Tika and The Dissidents, Kartika Jahja yang tergabung dalam organisasi ini, saat jumpa pers di Jakarta, Rabu.
Koalisi menilai DPR dan Badan Keahlian DPR gagal merumuskan naskah akademik yang menjadi landasan RUU Permusikan karena menggunakan sejumlah sumber tidak memiliki kredibilitas.
Vokalis band Seringai, Arian Tigabelas juga menyatakan draf RUU tersebut menggunakan makalah tugas sekolah yang diunggah ke situs blogspot sebagai acuan akademik.
Koalisi juga mengkritik keterbukaan legislatif terhadap RUU Permusikan. Berdasarkan temuan mereka, draf RUU selesai pada Agustus 2018, namun baru dapat diakses publik per Februari 2019.
Koalisi juga menelaah draf RUU tersebut dan menemukan 80 persen dari 54 pasal dalam draf tersebut bermasalah dan berpotensi membatasi ruang gerak serta menyensor kebebasan berekspresi musisi.
"Kalau kami perhatikan, jelas yang ingin diatur adalah pelaku musik, padahal niatnya membuat undang-undang untuk tata kelola industri musik," kata Mondo Gascaro dalam acara yang sama.
Musisi merasa rancangan peraturan tersebut tidak menjawab urgensi permasalahan tata kelola industri musik.
Mereka berharap ada pengkajian akademik ulang yang melibatkan perwakilan pelaku musik dari berbagai latar belakang, termasuk ahli hukum dan sosial budaya agar mendapatkan pemahaman yang menyeluruh mengenai kebutuhan dan tantangan dunia musik.
"Kajian ini harus melibatkan organisasi-organisasi yang memiliki kompetensi dan pengalaman akar rumput di permusikan Indonesia sejak awal, bukan hanya pemain besar di industri musik," demikian bunyi salah satu rekomendasi mereka.
Musisi menilai perlu ada sinergi kajian akademik turunan dari UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dengan 334 Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah karena di dalam PPKD tersebut musik merupakan salah satu objek pemajuan kebudayaan dapat ditelaah kondisi dan kebutuhannya untuk pengembangan di masa mendatang.
Baca juga: Menyikapi RUU permusikan
Baca juga: Pro-kontra sertifikasi musik di kalangan musisi
Baca juga: Pro-kontra RUU permusikan
"RUU Permusikan memagari pelaku musik dengan kawat berduri," kata vokalis Tika and The Dissidents, Kartika Jahja yang tergabung dalam organisasi ini, saat jumpa pers di Jakarta, Rabu.
Koalisi menilai DPR dan Badan Keahlian DPR gagal merumuskan naskah akademik yang menjadi landasan RUU Permusikan karena menggunakan sejumlah sumber tidak memiliki kredibilitas.
Vokalis band Seringai, Arian Tigabelas juga menyatakan draf RUU tersebut menggunakan makalah tugas sekolah yang diunggah ke situs blogspot sebagai acuan akademik.
Koalisi juga mengkritik keterbukaan legislatif terhadap RUU Permusikan. Berdasarkan temuan mereka, draf RUU selesai pada Agustus 2018, namun baru dapat diakses publik per Februari 2019.
Koalisi juga menelaah draf RUU tersebut dan menemukan 80 persen dari 54 pasal dalam draf tersebut bermasalah dan berpotensi membatasi ruang gerak serta menyensor kebebasan berekspresi musisi.
"Kalau kami perhatikan, jelas yang ingin diatur adalah pelaku musik, padahal niatnya membuat undang-undang untuk tata kelola industri musik," kata Mondo Gascaro dalam acara yang sama.
Musisi merasa rancangan peraturan tersebut tidak menjawab urgensi permasalahan tata kelola industri musik.
Mereka berharap ada pengkajian akademik ulang yang melibatkan perwakilan pelaku musik dari berbagai latar belakang, termasuk ahli hukum dan sosial budaya agar mendapatkan pemahaman yang menyeluruh mengenai kebutuhan dan tantangan dunia musik.
"Kajian ini harus melibatkan organisasi-organisasi yang memiliki kompetensi dan pengalaman akar rumput di permusikan Indonesia sejak awal, bukan hanya pemain besar di industri musik," demikian bunyi salah satu rekomendasi mereka.
Musisi menilai perlu ada sinergi kajian akademik turunan dari UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dengan 334 Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah karena di dalam PPKD tersebut musik merupakan salah satu objek pemajuan kebudayaan dapat ditelaah kondisi dan kebutuhannya untuk pengembangan di masa mendatang.
Baca juga: Menyikapi RUU permusikan
Baca juga: Pro-kontra sertifikasi musik di kalangan musisi
Baca juga: Pro-kontra RUU permusikan
Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019
Tags: